Kamis, 30 Juni 2011

1000 Kunang Kunang di Manhattan

"Seribu Kunang Kunang di Manhattan"
Cerita: Umar Kayam



Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke asana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
"Tommy, bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adapt menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya.
Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kaupakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah. 

***

The great great dan sekali lagi great story. Yang hingga kini masih terus mengilhami jemari dan pikiran ini untuk tetap menulis. Yang masih membuat kata dan ruang itu terasa bagai misteri. Hehe ... terima kasih, Pak Umar Kayam. : )


Minggu, 26 Juni 2011

Ada Celoteh ...

Risau itu ....
Ya Allah, mengapa terasa begitu sakit dan menyesak seperti ini ....
Sebenarnya seperti apa yang disebut bahagia dan membahagiakan itu ?

:(

Jumat, 24 Juni 2011

Di Pintu Maghrib

Di pintu Maghrib

saat Matahari melemah dalam kemelut senja
dan udara magis merebak, seolah menidurkan kehidupan
atau sekedar isyarat ketiadaan?

ketiadaan yang membawa ada. Ketiadaan yang bersih
- seperti bayi : Ketiadaan yang fitrah

Sebelum masa membawa tiada kepada yang meniadakan

Dan kita menjadi sibuk menganut Utara atau terhasut Selatan.
Nyaman bersemayam di gubuk  iri hati, dengki, atau prasangka.
Terlena, dimabuk dibelai belai cinta
sementara hakikatnya sendiri terselip entah di mana.

Kasih sayang itu saling memberi, bukan menunggu diminta.
Ia seperti memandang dari gerbang Selatan untuk menghampiri rumah Utara
Ia tak berkehendak menentukan nilai kebaikan, sebelum mereka
yang dinafkahi pemberiannya merasa tercukupi olehnya

Ia adalah ketiadaan, tak ubahnya di pintu Maghrib
saat Jingga jatuh cinta dan ia berikan ruhnya sedikit demi sedikit kepada Hitam
sembari menyeru alam Manusia kembali kepada yang Maha Meniadakannya.

Kamis, 23 Juni 2011

(Jus) Semangka

  
... kata kata mungkin patah, tapi yang memintal kata kata tidak boleh patah ...
 * (Jus) Semangkaaaaaa ...  
 

Rabu, 22 Juni 2011

Personality

Kenalilah ia,
dalam macam macam bentuk dan perangainya

dalam beragam corak dan warnanya,


karena,
Kepribadian itu,
terlampau berharga untuk sekedar dipandang sebelah mata ....


Senin, 13 Juni 2011

Today


............

Semoga, Kamu semakin disayangi oleh Allah;
Semoga, Kamu menjadi seorang anak yang baik dan berbakti kepada orang tuamu;
Semoga, Kamu menjadi Istri yang solehah serta setia kepada Suamimu;
dan semoga, Kamu selalu dilindungi oleh Allah dalam Cahaya, Keteduhan, dan Kelembutan-Nya.

Selamat berulang tahun, ya ... 
Bahagia untukmu .............




P.S.: Semakin berumur kamu, Dik .. : )



Cassanova Gundah (bagian # 09 - Terakhir)


TANPA aku sadari terompet pertanda tahun ini berakhir telah tertiup nyaring dan tahun baru bergulir begitu cepatnya. Mentari di pertengahan Februari menyinar dengan cerahnya di atas wajah-wajah tersenyum yang kutemui. Walau bencana belum sepenuhnya pudar seiring tenggelamnya penghujung Desember, tetapi senyum itu telah menumbuhkan benih harapan segar dalam menatap wajah hari esok.

Begitu pun denganku.

Aku yakin mempunyai harapan melanjutkan cinta ini ke strata yang lebih tinggi. Umurku tidak muda lagi dan Frida seorang yang baik dengan wajah berhiaskan senyum yang sesegar hujan dan sepasang mata yang selugu kelinci kecil. Dia seorang muslimah yang taat. Kadang aku merasa malu sendiri kalau mendengarnya melafalkan doa sementara aku belum hafal sebuah ayatpun. Karena berperan selayar dengannya, kami berkesempatan menjadi tamu undangan dalam pemutaran perdananya di Malang.

Hanya dalam beberapa jam, aku dan Frida langsung jatuh cinta kepada kota yang terkenal dengan fanatisme sepakbola dan apelnya itu. Ketika acara serupa yang rencananya akan digelar di Surabaya diundur selama dua hari, kami luangkan sedikit waktu untuk singgah di kota ini. Dengan didampingi seorang pemandu, kami berkunjung ke Alun-Alun Merdeka. Jantung kota itu mempunyai kolam air mancur tepat di pusat kawasan dan rindang dengan pepohonan beringin tua. Burung-burung merpati berhamburan saat seorang anak menabur butir-butir jagung di tanah. Genderang pengiring topeng monyet ditabuh penuh semangat. Semua insan terlihat bahagia. 

Pemandu meninggalkanku dan Frida selama kami berkeliling menikmati suasana. Ketika melintas di bawah juluran akar-akar beringin yang liar, mataku secara tidak sengaja menemukan Rivael. Aku hampir tak percaya dengan pandanganku sendiri. Tapi, itu benar dia! Hanya kini ia membiarkan bulu-bulu cambangnya sedikit lebat hingga terkesan lebih kebapakan. 

Aku meminta Frida menunggu sejenak sementara aku berlari menghampirinya.

“Rivael,” kataku ketika telah berada di belakangnya tanpa ia sadari.

Ia berbalik dan menatapku dengan tatapan rindu sekaligus tidak percaya.

“Jeremy,” katanya takjub.

Kami berniat berpelukan namun Rivael buru-buru mengurungkannya dengan halus karena kedua tangannya sedang memegang sebungkus lupis. Dia tidak ingin bajuku kotor oleh cairan gulanya yang coklat dan pekat.

Aku melambai pada Frida agar ia datang mendekat. 

“Kenalkan, Frida,” kataku pada Rivael.

Mereka tidak berjabat tangan, hanya saling mengangguk dan tersenyum.

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Rivael seraya melanjutkan langkahnya.

“Pemutaran perdana,” jawabku. “Kami bermain di film yang sama. Sekarang premiere. Kau sendiri?”

“Cheryl,” katanya singkat.

Angin berhembus pelan namun tidak terlalu hangat. Kami hening selama beberapa langkah.

  
“Aku tahu kau pasti marah mendengar nama itu,” terka Rivael.

Aku memandangnya. Memang aku masih jengkel mendengar nama itu, namun mengingat apa yang telah terjadi malam itu aku tidak ingin mengulanginya kembali di tempat ramai ini. 

“Aku sudah menemukannya,” tiba-tiba Rivael meneruskan.

Aku terkejut. Akhirnya, usai dipusingkan dengan setan betina bernama Cheryl itu, rasa penasaranku yang ingin bertatap muka dengan perempuan itu sebentar lagi akan terjawab. Sepertapakah begundal yang membuat Rivael kehilangan akal sehat itu? Seperti apa sosok yang menyingkirkan puluhan wanita-wanita di jagad kami dan berhasil melunakkan kesombongan dan don juan-isme Rivael itu?

Rivael sepertinya bisa membaca perasaanku itu.

“Akan kutunjukkan ia padamu,” katanya kemudian.

Aku diam namun hatiku berdegup kencang seperti tambur. Kami melangkah di wajah jalan setapak menuju ke salah satu sudut Alun-Alun. Dan di bawah rindang dan sejuk pohon beringin, sosok itu duduk tenang seperti air. Kami menghampiri dan berdiri di depannya sementara Rivael meletakkan makanannya di samping wanita yang aroma tubuhnya seperti pandan itu. Wajah manisnya tersenyum mengiringi perkenalan kami.

“Rifai,” kata Cheryl. “Kau tidak datang sendirian.”

“Aku tak sengaja bertemu dengan kedua temanku,” kata Rivael. “Kenalkan. Yang ini Jeremy dan yang satu ini mungkin calon pendampingnya, Frida.”

“Syukurlah masih bisa bertemu teman Rifai di kota ini. Kupikir memang lebih baik kalau Rifadapat bertemu teman-temannya. Dia cukup kesepian di sini,” kata Cheryl. 

“Jangan bilang begitu,” kata Rivael.

Ia kemudian menarik lenganku dan berbisik:

“Bagaimana Cheryl menurutmu, ha?”

Aku belum selesai terkejut karena dua hal yang di luar kekhilafanku itu. Pertama karena pertemuan dengan wanita yang duduk anggun itu, dan yang kedua karena wanita itu memanggil temanku dengan nama aslinya Rivael semakin mendesakku mengatakan jawabannya, sementara yang kulakukan hanya memandang dia seperti keledai dungu. 

“Cantik. Seperti Aphrodite,” bisik Frida.

“Kenapa kalian berbisik-bisik?” tegur Cheryl. “Pendengaranku ini masih tajam, lho.”

“Ah, tidak. Bukan apa-apa, Cheryl,” kata Rivael. Ia menatapku sekali lagi.

Mulutku masih tersumpal. Cheryl memang berbeda dari kebanyakan kaum di jagad yang pernah aku dan Rivael huni. Dia benar-benar sihir, seakan memantrai mulutku yang kotor dan pernah merendahkannya. Aku menyesal, malu, dan berniat minta maaf.


Namun, sebelum kata maaf itu melompat dari dalam mulutku, Rivael memilih menyudahi pertemuan kami.

“Senang berjumpa kalian. Sayang, kami harus pergi. Nikmatilah suasana, belum tentu kalian melihat Malang untuk yang kedua kali,” katanya.

Dia melingkarkan tangannya di lengan Cheryl lalu berpaling.

Aku melirik lupis di bangku taman.

“Ini –”

“Ambil saja. Aku membelinya untuk kalian,” kata Rivael dari kejauhan.

Aku kembali kehilangan kata-kata. Perlahan namun pasti, mereka berdua berjalan semakin jauh dan jauh hingga kelak akan menjadi sekecil titik. Sepanjang perjalanan, Cheryl tak pernah berhenti menggunakan tongkatnya untuk meraba wajah jalanan, sementara Rivael tidak pernah berhenti menggambarkan suasana di sekitar mereka. Samar aku mendengar ia sedang menggambarkan nuansa langit, warna cat masjid yang baru, pepohonan, anak-anak kecil, mall di seberang jalan, dan semua benda yang berada di sana.

Tangan Frida yang menepuk bahuku mengejutkanku setelah sekian lama terdiam.

“Kenapa?” tanya Frida.

Aku tidak menjawab. Perasaanku membiru.

“Menurutku, ia sudah menanggalkan don juan-nya,” kata Frida dengan mulut penuh makanan.

Aku memandang Frida yang cara makannya seperti anak kecil itu lalu tertawa.

“Hm?” tanya Frida saat melihatku tertawa.

Ia kemudian mengusap bibirnya dengan tisu.

“Ada yang salah?” tanyanya lagi.

“Tidak. Tidak ada. Cheryl itu, dia mungkin telah mengajarkan Rivael sesuatu dengan pengelihatannya yang gelap itu. Aku tidak bisa menebak hati seseorang, tapi mungkin aku mengerti kenapa Rivael hampir gila. Karena perempuan itu, dia buta, sehingga melihat sekelilingnya setara.”

“Rivael pasti bahagia,” kata Frida.

“Ya. Dia memang diberkati untuk itu.”

Matahari memerah, berangsur-angsur tenggelam di barat. Layar langit tercemar oleh pewarna jingga kemerahan yang hampir merata dan menjalar hingga ke seluruh penjuru mata angin. Langkah Rivael dan Cheryl semakin tak terjangkau oleh pandangan mata kami. Yang tersisa dari mereka hanya sepasang bayangan hitam memanjang.


 
**

T A M A T


Sabtu, 11 Juni 2011

Cassanova Gundah (bagian # 08)

PENGHUJUNG tahun telah di pelupuk mata. Surya gemilang di lembaran paling awal Tahun Tikus akan segera dijelang umat manusia dalam hitungan hari ke depan. Bulan-bulan dengan harapan baru, sinar-sinar cerah penebas jalan mendung kesuraman, telah dinanti seiring bergulirnya roda zaman yang tidak mungkin mundur. 

Walaupun semua itu belum sepenuhnya dirasakan oleh Rivael dan orang-orang yang menggelari diri mereka sendiri dengan sebutan “jelata” di luar sana. 

Ia telah menikmati awal kehidupan baru lebih cepat dari siapapun di antara relasi dan teman-teman kami. Setelah ketok palu pengadilan mengabulkan perpisahan jalan yang sebelumnya pernah ia lalui bersama Cheryl dalam satu titian yang sama, hari-hari berikut bulan-bulan sebagai seorang duda muda harus ia geluti. Kehidupan baru di tengah kerinduan terbitnya harapan baru. 

Dan Cheryl adalah harapan yang masih dinanti cercah sinarnya.

Setelah menumpuk rasa kesal, iri, marah, dan cemburu pada kehidupan Rivael, sekarang hatiku tidak bisa menahan perasaan iba yang menggelayut. Dia memang telah merelakan hampir seluruh harta selama ia dan mantan istrinya masih seranjang menginap dalam akun bank atas nama Jessica. Rivael juga mencoba menjadi pendidik bagi putranya. Dia sama sekali tidak melayangkan komplain ketika hak pengasuhan jatuh ke tangan Jessica. Rupanya, sebelum berpisah Rivael telah menyampaikan satu permohonannya kepada Jessica bahwa Evandra harus belajar selembut, sepintar, dan sebaik ibunya. Rivael berani menghukum dirinya sendiri dengan jelas mengatakan ia tidak ingin Evan menjadi seperti dirinya.

Aku merasa dia sudah bercermin dengan apa yang dia perbuat selama ini. Dan seolah menguatkan semua itu, citra kurang baik Rivael yang “seharusnya” telah melekat delapan hingga sembilan tahun silam itu perlahan menggerogotinya. Tawaran film pun hanya untuk para pendatang baru yang masih kelas pemula.

Aku bukan ingin mengungkitnya kembali, namun jika ucapan Gipsy itu adalah kebenaran, mungkin saat inilah yang coba dia gambarkan.  

Hubungan batin Rivael dengan pembawa musibah bernama Cheryl itu tidak pernah terbukti ampuh dan nyatanya. Yang terjadi saat ini justru hanyalah kegundahan, amarah yang tidak pada tempatnya, wajah pucat pasi, atau sikap antisosial yang menerjang diri Rivael. Berminggu-minggu ia tidak menemukan apapun selain rasa hampa, gelisah, dan marah. 

Bukan hanya Rivael yang gundah karena belum mendapati keberadaan penyihir bernama Cheryl itu, aku juga akhirnya merasakan hal yang senada. Aku justru malah menginginkan dia kembali seperti semula: Rivael yang don juan, penikmat wine, dan sangat menikmati hidup tanpa peduli apa yang sedang dia kenakan saat itu. Keterpurukannya saat ini hanya menimbulkan kesan ia seperti seonggok sampah yang tak berguna.

Pada sebuah malam sebelum 31 Desember, aku menyempatkan berkunjung ke apartemen Rivael. Ini adalah apartemen barunya yang jauh lebih kecil daripada yang dulu.

Ruangan kamarnya suram, hampir gelap. AC tidak dinyalakan sehingga udara terasa seperti di neraka yang diramaikan oleh tarian asap putih rokok. Asbak di meja yang ia tentang dijejali oleh puluhan puntung rokok. Baunya lumayan apak. Keadaan Rivael sendiri yang tengah duduk di sofa itu sudah seperti mayat hidup. Aku menggantungkan jaketku lalu mencoba menghibur dia dengan memancing sifat nakalnya yang terancam punah.

“Rivael,” kataku seraya duduk di sebelahnya. “Bagaimana kalau malam ini kita mencari Helena. Kau pasti rindu tarian pinggulnya, kan?”

Rivael menatapku hampa. “Siapa kau?”

Aku terkejut. Mungkin dia sudah gila, pikirku. “Ini aku, Jeremy.”

“Jeremy, hah?” kata Rivael dengan senyum di sudut bibirnya.

Aku mengangguk.

“Setahuku, Jeremy yang kukenal tidak suka dengan hal-hal semacam tarian pinggul Helena itu. Siapa kau?”

Aku tertawa untuk membuatnya ringan. “Bercandamu boleh juga. Kau pun bukan Rivael yang dulu kukenal. Jadi......apa kau setuju dengan rencanaku itu? Kita pergi ke tempat Helena.”

Rivael menekan puntung rokoknya di asbak lalu menyandarkan dirinya pelan-pelan.

“Tidak,” katanya parau. “Tidak, Jeremy. Aku akan lebih senang kalau kita meninggalkan apartemen neraka ini untuk hal yang lain.” 

“Apa? Kau ingin pergi ke bar? Disko? Apa. Katakan, Rivael! Akan senang sekali bisa membawamu keluar dari tempat pengap ini,” desakku. 

Rivael menolehku perlahan. “Aku ingin kita mencari Cheryl.”

Aku cepat membuang muka darinya. 

“Cheryl?!” kataku masam. “Lagi-lagi Cheryl! Lagi-lagi Cheryl! Perempuan itu benar-benar musibah. Kenapa kau masih saja mau mencarinya?” 

“Entahlah, kurasa dia separuh tulang igaku yang hilang,” kata Rivael pelan, hampir seperti berbisik.

“Kau pasti bergurau. Bukan untuk dia seharusnya kau katakan hal itu. Tapi untuk Jessy dan anakmu.”

Rivael merenung, tidak membalas. “Sekarang hanya Cheryl yang ada di kepalaku,” katanya.

Dengan pandangan bersaput setitik cahaya, Rivael menatapku.

“Kita harus mencarinya! Kita harus mencarinya! Demi Allah, aku akan benar-benar gila kalau tidak pernah bertemu lagi dengannya.” 

Aku masih bersabar walau mendengar nama Cheryl selalu membuat pitamku naik.

“Mau cari kemana, hah?” tanyaku kesal. “Aku tanya padamu: mau cari kemana? Kolong jembatan? Terminal bus? Hotel? Kost? Kemana, hah?! Kau yang bilang sendiri padaku kalau kau sudah mencarinya ke semua tempat, bertanya tidak kenal lelah ke semua orang yang mungkin dia kenal, mondar-mandir keluar-masuk rusun Surti demi sepotong jawaban darinya! Sekarang apa yang kau dapat dari semua itu?! NOL!!”

“Tapi kita tak seharusnya menyerah begitu saja,” kata Rivael mencoba meyakinkan.

“Katakan itu pada perkawinanmu. Kau sudah gila sejak saat itu.”

Rivael bungkam. Aku yang lelah berdebat dengannya bangkit dan berjalan menuju lemari es. Tidak ada yang bisa diminum selain air putih dingin. Aku menuang segelas lalu meneguknya. 

“Tawaranku terakhirku, Rivael: kita pergi malam ini atau aku akan meninggalkanmu!” kataku.

Aku mendekat kembali padanya. “Ayolah, tak ada salahnya kau kembali pada peradaban di luar sana; berpesta; bagaimana? Kau tentu tidak ingin melewatkan malam begitu saja, bukan?” bujukku.

“Tentu saja tidak,” katanya. Sesaat aku lega dia menurut. “Tapi tidak tanpa Cheryl,” lanjutnya.

Mendengar Rivael mengulang kembali nama wanita itu, kali ini bendungan kesabaranku benar-benar sudah jebol. Aku bangkit dengan kejengkelan dan mulai memperoloknya. 

“Astaga, Rivael! Entah setan betina macam apa Cheryl itu sampai-sampai kau dibuatnya tak berdaya; sinting seperti ini!” kataku tajam.

“Demi Allah, Rivael! Cheryl itu benar-benar telah menjadikanmu seperti boneka mainan: bisa digantung, ditendang, ditelantarkan! Kau harus melenyapkannya! Lanjutkan hidupmu, dan jangan tenggelam dalam kelakukan sampah seperti ini!” 

Rivael memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

“Diamlah!” hardiknya. “Kau sama sekali tak membantu menyelesaikan masalah ini! Bicaralah yang berguna atau diamlah!” 

“Kau yang dengarkan!” bentakku tak kalah lantang. “Mulai sekarang kau harus melupakan dia! Dia orang yang menghancurkan hidupmu! Dia yang membuatmu seperti sampah!”

Rivael masih memegangi erat kepalanya dengan kedua tangan. Tubuhnya gemetaran.

“Diamlah! Kau tak punya hak!” hardiknya. “Keluar dari kamarku! Keluar!”.

“Aku tidak akan keluar sebelum kau berjanji akan melupakan iblis betina itu!” kataku kasar.

Rivael cepat-cepat bangkit dari sofa dan mencengkeram kuat-kuat kerah bajuku. 

“Tarik umpatanmu!” katanya tepat di depan mukaku. “Kau tak punya hak menghina Cheryl seperti itu!”

Rivael mengguncang-guncangkan tubuhku. “Tarik kembali umpatanmu padanya! Tarik kembali!!”

Aku meraih cengkeramannya, berusaha melepasnya, lalu menampiknya. Rivael terengah-engah lelah.

“Aku tidak akan menarik ucapanku yang manapun. Aku tak akan menariknya kembali. Dia memang pantas dikatakan begitu! Setan betina!” 

Rivael memberiku pukulan telah di wajah. Aku terhuyung, menabrak meja, menjatuhkan gelas dan asbak, lalu jatuh terjerembab di lantai berkarpet. Bibirku terasa perih. Setetes darah merah membasahinya.

“Kau tidak mengerti dengan apa yang kau katakan, Jeremy,” kata Rivael.

Aku yang masih telungkup memandangnya sekilas dan segera bangkit.

“Apa yang tak kumengerti?” tanyaku. “Aku tahu, aku tahu Cheryl itu racun. Dia sudah meracunimu. Tinggalkan dia; cari wanita lain. Kau bisa dengan mudah mendapatkan yang lebih baik di luar sana. Cheryl itu sampah!”

Rivael kembali merengkuh kerah bajuku dengan paksa. “Jangan pernah mengatakan ia sampah di hadapanku, Jeremy! Aku rela Tuhan mengambil apa pun dariku, asal Dia menukarnya dengan Cheryl!”.

Aku menampiknya. “Kau sudah benar-benar gila! Kenapa kau berkata begitu?!”

“Karena aku mencintainya. Aku mencintai Cheryl. Itu sudah cukup bagimu?”

Aku membuang muka dan segera berjalan menjauh.

“Kau selalu ‘jatuh cinta’!” ejekku.

Kuambil jaket di gantungan. Saat hendak membuka pintu, kutoleh ia kembali.

“Apa kelebihannya, hah?” tanyaku.

“Andai kau tahu Tapi rasanya kau tidak akan pernah tahu karena kau mungkin tidak akan pernah kembali ke sini lagi untuk membahasnya denganku,” kata Rivael. 

Aku menutup pintu tanpa menanggapi sepatah katapun ucapannya. Memang yang ia katakan benar. Aku tidak akan jauh-jauh ke apartemennya hanya untuk membahas mengenai Cheryl. Setelah daun pintu itu menjadi batas keberadaanku dengan Rivael, langkahku tak pernah lagi menyapa apartemennya untuk waktu yang cukup lama.

**

(Bersambung)