Beberapa waktu yang lalu pernah timbul dalam pikiran saya tentang tayangan tidak bermutu yang hampir setiap hari datang dan menjejali layar televisi kita. Bagaimana mungkin, jika kita sedikit 'waras', tayangan lebay dan penuh bumbu drama bisa menjadi tayangan yang hampir selalu dinanti jam tayangnya? Apakah sudah tidak ada pilihan lain, sehingga pada jam prime time, orang sibuk membeli mimpi dan pembenaran dari tayangan itu?
*
Melihat tayangan televisi yang tidak berbobot dan bernilai edukasi rendah, seperti kebanyakan acara mistis, sinetron, atau kontes adu bakat, rasanya seperti memakan junk food. Puas sesaat tapi tidak bernilai gizi memadai. Jika dicari bandingannya, para penikmat televisi dengan standard kualitas tertentu akan memilih, misalnya, National Geographic atau serial yang - setidaknya - lebih kuat dalam tema dan sinematografi. Kebanyakan, tentu saja, produksi luar negeri dan berbayar. Atau, jika bukan penikmat televisi, orang dengan standard tertentu lebih senang bepergian ke bioskop atau teater untuk mencari nilai yang dapat memuaskan pengetahuannya.
Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki cukup sumber daya untuk menjadi bagian dari masyarakat berstandard tersebut. Tidak setiap orang mampu untuk setidaknya 3 kali seminggu datang ke bioskop XXI atau membeli tayangan berbayar semacam History Channel dan National Geographic. Dan, akan sangat merepotkan jika untuk sekedar terhibur harus dengan cara yang mahal dan ribet. Mau senang kok susah?
Ketidaksamaan sumber daya inilah yang kemudian membuat sebagian besar masyarakat menghibur dirinya dengan tayangan televisi tadi. Soal value dan knowledge bisa didiskusikan belakangan. Hiburan dan bahan untuk cerita dikedepankan. Para petinggi media dan pengusaha hiburan pun memberi restu. Artis dipermak sedemikian rupa. Skenario dan konflik-konflik direncanakan. Berilah mereka mimpi dan biarkanlah 'merasa' seolah menjadi bagian dari panggung drama itu. Dan, boom! Kita tinggal membicarakan rating.
*
Kita masyarakat yang lelah. Capek. Dalam keseharian kita sudah dibebani dengan pekerjaan, mengurus rumah tangga, kemacetan, penghasilan kurang memadai untuk hidup di kota super kompetitif, sanitasi buruk, atau urusan-urusan besar dan tidak sesuai kapasitas untuk menyelesaikannya yang mau tidak mau datang dan hinggap, seperti: fluktuasi harga pasar, korupsi menteri, sampai nuklir Iran. Capek, kan? Terlebih kalau kebetulan orang yang merasakan itu adalah masyarakat menengah ke bawah.
Jika beban-beban itu diangkat dari pundak mereka, tentu pemilihan hiburan dan kesenangan juga akan berubah. Akan tumbuh kesadaran dan standard baru bagi mereka. Seterusnya tentu masyarakat akan membagi mana golongan primer dan mana yang sekunder.
Masyarakat butuh kesenangan-kesenangan kecil. Butuh jeda agar stres yang terlanjur mengikat otak mereka dapat dikendurkan sejenak. Tayangan televisi kita memberi peluang itu. Sebenarnya, jikalau sanggup, tidak akan ada yang tidak ingin mendapat tayangan yang jauh lebih variatif dan berbobot. Tidak ada yang menolak untuk datang ke bioskop atau membeli sepaket buku literatur berskala internasional agar cakrawala mereka terbentang seluas mungkin. Hanya saja, belum untuk saat ini. Biarkan kami - untuk hari ini - terhibur oleh Ganteng-Ganteng Serigala atau dangdut Saipul Jamil.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar