Kamis, 16 Oktober 2014

3676 MDPL dalam Catatan




Kamis. 9 Mei 2013. Pagi hari. Suasana terminal Tumpang, Kabupaten Malang, mulai ngulet dari tidur pendeknya. Angkutan penumpang berwarna putih, truk-truk bak terbuka, jeep, bercampur baur dengan ratusan manusia di hari yang mulai menghangat.

Manusia-manusia itu bermula dari tanah yang tak selalu sama. Dari arah timur, tengah, barat bahkan di luar gugusan pulau Jawa. Ambisi dan pandangan hidup yang tujuh rupa. Laki-laki dan perempuan dengan beragam bahasa dan usia yang ditalikan oleh satu ikatan besar: tanah tertinggi pulau Jawa.

Di emperan-emperan, di pinggir-pinggir jalan, carrier berbaris rapi menunggu dipeluk oleh punggung pemiliknya. Perbekalan dan ransum telah dipersiapkan lebih dini. Perjalanan menaklukkan tanah tertinggi Jawa bukanlah perjalanan syuting film. Kru kami bisa dibilang hanyalah anggota setim atau rekan seperjalanan yang mungkin kebetulan sedang melintas. Jalan setapak yang akan dilalui pun bukan jalan lempang mulus yang biasa kami hadapi di perkotaan. Di sana terjal, serba tak terduga, dan mungkin mistis.

Bersama kurang lebih 20 orang lainnya, kami diangkut oleh truk menuju Ranupane. Jalan berkelok-kelok khas kontur pegunungan menyapa dan sesekali mengolengkan tubuh kami. Di kanan kirinya adalah gundukan besar hijau. Tebing dan lereng berpagarkan barisan pohon tropis. Atap dunia yang biru cerah membuat cakrawala seolah tak bertepi.

Ketakjuban kami benar-benar tak lepas ketika akhirnya dari seberang, gundukan coklat itu berdiri angkuh. Bentuknya yang konyol mirip es puding itu mengangkang dan menguji nyali kami. Sekilas, dia terlihat begitu lugu. Begitu pendek jaraknya dari lengan kami

Kelak, kenaifan kami akan insaf, bahwa dia tak pernah terlalu sedekat itu.

*


Ranupane adalah bagian dari Kabupaten Lumajang. Ia dipagari oleh danau seluas 1 hektar yang hijau dan tenang. Di tempat berketinggian 2200 mdpl  ini kami melakukan registrasi sebelum mendaki. Ini adalah desa terakhir sebelum kami menceraikan diri dengan peradaban modern. Balai Besar Taman Nasional (BBTN) Bromo-Tengger-Semeru sejatinya hanya mengizinkan rute pendakian sampai dengan pos Kalimati saja. Sisanya merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing.

Menjelang Ashar, setelah melakukan ritual doa, bersama-sama puluhan pendaki lain kami pelan-pelan meniti gerbang Semeru. Tim kami terdiri dari 5 orang. Di bawah langit Ranupane yang teduh, jalan setapak terjal belum-belum sudah menyapa kami.

The first chalangge adalah diri kami sendiri. Memanggul beban carrier, kondisi yang tidak fit, mungkin juga mental yang kurang tangguh dalam merintangi jalan setapak menanjak bisa membuat mual atau muntah. Sisanya adalah suhu udara, ketinggian, kadar oksigen, dan jalan setapak yang ujungnya landai dan empuk tertanam begitu lama dalam imajinasi.

Perjalanan menuju camp pertama adalah 4-5 jam. Ranukumbolo dingin, danaunya berasap seperti kalau kita menjerang air. Hanya saja ia berbanding terbalik. Uap airnya membeku. Di sekeliling kami, para pendaki sudah membangun tenda masing-masing. Kode-kode seperti “Impala”, “Mapala”, bahkan yang absurd semacam “Foooyyoooo” bersahut-sahutan untuk menandai keberadaan mereka. Malam masih terlalu muda dan Ranukumbolo seperti tengah mengadakan pesta penerimaan siswa baru.

Dalam balutan udara yang mirip suhu ruangan kulkas itu, kami tidak bisa berharap lebih dari sekedar makanan atau minuman hangat paling sederhana. Ranukumbolo semakin meriah dalam dingin.

Dari arah lereng, sinar-sinar putih headlamp berkilatan. Membentuk barisan panjang mengular tak terputus. Invasi masih akan terus terjadi. Kegembiraan setelah perjalanan panjang tertuntaskan sudah di pinggir sumber air terbesar Semeru ini.


Dan, yang membuat malam ini menjadi sulit dibantahkan kenirwanaannya, adalah tepat di atas kami, bintang-bintang bertebaran di mana-mana. Noktah-noktah yang lebih gemerlap, lebih besar, dan bumi kami serasa lebih dekat dengan langit dibanding jika di detik yang sama kita menatapnya dari atap rumah.

Suara kecipak air. Pagi masih basah dengan embun. Beberapa tenda masih terkunci rapat membungkus penghuninya dari dinginnya pagi. Kami menanti sunrise pertama di tepian Ranukumbolo yang berselimut kabut. Putih dan benar-benar membungkus keseluruhan pandangan yang ada di sekeliling kami.

Pukul 06.00 WIB pelan-pelan dari celah pertemuan dua buah lembah, bola besar itu mulai menampakkan diri. Tak seperti biasa, kabut rupanya terlalu kuat hingga matahari yang kuning terang itu ikut memutih. Iya, matahari berwarna putih pagi hari itu. Persis seperti bulan, hanya saja dia tak bernoda. White sunrise. Mungkin itu perumpamaan yang tepat untuk moment kala itu.

Setelah sarapan ala kadarnya kami melanjutkan perjalanan. Nyata di belakang tenda kami adalah bukit yang selama ini kental dengan mitos. Ia dikenal dengan nama Tanjakan Cinta. Dinamai demikian karena (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) dia jika dilihati dari sudut pandang lain (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) merupakan pertemuan dua bukti yang seolah (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) membentuk icon hati.

(Masih belum nengok ke belakang, kan?)  

Good! Karena mitos ini bekerja hanya kalau kamu tidak menoleh ke belakang. Sesulit dan semiring apapun tanjakannya (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) jangan berani-berani memalingkan wajahmu menghadap Ranukumbolo. Biarkan kemolekan danau itu tetap di belakangmu. Move on. Dengan berjalan begitu terus sampai ke puncak, harapan cintamu (konon) akan terwujud.

What a legend! Heuheu..

Tak ada riset ilmiah yang terbuku dan membuktikan secara logis kalau para pendaki yang tidak menoleh saat mendaki Tanjakan Cinta, harapan cintanya (minimal) akan terwujud. Namun, fakta yang tak terbantahkan dan dapat menjadi jawaban atas fenomena “tanjakan” dan “harapan” itu adalah: jika seseorang meniti Tanjakan Cinta, terserah dia menoleh atau tidak, lalu tetap meneruskan perjalanan maka dia akan menemui “harapan” yang menjadi kenyataan.

Tidak ada harapan yang begitu didambakan menjadi kenyataan bagi seorang pendaki yang setelah lelah meniti tanjakan, selain jalan menurun yang landai, padang ilalang yang 1000 kali luasnya dari lapangan Maracana, dan anggunnya kerumunan (mirip) Lavender ungu.

Tanah harapan itu bernama Oro-Oro Ombo.

 
 *

Hujan abu merinai di langit Kalimati. Di camp inilah kami akan lebih banyak berhibernasi. Perjalanan panjang empat jam naik turun bukit dari Cemoro Kandang, Jambangan, hingga di padang kering ini sudah cukup membuat kami merindukan mie hangat dan sleepingbag. Pun, Kalimati inilah camp terakhir sebelum mendaki Mahameru malam nanti. Maka dari itu, kami harus istirahat total sebelum summit attack.

Kini kami berada pada ketinggian kurang lebih 2400 mdpl. Si kue puding coklat itu tepat menjadi background tenda kami. Secara hitungan sederhana, kurang lebih 1200 mdpl lagi kami dapat mencapai puncak si kue puding Mahameru. Well, it’s ain’t matter.

Tapi, kenyataan memang tak selalu seindah hitungan matematika.

1200 mdpl tak dapat dihitung sesederhana seperti kita berjalan dari Jember ke Rambipuji. Percayalah, kami mungkin menjadi bagian paling naif dalam mempertahankan kewarasan kami untuk tetap berjalan dan terus berjalan.

Sebagai pendaki summit – terlebih Mahameru – yang minim pengalaman, kami melakukan spare waktu dua jam lebih awal untuk memulai summit. Jika pendaki ahli, mereka akan summit rata-rata diantara pukul 00:00 WIB s.d. 03:00 WIB. Kami? Well, kami butuh effort jauh lebih besar dari itu.

Beranjak meninggalkan Kalimati malam hari pukul 22:00 WIB, regu gabungan kami total sejumlah 21 orang. Berduyun-duyun mirip ninja kami menjelajah kegelapan. Masuk hutan. Naik-turun jalan setapak. Kehausan. Kelelahan. Hujan abu yang tak mau mengerti. Dingin. Dan “musuh” paling hakiki yakni diri kami sendiri.

Untuk kesikan kalinya kami membanting tubuh di alas Arcopodo. Walaupun carrier sudah lepas dari punggung, tapi tubuh memang tak bisa berbohong. Di sini kami berlatih untuk tidak egois dan jujur dengan kondisi kami. Jika lelah ya berhenti. Tidak boleh memaksa. Dan teman yang lain harus bisa memahami.
  
*
  
Entah sudah berapa ratus cemara kami lewati, sebelum akhirnya tidak satupun bayangan pohon apapun. Hanya pasir. Pasir. Dan pasir.

Di depan kami, ratusan pendaki lain sudah lebih dulu mengambil start. Tiga langkah maju, pasir melengserkannya dua langkah. Empat langkah mereka bergerak, mengambil nafas, pasir menggeserkannya satu langkah. Puncak Mahameru tertutup gelap. Tapi dari batas paling ujung sinar-sinar putih headlamp menggoda kami untuk terus mendaki.

Lereng Mahameru sepi dalam keramaian. Yang berisik terdengar hanya derap, pergeseran pasir, dan engah nafas kami masing-masing. Entah berapa jamaah pendaki yang sudah kami lewati, namun sinar headlamp yang berada di titik lebih tinggi dari kami belum juga terlampaui.

Kami mulai gila karena kelelahan. Dehidrasi. Persediaan air menipis. Berada di ketinggian 3000 mdpl tidak memberikan kami banyak pilihan selain mempertahankan kewarasan dan menebalkan tekad.

Lalu tiba-tiba, seolah mengejek kami yang terlalu lamban, dari titik tertinggi berkoar suara nyaring: “Fooooyyyooooo!!!!”

Gila! Kode absurd Ranukumbolo berkumandang di sini?
Dan, dia ada di atas kami???!!
Dan dia mengudarakannya dengan nyaring nyaris tanpa dosa?!!

Entah dengan perasaan rekan yang lain, tapi saya pribadi agak jengkel dengan koaran itu. Mungkin, maksudnya baik, ingin menyemangati yang masih tertinggal. Tapi, entahlah, di alam seperti ini, kepribadianmu tanpa tedeng aling-aling akan menunjukkan diri. Kiranya saat itu bertemu, ingin rasanya saya jitak orang yang berkoar kode absurd itu. Heuheu …

*

Padatnya jamaah yang berziarah ke puncak Mahameru membuat kami terpisah dengan tim yang lain. Kami kehilangan kontak satu sama lain. Saat itu hampir Subuh. Saya tidak tahu berada pada ketinggian berapa kini. Yang terjamah oleh mata saya hanyalah kebesaran Tuhan yang …………. (sukar diejawantahkan).

Langit yang semula hitam pekat, perlahan seperti meluntur. Memudar karena ada zat biru yang meracuninya. Dari arah Timur segaris sinar panjang berwarna jingga menyilet gugusan biru gelap. Seolah ia sayatan yang ingin melukai Subuh. Sinar jingga itu makin lama makin terang. Sayatannya semakin lebar. Warna biru gelap langit bergradasi menuju biru cerah. Di depan, di samping kanan, dan di samping kiri saya mulai terlihat puncak-puncak agung yang terbangun dari tidur. Sementara jauh di bawah sana, tidak terlihat lagi sabana. Hanya gugusan putih serupa kapas yang mengitari lereng tempat saya menyandarkan diri.

Kami sudah lebih tinggi dari awan.

Tapi saya cukup sadar bahwa saya dehidrasi. Air adalah anugerah terindah Tuhan melebihi logam mulia apapun di Mahameru. Dan tegukan terakhir saya sudah tandas.

Di belakang saya, puncak Mahameru seperti mengejek kekerdilan saya. Puncak itu bahkan tidak bergeser 1 centimeter pun dari sejak ketinggian 3000 mdpl. Semakin didaki, semakin ia menjauh. Semakin berambisi direngkuh, semakin lihai ia melarikan diri.

Saya lelah, iya.
Saya haus, iya.
Saya marah, jelas iya.
Dan saya benci untuk mengatakan: saya sudah tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.

Hampir dua puluh atau tiga puluh menit kami terpisah. Selama waktu itu saya tidak tahu bagaimana kondisi rekan yang lain. Apa sudah bersenang-senang di atap pulau Jawa atau justru masih tertinggal di barisan belakang. Tapi dua hal yang bisa dipastikan kami kelelahan dan dehidrasi.

Matahari menyeruak dari balik sayatan jingga yang memerah. Langkah saya masih tertahan. Matahari pagi dan puncak yang tak bergerak sedikit pun itu seperti mencibir.

Namun Tuhan memang Maha Pemberi Ceria. Sebagaimana terkalam dalam firman-Nya, “di dalam kesulitan itu sesungguhnya ada kemudahan”, keajaiban itu terjadi. Setelah menunggu sekian lama, rombongan tim kami akhirnya berhasil menyusul. Miskomunikasi ini ternyata membuat kami saling menunggu. Dan, kabar gembiranya, mereka masih memiliki sisa cadangan air.

God! It’s a miracle 

Dengan sisa air seperempat botol sedang itulah yang akhirnya menjadi tenaga pendorong terakhir untuk mencapai atas pulau Jawa. Kami mulai bergerak kembali. Selangkah demi selangkah. Mahameru masih enggan mendekat. Ia semakin menguji. Tak hanya dengan pasir, pun batu-batu besar. Tidak hanya kehausan, tapi juga godaan untuk menyerah di tengah jalan.

*

Kami tidak menemui padang rumput hijau di atas sini. Hanya batuan-batuan kehitaman dan pasir. Sejauh kami menebas horizon, hanya lautan biru diselingi puncak-puncak kokoh Bromo atau Arjuna.  Jonggring Saloka adem ayem dan belum gatal terbatuk batuk. Puncak abadi para dewa itu terlihat begitu sederhana. Sederhana yang membuat kami takjub tak berkata-kata.

Soe Hok Gie mengatakan, “Hidup adalah soal keberanian. Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti Tanpa kita menawar. Terimalah dan hadapilah”.

Dia benar. Mahameru memberi kami banyak sekali ketidakmengertian. Tanda tanya besar yang menggantung di leher kami. Keragu-raguan apakah atap tertinggi Jawa itu mengizinkan kami mencumbuinya. Namun, pada akhirnya yang tersisa adalah soal berani atau tidak.

Mahameru tak memberi kami banyak tawaran bagus, selain bertahan dan berjalan. Kenyataan bahwa hal paling gila terjadi di sepanjang perjalanan ini, kami anak-anak PaPuMa: Fathur, Jack, dan Bogie tak harus merisaukannya lagi.

Tanah tertinggi Jawa ini adalah sabar dalam duka manusia.

 * * *


Rabu, 08 Oktober 2014

Coba Kau Tunjuk Satu Bintang



Dalam sebuah artikelnya, National Geographic Indonesia pernah membahas mengapa kita memakai satuan cahaya untuk menentukan jarak antara Bumi kita dengan benda-benda di langit. Alasan sederhananya, karena jarak antara Bumi dengan sebuah bintang, misalnya, terlalu jauh. Dan, jika menggunakan satuan kilometer akan menghasilkan penulisan angka nol (0) yang terlalu banyak. Agar lebih mudah, maka digunakanlah satuan cahaya. Dengan asumsi kecepatan rambat cahaya mencapai beberapa ratus kilometer per detik, maka ukuran jarak bumi dengan bintang akan lebih sederhana penulisannya.

Dengan demikian, jika kita melihat cahaya dari suatu bintang, maka sebenarnya itu adalah cahaya yang terlambat kita terima. Cahaya yang dikirim sebuah bintang dengan jarak 100 juta tahun cahaya, misalnya. Karena bintang itu mengeluarkan cahaya dari jarak 100 juta tahun cahaya, maka kita yang ada di Bumi baru menerimanya setelah ia menempuh jarak 100 juta tahun cahaya.

Jika demikian, yang namanya waktu itu bias dan kabur, ya? Hehe … Kita ini sebenarnya ada di masa kini, masa depan, atau malah masa silam?

Memang, jika diposisikan menurut sudut pandang kita yang di Bumi, maka bolehlah kita beranggapan bahwa kita hidup di masa kini. Cahaya dan bintang itu ada di masa kini juga. Masa depan belum terbayang. Dan masa lalu sudah terbungkus rapi. Tapi, seandaianya di bintang atau di benda langit nun jauh ribuan tahun cahaya di atas sana juga ada makhluk hidup, maka posisi mereka memandang kita yang di Bumi ini bagaimana, ya?

Heuheuheu …

Kita hari ini adalah masa kini. Tapi juga adalah masa lalu. Bisa juga sebagai masa depan. Tergantung siapa dan dari mana ia memandang. Galaksi Bima Sakti kita ini adalah lingkaran kecil dari lingkaran lain yang lebih luas di sistem tata surya. Masih ada Andromeda dan galaksi-galaksi lain yang mungkin adalah bagian kecil dari kesatuan besar alam semesta ini.

Tapi baiklah, kita ndak akan berbicara teori konspirasi UFO dan Alien, kok. Biarlah sejarah, astronom, dan penggemar teori konspirasi yang mengulasnya. Akan lebih asyik jika kita membayangkan homo sapiens yang (katanya) berpikiran paling maju ini, ternyata tidak hidup sendiri. Mungkin, kan? Wong alam semesta ini luar biasa luasnya hehehe.

Sebuah citra yang ditangkap oleh Teleskop Hubble memperlihatkan langit di luar angkasa yang amat magis dan penuh misteri. Langitnya hitam, bertabur bintik-bintik kelap-kelip, dan seperti ada warna hijau-biru-pink-merah Aurora Borealis. Dan entah di suatu tempat di luar sana akan ada kehidupan lain. Suatu tatanan masyarakat lengkap dengan kebudayaan dan peradaban yang (saat ini) hanya bisa kita imajinasikan sebatas dalam Avatar atau Thor.

Sebuah kelompok masyarakat yang memiliki pandangan lain tentang alam semesta.



Entah kapan waktunya ya, manusia Bumi akan melakukan perjalanan antariksa ke gugusan planet yang berjarak jauh dari sistem tata surya kita. Semudah kita menaiki pesawat dari Jawa ke Kalimantan. Segampang kita melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Dan entah kapan, kita bisa memandang masa lalu, masa kini, dan masa depan dengan duduk berdampingan dengan mereka yang mendiami galaksi lain.

Sebuah kutipan menarik dari film Transformer 4: Age of Extinction, bahwa makhluk extra terrestial itu menyindir Manusia sebagai makhluk yang merasa tahu segalanya. Namun nyatanya, tekhnologinya belum sanggup menjangkau tekhnologi yang dibangun makhluk itu. Manusia, dalam kutipan itu, tidak tahu apa-apa. 

Yah, …kita memang tidak tahu apa-apa. Yang paling mendasar kita tahu hanyalah: di antara langit pekat, bulan, bintang, kita adalah partikel mungil tak berdaya. Kita hari ini sekedar menikmati atau menunjuk-nunjuki komet yang kebetulan melintas. Sembari mengulang-ulang pertanyaan apakah mereka yang ada jauh di luar sana juga tengah asyik mengamati kita.

 

Jumat, 03 Oktober 2014

Maaf.Maaf. Maaf.


Maaf. Maaf. Maaf.

Allah, Engkau yang memberi hidup kepadaku. Engkau pula yang kelak akan menidurkanku. Di rentang menuju jalan pulang yang entah berapa lama harus kutempuh ini, aku terkapar lemah.

Gelas yang Engkau berikan padaku penuh dengan beragam zat. Ketercampuradukan zat berdiam di gelas itu entah berapa lama lagi dapat aku mengerti. Sungguh, maafkanlah aku, jika aku masih merasa terbebani oleh kadar muatan dalam gelas itu.

Akulah yang lemah. Yang tak pandai. Sehingga gelontoran yang Engkau tuang ke dalam gelasku, terkadang tumpah. Tak terhitung liternya. Tak terkira endapan kotor di dasarnya yang sanggup aku urai dan jernihkan.

Maaf. Maaf. Maaf.

Akulah si lelah. Berbagi dan berkorban pun aku tak layak bersanding dengan umatMu sebelumnya. Kini aku adalah tawanan. Penjara bagi akal dan mata hatiku sendiri. Akulah gelas retak. Akulah ... orang yang khilaf tak memantik api ketika gelap menyekap. 

Maaf.Maaf. Maaf.

Keterbatasanku. Kebodohanku. Oh, Tuhan! Sungguh aku terlalu bebal. Angkuh. Jika kelak pada saatnya aku akhirnya mengerti tentang nilai, pelajaran, pengorbanan dan hikmah dari kehadiran mereka ini, maka lunakkan hatiku.  

Karena semua dariMu dan akan kembali padaMu juga. Semuanya .... 



(Selamat memejam)