Kamis, 21 Januari 2016

Kunang-Kunang Kayam

Malam itu bulan duduk dengan anggun di atas gedung-gedung sombong yang berpendaran beragam warna. Kota ini tidak pernah mengantuk, apalagi tertidur. Saat lampu-lampu di dinding hotel, mall, dan apartemen bergairah menarik pundi-pundi uang dan pelampiasan dari celana penduduk kota, aku tengah menikmatinya dari sebuah balkon lantai 4 kantorku.

Ketika Umar Kayam memperkenalkan Jane, Marno, dan New York pada tahun 1972, kukira kota yang terkenal dengan Central Park-nya itu telah menginspirasi ratusan kota lain untuk tidak naik ranjang dan tidur terlalu cepat. Bahkan, dalam perjalanannya, ia menjungkirkan kodrat alam dengan melarang malam untuk mengistirahatkan raga dan jiwa manusia.

Begitulah, kini, 44 tahun kemudian, di Hongkong, Dubai, Taipei, bahkan Jakarta telah terjangkit insomnia komunal. Kunang-kunang Kayam di Manhattan hijrah ke belahan bumi lain. Hewan dengan suar senoktah itu kini merubung Burj Khalifa di Dubai, kasino di Taipei, dan gedung-gedung mewah Jakarta. Tentu saja, ketika melihat itu dengan kretek sisa setengah dan kesepian yang normal, aku menerima kenyataan bahwa kota ini telah dijejali oleh Jane, Marno, atau Madame Schlitzs. Dan Sang Raksasa dengan mulutnya yang selalu lapar menelan mereka satu demi satu. 

Dengan dramatis, mau tak mau aku teringat suasana di kampung 20 tahun lalu yang rumah-rumahnya hanya diterangi listrik 450 Watt serta suara mengkerik jangkrik. Saat jam menunjukkan pukul 23 
alam terdengar hening dan khidmat. Esok subuh penduduk akan saling salam menuju surau. Dan dengan alaminya kekeluargaan itu datang tanpa diminta.

Tapi, jika kau bersamaku malam ini, maka kita akan tak saling mengenal untuk hal yang remeh sekalipun. Kita secara alami terikat dengan individualisme, kekosongan jiwa, dan rasa takut kesepian yang -- Demi Tuhan! -- diam-diam menggerogoti. Seperti kanker. Atau virus. Dan sudut-sudut gemerlap di kangkangan Tugu Obelisk inilah resep dokter yang diberikan kepada kami setiap hari. Untuk merayakan kekecewaan dan kekalahan.

Ketika angin datang kau bisa segera mencium bau kota ini. Aroma kapitalisme. Jangan tanya bagaimana pengap dan busuknya perkampungan kelas bawah yang hanya sanggup termangu melihat tayangan Burj Khalifa di TV karena mereka sudah terlanjur cinta dan tak sanggup berlari. Di balik selimut dan tajamnya udara yang menerobos dinding triplek, mereka merenda angan suatu hari gemerlap hedonisme akan datang di pintu rumah mereka.

Hari ini, aku telah menjadi Jane yang dimakan Sang Raksasa. Sebagaimana pengalaman Kayam di New York, hari ini pun aku telah merasakan kebudayaan kota ini bukanlah kebudayaan yang sehat. Dan dengan menyedihkan harus kuakui bahwa lama-kelamaan virus kota ini akan menjalar ke seluruh negeri. Orang takkan tertarik lagi mengenal satu sama lain. Seperti di Dubai, New York, atau Jakarta. Semua terikat dengan pagi yang terburu-buru dan malam yang tak membuat tidur.

Sabtu, 09 Januari 2016

Sastra yang Menarik



Apa yang menjadikan sastra menarik?


Tentu akan banyak sekali pandangan dari pertanyaan di atas. Lagipula, bagaimana standard sastra bisa menarik? Dari ceritanya? Penjualannya? Karena menjadi topik diskursus atau diadaptasi menjadi film layar lebar?

Sastra, bacaan yang baik, adalah sastra yang membuat pembacanya "hidup" di dalamnya. Merasai apa yang dirasakan para tokohnya. Mendengar apa yang mereka dengar. Turut mengalami sepi atau hingar bingar di sekeliling mereka. Ibaratnya, bacaan sastra yang baik, seolah membicarakan kisah kita sendiri. Sastra dikatakan berhasil jika ia bukan fiksi yang sekedar hadir dalam imajinasi atau selingan sambil minum kopi di hari Minggu, tapi mampu membawa pembacanya merenung dan berpikir ketika telah menyelesaikan titik terakhir.

Sastra adalah pesan. Pesan itu baru bernilai ketika si penerima tidak apatis terhadap isinya. Tentu saja kandungan nilai dalam pesan bisa berbeda-beda. Novel “Amba” karya Laksmi Pamuntjak, misalnya, membawa kita kembali kepada pernak-pernik Indonesia pada tahun 1965. Laksmi membawa kita bernostalgia ketika komunis baru tumbuh lalu mencoba menjadi bagian dari negara yang baru saja lahir. Melalui Amba dan Bhisma, Laksmi mengajak pembaca melihat kejatuhan paham bawaan Soviet – yang sekaligus menjadikan para simpatisan (atau dianggap simpatisan) partai kiri itu disingkirkan. Diasingkan sebagai tahanan politik di Pulau Buru dan harus “bekerja” untuk membangun pulau itu dengan “bonus” penyakit dan kehilangan kebebasan. Laksmi mengajak mengilas balik sejarah lewat sastra dan “meramaikan” tanda tanya penting di balik tragedi kemanusiaan di Indonesia: sudah siapkah bangsa ini membuka dan mengkaji kembali lembaran penuh tanda tanya dalam sejarah mereka sendiri?

Sastra membentuk pertanyaan dan perubahan. Pertanyaan tentang korelasi yang tertuang di alam fiksi dengan realita. Setelah terbentuk pertanyaan dan paradigma, mampukah ia menjadikan pembacanya “bergeser” dari tempatnya berdiri saat ini?

“Bergeser” ini pun bermakna bahwa membaca sastra adalah cara “melunakkan” hati. Sastra membawa sebuah dunia yang sebelumnya belum dijamah. Pengalaman-pengalaman. Sudut pandang tentang sesuatu hal yang sudah atau bahkan belum pernah diketahui. Dari situlah sastra menjadi obat agar hati tidak kaku menerima realita kebudayaan di dunia yang tak selalu sesuai dengan kaca mata kita.

Pesan sastra tidak tentang benar atau salah. Pembaca bisa menarik paradigma tentang dua kutub itu dari perbandingan pengalaman pribadi dan kandungan bacaan. Ramayana versi India maupun Jawa mainstream-nya menghadirkan Rahwana sebagai tokoh yang bersalah karena menculik istri Rama. Namun dalam novel musikal Rahvayana (1 dan 2), Sudjiwo Tejo mencoba membela Rahwana dengan mengajak pembaca tidak terjebak dalam polarisasi hitam-putih. Sudjiwo Tejo sendiri dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Rahwana adalah laku dari kandungan sastra tertinggi, yakni Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Menurutnya, label benar-salah itu sejatinya tidak ada. Hidup adalah paradoks. Tuhan sendirilah yang mengizinkan seorang supir bus dihibur lelahnya oleh pelacur Pantura saat mengantar beras yang mana beras itu nanti akhirnya dinikmati bahkan oleh mereka yang menjunjung etika dan moral.

Ah, sudahlah. Ambil saja buku sastra yang bagus, lalu mulailah masuk ke kehidupan orang lain.