Jumat, 03 Juli 2015

"Tenang, Hidup itu Pilihan, Bro." | Oh, Ndasmu


Hidup adalah pilihan. Begitu kalimat klasik yang sudah sangat familiar kita dengar. Mengetahui bahwa sederhananya hidup itu adalah tentang keberpihakan membuat kita juga (seolah) ringan saja mengucapkan: "Tenang, hidup itu soal pilihan, Bro" ketika kita juga (seolah) tahu imbas keputusan seseorang untuk memilih hal yang nanti akan mengikatnya.

Tapi, apakah benar semudah itu berujar: "Hidup adalah pilihan"?

*

Sesaat setelah kita pertama kali dilahirkan, kita telah dengan tanpa sadar mengikatkan diri pada nilai, norma, budaya maupun agama yang kelak akan membentuk karakter dan kepribadian kita.

Seorang Zaelani terlahir dalam keluarga muslim yang taat. Sejak usia 7 tahun ia dibiasakan pergi ke masjid, sholat 5 kali sehari, pun berpuasa Ramadhan. Berbeda dengan Caroline yang sejak usia yang sama rajin diajak kebaktian di katedral, berpuasa sebelum Paskah, atau merayakan Natal setiap Desember. Keduanya terikat oleh pilihan yang dipilihkan oleh lingkaran lingkungan paling kecil: Keluarga.

Dengan doktrin yang sejak dini ditanamkan, kita dapat menduga bahwa ketika mereka dewasa nilai-nilai akan membentuk Zaelani menjadi figur lelaki muslim dan Caroline seorang Katolik. Pada suatu momentum yang menjungkalkan paradigma, belakangan kita tahu bahwa Zaelani secara sembunyi-sembunyi mengagumi Buddhisme. Di lain pihak, Caroline tertarik dengan konsep kerasulan Muhammad SAW. Saat itu keduanya berumur 18 tahun. Saat itu secara usia dan hukum keduanya memiliki kebebasan untuk memilih.

*

Menjadi berbeda karena pilihan tidak dapat selalu dikatakan mudah. Terlebih benturan dengan lingkungan yang memilihkan kita pada pilihan-pilihan saat kita belum mandiri dan bebas memilih. Bahkan, dalam tingkat ekstrim, kemandirian memilih memberi konsekuensi tidak mengenakkan. Beberapa diusir, dihilangkan, atau dikebiri haknya.

Setelah peristiwa berdarah komunisme dekade '60-an kita ketahui bahwa ada marjinalisasi kepada mereka yang masih "berbau" golongan kiri. Dekade '90-an Tempo dibredel karena memilih jalan yang terlalu berani dalam rezim Orde Baru. Dan awal 2000-an hampir seluruh mata dunia menstigma muslim sebagai teroris.

Memilih itu belum menjadikan kita sepenuhnya damai. Belum membuat hidup terasa ringan seperti jargon "Hidup adalah pilihan", karena mereka masih dihantui rasa cemas. Masih dihinggapi perasaan ditolak dari beragam perspektif dan persepsi. Terlebih bila apa yang kita pilih itu menjadikan kita berada dalam kelompok minoritas atau group yang kurang populer.

Seyogyanya, ketika seseorang / sekelompok orang menilai adanya perubahan dalam diri orang lain dengan berkata: "Biarinlah, hidup itu pilihan, kok",  haruslah dibarengi kesadaran nyata bahwa mereka tidak akan mencibir di balik punggung. Terlebih melakukan tindakan yang - dengan parameter nilai kebaikan apapun - dapat membuat mereka harus memilih jalur cepat ke pintu neraka.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar