Kamis. 9 Mei 2013. Pagi hari. Suasana terminal
Tumpang, Kabupaten Malang, mulai ngulet dari tidur pendeknya. Angkutan
penumpang berwarna putih, truk-truk bak terbuka, jeep, bercampur baur dengan
ratusan manusia di hari yang mulai menghangat.
Manusia-manusia itu bermula dari
tanah yang tak selalu sama. Dari arah timur, tengah, barat bahkan di luar
gugusan pulau Jawa. Ambisi dan pandangan hidup yang tujuh rupa. Laki-laki dan
perempuan dengan beragam bahasa dan usia yang ditalikan oleh satu ikatan besar:
tanah tertinggi pulau Jawa.
Di emperan-emperan, di
pinggir-pinggir jalan, carrier berbaris rapi menunggu dipeluk oleh punggung
pemiliknya. Perbekalan dan ransum telah dipersiapkan lebih dini. Perjalanan
menaklukkan tanah tertinggi Jawa bukanlah perjalanan syuting film. Kru kami
bisa dibilang hanyalah anggota setim atau rekan seperjalanan yang mungkin
kebetulan sedang melintas. Jalan setapak yang akan dilalui pun bukan jalan
lempang mulus yang biasa kami hadapi di perkotaan. Di sana terjal, serba tak
terduga, dan mungkin mistis.
Bersama kurang lebih 20 orang
lainnya, kami diangkut oleh truk menuju Ranupane. Jalan berkelok-kelok khas
kontur pegunungan menyapa dan sesekali mengolengkan tubuh kami. Di kanan
kirinya adalah gundukan besar hijau. Tebing dan lereng berpagarkan barisan
pohon tropis. Atap dunia yang biru cerah membuat cakrawala seolah tak bertepi.
Ketakjuban kami benar-benar tak
lepas ketika akhirnya dari seberang, gundukan coklat itu berdiri angkuh.
Bentuknya yang konyol mirip es puding itu mengangkang dan menguji nyali kami.
Sekilas, dia terlihat begitu lugu. Begitu pendek jaraknya dari lengan kami
Kelak, kenaifan kami akan insaf,
bahwa dia tak pernah terlalu sedekat itu.
*
Ranupane adalah bagian dari Kabupaten Lumajang. Ia
dipagari oleh danau seluas 1 hektar yang hijau dan tenang. Di tempat
berketinggian 2200 mdpl ini kami
melakukan registrasi sebelum mendaki. Ini adalah desa terakhir sebelum kami
menceraikan diri dengan peradaban modern. Balai Besar Taman Nasional (BBTN)
Bromo-Tengger-Semeru sejatinya hanya mengizinkan rute pendakian sampai dengan
pos Kalimati saja. Sisanya merupakan tanggung jawab pribadi masing-masing.
Menjelang Ashar, setelah melakukan
ritual doa, bersama-sama puluhan pendaki lain kami pelan-pelan meniti gerbang
Semeru. Tim kami terdiri dari 5 orang. Di bawah langit Ranupane yang teduh,
jalan setapak terjal belum-belum sudah menyapa kami.
The
first chalangge adalah diri kami sendiri.
Memanggul beban carrier,
kondisi yang tidak fit, mungkin juga mental yang kurang tangguh dalam
merintangi jalan setapak menanjak bisa membuat mual atau muntah. Sisanya adalah
suhu udara, ketinggian, kadar oksigen, dan jalan setapak yang ujungnya landai
dan empuk tertanam begitu lama dalam imajinasi.
Perjalanan menuju camp pertama adalah 4-5 jam.
Ranukumbolo dingin, danaunya berasap seperti kalau kita menjerang air. Hanya
saja ia berbanding terbalik. Uap airnya membeku. Di sekeliling kami, para
pendaki sudah membangun tenda masing-masing. Kode-kode seperti “Impala”,
“Mapala”, bahkan yang absurd semacam “Foooyyoooo” bersahut-sahutan untuk
menandai keberadaan mereka. Malam masih terlalu muda dan Ranukumbolo seperti
tengah mengadakan pesta penerimaan siswa baru.
Dari arah lereng, sinar-sinar
putih headlamp berkilatan.
Membentuk barisan panjang mengular tak terputus. Invasi masih akan terus
terjadi. Kegembiraan setelah perjalanan panjang tertuntaskan sudah di pinggir
sumber air terbesar Semeru ini.
Dan, yang membuat malam ini
menjadi sulit dibantahkan kenirwanaannya, adalah tepat di atas kami,
bintang-bintang bertebaran di mana-mana. Noktah-noktah yang lebih gemerlap,
lebih besar, dan bumi kami serasa lebih dekat dengan langit dibanding jika di
detik yang sama kita menatapnya dari atap rumah.
Suara kecipak air. Pagi masih basah dengan embun.
Beberapa tenda masih terkunci rapat membungkus penghuninya dari dinginnya pagi.
Kami menanti sunrise pertama di
tepian Ranukumbolo yang berselimut kabut. Putih dan benar-benar membungkus
keseluruhan pandangan yang ada di sekeliling kami.
Pukul 06.00 WIB pelan-pelan dari
celah pertemuan dua buah lembah, bola besar itu mulai menampakkan diri. Tak
seperti biasa, kabut rupanya terlalu kuat hingga matahari yang kuning terang
itu ikut memutih. Iya, matahari berwarna putih pagi hari itu. Persis seperti
bulan, hanya saja dia tak bernoda. White
sunrise. Mungkin itu perumpamaan yang tepat untuk moment kala itu.
Setelah sarapan ala kadarnya kami
melanjutkan perjalanan. Nyata di belakang tenda kami adalah bukit yang selama
ini kental dengan mitos. Ia dikenal dengan nama Tanjakan Cinta. Dinamai
demikian karena (awas! Jangan menoleh
ke belakang!!) dia jika dilihati dari sudut pandang lain (awas! Jangan menoleh ke belakang!!)
merupakan pertemuan dua bukti yang seolah (awas! Jangan menoleh ke belakang!!) membentuk icon hati.
(Masih
belum nengok ke belakang, kan?)
Good! Karena mitos ini bekerja hanya kalau kamu tidak
menoleh ke belakang. Sesulit dan semiring apapun tanjakannya (awas! Jangan menoleh ke belakang!!)
jangan berani-berani memalingkan wajahmu menghadap Ranukumbolo. Biarkan
kemolekan danau itu tetap di belakangmu. Move
on. Dengan berjalan begitu terus sampai ke puncak, harapan cintamu
(konon) akan terwujud.
What a
legend! Heuheu..
Tak ada riset ilmiah yang terbuku
dan membuktikan secara logis kalau para pendaki yang tidak menoleh saat mendaki
Tanjakan Cinta, harapan cintanya (minimal) akan terwujud. Namun, fakta yang tak
terbantahkan dan dapat menjadi jawaban atas fenomena “tanjakan” dan “harapan”
itu adalah: jika seseorang meniti Tanjakan Cinta, terserah dia menoleh atau
tidak, lalu tetap meneruskan perjalanan maka dia akan menemui “harapan” yang
menjadi kenyataan.
Tidak ada harapan yang begitu
didambakan menjadi kenyataan bagi seorang pendaki yang setelah lelah meniti
tanjakan, selain jalan menurun yang landai, padang ilalang yang 1000 kali
luasnya dari lapangan Maracana, dan anggunnya kerumunan (mirip) Lavender ungu.
Tanah harapan itu bernama Oro-Oro
Ombo.
*
Hujan abu merinai di langit Kalimati. Di camp inilah kami akan lebih banyak
berhibernasi. Perjalanan panjang empat jam naik turun bukit dari Cemoro
Kandang, Jambangan, hingga di padang kering ini sudah cukup membuat kami
merindukan mie hangat dan sleepingbag.
Pun, Kalimati inilah camp
terakhir sebelum mendaki Mahameru malam nanti. Maka dari itu, kami harus
istirahat total sebelum summit attack.
Kini kami berada pada ketinggian
kurang lebih 2400 mdpl. Si kue puding coklat itu tepat menjadi background tenda
kami. Secara hitungan sederhana, kurang lebih 1200 mdpl lagi kami dapat
mencapai puncak si kue puding Mahameru. Well,
it’s ain’t matter.
Tapi, kenyataan memang tak selalu
seindah hitungan matematika.
1200 mdpl tak dapat dihitung
sesederhana seperti kita berjalan dari Jember ke Rambipuji. Percayalah, kami
mungkin menjadi bagian paling naif dalam mempertahankan kewarasan kami untuk
tetap berjalan dan terus berjalan.
Sebagai pendaki summit – terlebih Mahameru – yang
minim pengalaman, kami melakukan spare
waktu dua jam lebih awal untuk memulai summit.
Jika pendaki ahli, mereka akan summit
rata-rata diantara pukul 00:00 WIB s.d. 03:00 WIB. Kami? Well, kami butuh effort jauh lebih besar dari itu.
Beranjak meninggalkan Kalimati
malam hari pukul 22:00 WIB, regu gabungan kami total sejumlah 21 orang.
Berduyun-duyun mirip ninja kami menjelajah kegelapan. Masuk hutan. Naik-turun
jalan setapak. Kehausan. Kelelahan. Hujan abu yang tak mau mengerti. Dingin.
Dan “musuh” paling hakiki yakni diri kami sendiri.
Untuk kesikan kalinya kami
membanting tubuh di alas Arcopodo. Walaupun carrier sudah lepas dari punggung, tapi tubuh memang tak bisa
berbohong. Di sini kami berlatih untuk tidak egois dan jujur dengan kondisi
kami. Jika lelah ya berhenti. Tidak boleh memaksa. Dan teman yang lain harus
bisa memahami.
*
Entah sudah berapa ratus cemara kami lewati, sebelum
akhirnya tidak satupun bayangan pohon apapun. Hanya pasir. Pasir. Dan pasir.
Di depan kami, ratusan pendaki
lain sudah lebih dulu mengambil start. Tiga langkah maju, pasir melengserkannya
dua langkah. Empat langkah mereka bergerak, mengambil nafas, pasir
menggeserkannya satu langkah. Puncak Mahameru tertutup gelap. Tapi dari batas
paling ujung sinar-sinar putih headlamp
menggoda kami untuk terus mendaki.
Lereng Mahameru sepi dalam keramaian.
Yang berisik terdengar hanya derap, pergeseran pasir, dan engah nafas kami
masing-masing. Entah berapa jamaah pendaki yang sudah kami lewati, namun sinar headlamp yang berada di titik lebih
tinggi dari kami belum juga terlampaui.
Kami mulai gila karena kelelahan.
Dehidrasi. Persediaan air menipis. Berada di ketinggian 3000 mdpl tidak
memberikan kami banyak pilihan selain mempertahankan kewarasan dan menebalkan
tekad.
Lalu tiba-tiba, seolah mengejek
kami yang terlalu lamban, dari titik tertinggi berkoar suara nyaring:
“Fooooyyyooooo!!!!”
Gila! Kode absurd Ranukumbolo
berkumandang di sini?
Dan, dia ada di atas kami???!!
Dan dia mengudarakannya dengan
nyaring nyaris tanpa dosa?!!
Entah dengan perasaan rekan yang
lain, tapi saya pribadi agak jengkel dengan koaran itu. Mungkin, maksudnya
baik, ingin menyemangati yang masih tertinggal. Tapi, entahlah, di alam seperti
ini, kepribadianmu tanpa tedeng
aling-aling akan menunjukkan diri. Kiranya saat itu bertemu, ingin
rasanya saya jitak orang yang berkoar kode absurd itu. Heuheu …
*
Padatnya jamaah yang berziarah ke puncak Mahameru
membuat kami terpisah dengan tim yang lain. Kami kehilangan kontak satu sama
lain. Saat itu hampir Subuh. Saya tidak tahu berada pada ketinggian berapa
kini. Yang terjamah oleh mata saya hanyalah kebesaran Tuhan yang …………. (sukar
diejawantahkan).
Langit yang semula hitam pekat,
perlahan seperti meluntur. Memudar karena ada zat biru yang meracuninya. Dari
arah Timur segaris sinar panjang berwarna jingga menyilet gugusan biru gelap.
Seolah ia sayatan yang ingin melukai Subuh. Sinar jingga itu makin lama makin
terang. Sayatannya semakin lebar. Warna biru gelap langit bergradasi menuju
biru cerah. Di depan, di samping kanan, dan di samping kiri saya mulai terlihat
puncak-puncak agung yang terbangun dari tidur. Sementara jauh di bawah sana,
tidak terlihat lagi sabana. Hanya gugusan putih serupa kapas yang mengitari
lereng tempat saya menyandarkan diri.
Kami sudah lebih tinggi dari awan.
Tapi saya cukup sadar bahwa saya
dehidrasi. Air adalah anugerah terindah Tuhan melebihi logam mulia apapun di
Mahameru. Dan tegukan terakhir saya sudah tandas.
Di belakang saya, puncak Mahameru
seperti mengejek kekerdilan saya. Puncak itu bahkan tidak bergeser 1 centimeter
pun dari sejak ketinggian 3000 mdpl. Semakin didaki, semakin ia menjauh.
Semakin berambisi direngkuh, semakin lihai ia melarikan diri.
Saya lelah, iya.
Saya haus, iya.
Saya marah, jelas iya.
Dan saya benci untuk mengatakan:
saya sudah tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.
Hampir dua puluh atau tiga puluh
menit kami terpisah. Selama waktu itu saya tidak tahu bagaimana kondisi rekan
yang lain. Apa sudah bersenang-senang di atap pulau Jawa atau justru masih
tertinggal di barisan belakang. Tapi dua hal yang bisa dipastikan kami
kelelahan dan dehidrasi.
Matahari menyeruak dari balik
sayatan jingga yang memerah. Langkah saya masih tertahan. Matahari pagi dan
puncak yang tak bergerak sedikit pun itu seperti mencibir.
Namun Tuhan memang Maha Pemberi
Ceria. Sebagaimana terkalam dalam firman-Nya, “di dalam kesulitan itu
sesungguhnya ada kemudahan”, keajaiban itu terjadi. Setelah menunggu sekian
lama, rombongan tim kami akhirnya berhasil menyusul. Miskomunikasi ini ternyata
membuat kami saling menunggu. Dan, kabar gembiranya, mereka masih memiliki sisa
cadangan air.
God!
It’s a miracle
Dengan sisa air seperempat botol
sedang itulah yang akhirnya menjadi tenaga pendorong terakhir untuk mencapai
atas pulau Jawa. Kami mulai bergerak kembali. Selangkah demi selangkah.
Mahameru masih enggan mendekat. Ia semakin menguji. Tak hanya dengan pasir, pun
batu-batu besar. Tidak hanya kehausan, tapi juga godaan untuk menyerah di
tengah jalan.
*
Kami tidak menemui padang rumput hijau di atas sini.
Hanya batuan-batuan kehitaman dan pasir. Sejauh kami menebas horizon, hanya
lautan biru diselingi puncak-puncak kokoh Bromo atau Arjuna. Jonggring Saloka adem ayem dan belum gatal
terbatuk batuk. Puncak abadi para dewa itu terlihat begitu sederhana. Sederhana
yang membuat kami takjub tak berkata-kata.
Soe Hok Gie mengatakan, “Hidup
adalah soal keberanian. Menghadapi tanda tanya tanpa kita mengerti Tanpa kita
menawar. Terimalah dan hadapilah”.
Dia benar. Mahameru memberi kami
banyak sekali ketidakmengertian. Tanda tanya besar yang menggantung di leher
kami. Keragu-raguan apakah atap tertinggi Jawa itu mengizinkan kami
mencumbuinya. Namun, pada akhirnya yang tersisa adalah soal berani atau tidak.
Mahameru tak memberi kami banyak
tawaran bagus, selain bertahan dan berjalan. Kenyataan bahwa hal paling gila
terjadi di sepanjang perjalanan ini, kami anak-anak PaPuMa: Fathur, Jack, dan
Bogie tak harus merisaukannya lagi.
Tanah tertinggi Jawa ini adalah
sabar dalam duka manusia.
* * *
