Senin, 30 Juni 2014

SKTC

Sajak Kecil Tentang Cinta

mencintai angin harus menjadi siut
mencintai air harus menjadi ricik
mencintai gunung harus menjadi terjal
mencintai api harus menjadi jilat
mencintai cakrawala harus menebas jarak
mencintaiMu harus menjelma aku

*

Sajak Kecil Tentang Cinta (SKTC) ditulis oleh sastrawan Sapardi Djoko Damono (SDD) dalam antologi puisi Hujan Bulan Juni. Menyimak puisi sederhana namun kaya, sebagaimana karya SDD yang lazim dijumpai, kita akan kembali ditegur untuk sejenak saja memperhatikan hal-hal kecil namun seringkali luput dari pengamatan.

SKTC, adalah salah satu puisi abadi SDD, jika boleh secara pribadi saya katakan. Setelah sukses dengan versi teks, mantra ajaib SDD ini kemudian menjadi lebih kaya dan hidup ketika Reda Gaudiamo dan Ari Malibu memusikalisasikannya. Merinding rasanya mendengar suara Reda diiringi denting gitar akustik Ari yang menyayat.

Mengenai makna dalam SKTC sendiri, puisi adalah pemahaman universal dan pribadi. Bagi saya sendiri, SKTC adalah proses penyesuaian, pemantasan diri, ataupun perasaan berserah dari subjek kepada objek itu sendiri. 

Sifat-sifat semacam siut, ricik, terjal, maupun jilat, adalah bentuk murni dan mendasar dari masing-masing objek itu sendiri. 

Siut mewakili pergerakan angin, ricik identik suara aliran air, jilat adalah kegemaran kobaran api, dan sebagaimana menaklukkan gunung, maka jangan pernah mengeluh untuk mencintai batu-batu terjalnya. 

SDD mengulang kata "harus" dalam setiap bait SKTC. Mengapa? 

Pengulangan kata "harus" berarti adalah "penekanan" kewajiban untuk dipenuhi oleh subjek. Secara sederhana mungkin, jangan coba-coba jatuh cinta kepada Angin kalau sifatmu adalah Mericik. Atau, bagaimana mungkin mencintai Gunung, sementara kamu lebih suka jalur tanpa hambatan. 

Begitu pula dalam dua bait terakhir. SDD menggunakan Cakrawala berpasangan dengan Jarak untuk menjelaskan cinta pada keberanian hidup. Sementara pada bait pamungkas, SDD seolah mengingatkan hakikat cinta kepada Sang Khalik - ditulis dengan "-Mu" untuk menunjukkan objek adalah Sang Maha Tinggi - bahwa seorang hamba hanya akan mengetahui dan mencintai Tuhannya, jika dia tahu siapa hakikat dirinya sendiri. Mirip dengan pandangan mistikus maupun kaum sufi.    

Apa boleh buat?

Seringkali, dalam hal ini, subjek gagal menyamakan persepsinya tentang apa dan bagaimana objeknya. Sehingga tidak timbul kecocokan, sinkronisasi, dan berujung kegagalan. Bukankah hakikat cinta adalah penyatuan dan pemahaman satu sama lain? 

Heuheuheu ... Asu ..

Jumat, 20 Juni 2014

Jangka

Dan apa yang telah kita perbuat pada diri kita sendiri?

Aku telah mendengar kabar. Yuri Gagarin mengorbit menembus atmosfer. Pun Neil Armstrong sudah menjejak di bulan. Wolfgang Mozart menggubah Magic Flute sementara Beethoven mewartakan Fur Elise dalam matematika nada. Lalu beruntun Ismail Marzuki, Beatles, Koes Ploes, Ebiet G. Ade hingga Iwan Fals menyusun nada-nada abadi penghibur luka.

Aku pun pernah membaca. Hemmingway, Steinbeck, maupun Pramoedya mengabadikan kata-kata. Sejarah kemanusiaan yang hingga hari ini InshaAllah kita masih menjumpainya di gerai-gerai buku. Mengenang cerita mereka dan mengambil sari patinya demi hidup yang lebih memanusiakan sesama.

Bila itu belum cukup menggerakkan minatmu terhadap apa yang telah kita lakukan, mari tengok keagungan piramida Giza, Ka'bah, Borobudur, Hageia Sophia, Louvre, sampai Keraton Kasultanan Jogja. 

Peradaban telah menunjukkan bagaimana manusia yang memilih menjadi manusia jangka panjang telah mengabadikan hal-hal yang tetap kita perbincangkan hingga kini. Bahkan setelah penulis, musisi, atau arsitek itu telah menyatu dengan bumi.

Dan apa yang telah kita lakukan pada diri kita sendiri?

Hari ini aku bersedih karena aku tak mampu mengumpulkan bekal atau pemikiran yang akan bwrmanfaat bagi orang lain. Bahkan sekedar penghiburan, bukan filsafat atau ilmu alam.

Hari ini, dalam tangis diamku aku tertipu karena lebih tertarik berita pencalonan kepala negara atau infotainment, ketimbang menyambangi Herman Hesse atau Nh. Dini. Lebih giat mencari penghargaan, alih-alih menulis puisi tentang Ramadhan. 

Oh Tuhan, aku telah menjerumuskan diriku dalam kubangan manusia jangka pendek.

Yang hanya senang sesaat. Yang bahagianya semu. Yang sudah pasti redup, karena hidupnya hanya menunggu usia dan tak menghitung 1000 bintang di langit Ranu Kumbolo.

Kamu? Semoga tidak begitu.

Senin, 16 Juni 2014

Friends From the Old Times

 

Ketika kita menengok kembali, jauh ke waktu yang telah menanggal, ke masa silam yang bersemayam dalam kotak misteri, kita akan temukan kembali puing-puing prasasti. Cerita yang tak selalu senang; pun tak melulu duka. Dunia mistis yang kini hanya kita jumpai dari alam bawah sadar. Tentang masa kanak, kepolosan, mimpi dan hal-hal mujarab yang hari ini membentuk diri kita.

*

1990 – 2000

Kita adalah penguasa komplek ini. Kotak-kotak Sawojajar yang ajaib. Yang setiap sore tak pernah absen dengan riuh rendah suara kanak bermain bentengan, gobak sodor, petak umpet, atau sekedar lomba tinggi-tinggian melayangkan pesawat kertas.

Masih ingatkah, kalian?

Usia dan kesibukan telah menembok ingatan itu, mungkin. Tak apa. Aku pun begitu. Tak banyak yang bisa kuhafal. Rasanya, kumpulan peristiwa bagai bertabrakan. Nama-nama kalian, beberapa aku bisa mengingatnya. Juga karakter. Yang periang, yang manja, yang curang, yang jail, yang suka nangis.

Bukankah dunia kala itu begitu mudah?

Kita seolah tak peduli demam atau flu saat seharian hujan-hujanan. Tak jera mengulang walau sehabis menari dengan gerimis, kita dimarahi oleh ayah atau ibu. Dikunci di kamar mandi sambil meronta minta maaf. Hehe … atau bikin panik orang sekampung karena bermain terlalu jauh.

Kita tidak dibesarkan oleh internet. Permainan kita kuno, tapi dengan itulah kita menjadi dekat. Akrab. Berbicara dengan mata dan mulut. Membangun imajinasi melalui permainan rumah-rumahan, barbie kertas, lego, atau semacamnya. Teman kita mungkin tak sampai 500-an orang seperti di Facebook, tapi kita kenal satu per satu. Kita kenal keluarganya. Kita tahu isi kamarnya. Dan utamanya, kita kenal kepribadiannya.

Lalu mulailah kita memilih leader. Yang jadi induk ayam. Yang menentukan kemana hari-hari kita dimulai dan diakhiri. Hehe, pastinya dia yang paling tua, ya. Yang sok jagoan atau paling nggak yang mainannya paling banyak.

Heuheu …

Ah ya, kita akan merasa keren kala pulang sekolah langsung cepet-cepetan panjat cheri. Menemukan spot paling ranum. Lalu seperti monyet, kita bisa kenyang hanya dari buah kecil merah itu. Malamnya, kita tak sentuh PR, karena asyik main Mortal Combat, Galaxy, atau Icelander di Nintendo.

Masih adakah kalian ingatan tentang itu?

Kala itu matahari sore benar-benar hangat. Selalu ia membaluri tubuh kita saat berkumpul membicarakan hal-hal yang tak masuk akal. Insto dan air teh; biji jambu yang bisa tumbuh di lambung. Heuheu … mitos aneh yang anehnya kita percaya.

Waktu Ramadhan adalah surga dunia. Selain waktu belajar singkat (ah, emang kita peduli dengan pelajaran? Heuheu…), puasa adalah identik dengan petasan.

Sreng dor, kembang tetes, mercon dumpis, semua pernah kita mainkan. Bahkan salah satu dari kita melepuh tangannya karena pegang mercon di ujung yang masih ada serbuk mesiunya. Heuheu … Kapan lagi kan, nyumet mercon di depan rumah teman, atau diam-diam mengamati gerak-gerik orang mesjid yang sering marahin kita kalau rame saat sholat.

Selama Ramadhan, malam-malam kita lebih panjang. Siapa yang tak suka main polisi-maling. Gila, kalau jadi maling sampai sembunyi di kompleks sebelah yang jauhnya ga kekira. Heuheu … yang jadi polisi sampai capek nggak tahu mesti nyari kemana. Atau diam-diam pulang makan ketupat, pas lagi main petak umpet. Heuheu … nyebelin.

Kita dibesarkan oleh Oasis dan Dewa 19, tapi tak satupun dari kita bisa main band.

Kita lebih suka sepak bola. Musik, kala itu bukan pilihan yang nampak seru. Tapi bola, lapangan becek, dan lawan dari komplek lain adalah hal yang menggairahkan. Bolanya plastik atau bahkan dari kertas yang digumpalkan. Dan, kita bahagia dengannya. Njebol gawang pakai bola kertas itu serasa jadi Ronaldo luiz Nazario ngegolin ke gawang Angelo Peruzzi.

Kita hidup dalam hal-hal yang jauh lebih sederhana dari dunia yang kini kita kenal.


Mesin dingdong, main lompat tali, gundu, congklak, halma, umbul, panjat pohon, serial Keluarga Cemara, jenius ala McGyver, Mr. Bean, komik Rantaro, Tabloid Fantasy, bazar Jalan Sehat Kemerdekaan, Tamiya, kita hidup dari hal-hal semacam itu.

Hal yang kini pelan-pelan tergusur waktu. Seiring olehnya, kita bercerai. Satu demi satu menutup diri, pindah, konsen studi, punya kenalan baru, atau menyadari bahwa masa 1990 – 2000 adalah masa kekanakan sementara hidup harus mendewasa.

Lalu, berpisahlah kita.

Memang, dalam hidup ini, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Tak selamanya kita bersama. Kadang dengan melepaskan seseorang, kita menjadi tahu seberapa besar kangen kita kepadanya.

Mungkin tak semua bisa menjumpainya. Kalau sedang beruntung, reuni adalah jalan yang baik. Namun tetap saja, kita tak bisa membeli hal-hal yang sudah berlalu. Yang kita lakukan kemudian adalah menertawakannya. Heuheu… menertawakan kepolosan kita sendiri.

Senin, 09 Juni 2014

Kebenaranmu; Kebenaranku; Kebenarannya

Malam itu langit cerah. Langit yang terpampang dari ketinggian 2400 meter di atas laut lebih dari cukup membuat bintang terlihat mendekat. Ah salah, bukan bintang. Bintang-bintang. Seribu mungkin jumlahnya. Dan, dengan kapasitas yang bisa dimaklumi, kita hanya bisa menghitungnya sebatas jari saja.

Bila merenungkan keberadaan bumi, maka benda biru yang bergerak berirama dalam orbit galaksi Bima Sakti ini hanyalah minoritas. Satu dari sekian planet yang bermukim di jagad raya. Jika analisa ilmuwan benar, maka galaksi kita yang sudah teramat besar ini juga adalah bagian kecil dari galaksi lain. Dengan atau tanpa makhluk yang mungkin mendiaminya.

Dan di antara materi-materi yang berjarak ribuan tahun cahaya, Tuhan dengan segala Maha Agungnya memungkinkan semua ini terjadi. Dia, yang kuasanya melebihi bumi dan langit. Yang tak kasat mata. Yang begitu dekat bahkan dari nadi kita. Yang selama lebih dari 4000 tahun dirindukan dan dicari oleh manusia dengan segenap penafsirannya.

Tentu dalam penerjemahan tuhan itu, saya dan kamu tidak selalu sependapat.

Saya mungkin salah, tapi kamu juga mungkin belum tentu benar. Keterbatasan kita adalah karunia, jika boleh dikatakan demikian. Untuk itu, dari zaman pagan hingga hari ini, penerimaan akan kebenaran tuhan ditempuh melalui berbagai jalan yang berbeda. Tergantung dari perspektif, peristiwa, wahyu, nubuat, pengalaman ilahiah, hingga rasionalitas.

Saya berangan-angan: Andaikan seseorang diberi mukjizat melihat “wajah” tuhan, lalu masih bertahan hidup untuk sekedar menyimpan pengalaman ilahiah itu, apa yang akan dilakukannya, ya?

Mungkinkah dia akan dicap sebagai nabi palsu? Penista agama, atau sejenisnya?

Heuheu …

Tapi bukankah dulu saat nabi Muhammad SAW pertama kali mendakwahkan Islam, memperkenalkannya sebagai jalan hidup yang sama sekali baru bagi Quraisy Mekkah, beliau juga mendapat cap sebagai bid’ah bagi tatanan lama keimanan suku? Hal yang di kemudian hari membuat Rasulullah SAW dimusuhi atau diusir. Batu demi batu tajam yang menempa keberadaan Islam lalu menjadikannya sebagai salah satu jalan hidup yang mendapat perhatian mayoritas.

Hal itu pun berlaku pada zaman pra maupun pasca Islam. Pencarian tuhan telah mengalami segmen-segmen penting sejarah yang menjadikan beragamnya pemeluk agama hari ini. Dan, keimanan tentu tak bisa lepas setidaknya dari kebenaran pribadi tentang tuhan dan ajarannya.

Lalu, kebenaran yang seperti apa yang kamu yakini?

Sekali lagi, kita adalah satu dari bagian kecil dari alam semesta. Pencarian kebenaran adalah jalan panjang. Dalam mencari itu akan ada ujian. Berat, pasti. Mungkin juga akan ada pertarungan dogma dan kenyataan.

Dan selama perjalanan mencari cahaya yang benderang itu, semoga Tuhan menjaga kita semua yang masih mengendap-endap dalam gelap.