Selasa, 12 November 2013

Imagine all the People ....


Semua orang pasti memahami, dalam teologi, bahwa nubuat tentang hari akhir itu ada. Dari zaman kuno hingga era postmodern dimana dinding-dinding batas mengabur, peristiwa hari akhir telah diselipkan dalam teks-teks maupun kitab suci pemeluk agamanya.

Tak ada yang dapat dikatakan terlalu menyenangkan jika kita memvisualkan apa yang ada dalam nubuat itu. Laut yang meninggi, gunung tergelincir, jerit tangis manusia. Alam marah dan kita tak pernah tahu seperti apa gambaran tanah kita berpijak andaikata Tuhan mengizinkan kita masih bisa membuka mata.

Yang jadi pertanyaan sejuta umat adalah: Kapan D-day itu tiba?

Well, lebih baik kita tak mengutak atik rancangan agung itu. Lebih menarik, untuk mengamati bagaimana manusia postmodern mencoba memberi gambaran lain nubuat itu.

Beberapa film yang setidaknya mencoba memperingati kita semua tentang hal itu adalah (mohon koreksi bila salah) “2012”, “City of Ember”, “Knowing”, “AfterEarth”, “Elysium”, “Armageddon”, dan beberapa lagi. Coba kita bahas sedikit dari beberapa film tadi.

“2012” adalah yang produk yang berhasil membuat kita kembali menengok rencana Tuhan. Ramalan suku Maya menjadi latar belakang cerita apokalip. Walau, dalam jalan ceritanya, sisi ilmiah sangat mendominasi terjadinya bencana alam masiv dan global yang kemudian disinonimkan dengan akhir dunia.

Fenomena geologi dan suhu yang berujung pada naiknya gelombang laut dan gempa bumi, membuat para miliarder dan kepala negara dunia rela membeli tiket aman. Sebuah bahtera sebagai media penyelamat mereka dari amukan Tuhan. If you have a ticket, then you'll survive.

Singkat cerita, presiden Amerika menyerahkan diri kepada Tuhan atas nama bangsa dan negaranya. Kemanusiaan mengubur Liberalisme dan Komunisme. "Bahtera Nuh" akhirnya dinikmati manusia dari berbagai kelas. Dan... - sebagaimana sutradara yang ingin meninggalkan misteri di ujung cerita - umat manusia akan memulai hidup baru dari "kiamat sementara" di suatu tempat di Afrika.

**

Berpijak sama sekali berbeda dengan “2012” yang dilandasi mitos, “Knowing”dan “City of Ember” lebih berasa futuristis.

“Knowing” dimulai saat seorang anak kecil perempuan mulai menulis rentetan angka misterius di kertas gambarnya. Berpuluh tahun setelahnya,peristiwa deret angka itu berhasil diterjemahkan sebagai pesan kematian. Peristiwa-peristiwa kecelakaan, tragedi, jumlah korban, terekam dalam deret angka yang ditulis secara tidak sadar oleh penulisnya.

Pesan deret angka itu sendiri, merupakan pesan tersembunyi dari makhluk Astral, gambaran modern dan futuristis sebagaimana penglihatan Hezekiel. Deret angka itulah pesan akan kapan terjadinya hari akhir yang dalam “Knowing” diwujudkan dalam bentuk badai matahari.

Berbeda dengan “2012” yang menggunakan kisah Bahtera Nuh, para manusia"terpilih" yang diselamatkan dari bencana besar, dibawa oleh makhluk Astral ke suatu tempat. Dimensi tanpa nama (Surga, kah?) dimana jiwa-jiwa murniitu dihadapkan pada hamparan tanah lapang tanpa batas.

**

“City of Ember”, walau berpijak dari plot yang jauh berlainan dengan “Knowing”, memiliki sedikit prolog yang seperti berkaitan dengan bagian akhir “Knowing”.

Para ilmuwan cerdas yang menyadari akan adanya bencana besar di dunia, membangun sebuah kota bawah tanah. Beberapa generasi telah lahir dan mati di kota tanpa matahari itu. Untuk menggantikan bola surya itu, mereka menciptakan generator super canggih sebagai pembangkit listrik dan sumber kehidupan.

Tentu tidak selamanya mereka harus tinggal di bawah tanah. Sebuah kapsul waktu yang secara turun temurun diwariskan dari walikota ke walikota menyimpan peta untuk naik ke “dunia atas”. Kapsul waktu itu hanya akan terbuka pada saat yang telah ditentukan oleh ilmuwan bahwa dunia telah pulih dari bencana maha besar.

Sayangnya kapsul waktu itu hilang dan walikota yang menjaganya tewas mendadak. Sepasang remaja berusaha mencari tahu “dunia atas” dengan membahayakan diri mereka demi pencarian masa depan.

Pada akhirnya, setelah sekian lama terkungkung dan map untuk menuju dunia atas itu ditemukan, dunia tetaplah seperti itu. Tidak banyak berubah. Waktu mungkin memulihkan segalanya. Sebuah lahan baru – dari bencana yang tak pernah diketahui dan dipahami oleh masyarakat kota bawah tanah – menunggu untuk masa depan yang baru. Dengan matahari sesungguhnya.

**

Manusia memang sebatas menerka dan memberi visual dramatis tentang hari akhir. Disana kita akan belajar banyak hal. Untuk tidak dikatakan lancang karena mengesampingkan nilai teologi, namun sisi lain dari film tentang hariakhir di atas memberi banyak hal penting untuk direnungkan.

Pada hari dimana manusia ditantang oleh Tuhan dengan bencana maha dahsyat; dengan latar belakang kitab agama yang berbeda, kemanusiaan mengalahkan segalanya. Tentu akan terlihat konyol, bahwa ketika kamu tahu batu-batu gunung berguguran dilumuri lava pijar, kamu masih menyimpan kedua tanganmu untuk menolong mereka yang berbeda denganmu. Akan menjadi sangat bodoh, ketika pada hari lautan Hindia naik setinggi Monas, kamu tak berbuat apa-apa bahkan sekedar meraih anjing pudel tetanggamu yang akan mati terinjak.

Perbedaan kita dalam banyak hal adalah yang selama ini mengkotak-kotakkan. Kita tak bisa mencegah itu. Alami. Natural. Juga pertentangan-pertentangan yang sudah pasti terjadi dari ketidaksamaan cara pandang. Dan ... memang khitah dunia adalah berbeda.

Sejarah Nusantara tentu telah memberi kita pelajaran berharga. Secara tragis kita mengakui bahwa kita adalah negara yang tidak ke kanan juga tidak kekiri. Di satu sisi kita gamang; di satu sisi kita bangga dengan hal itu. Belum lagi keragaman masyarakatnya yang campursari.

Tantangannya kini bukan lagi apakah kita diam-diam ke kanan atau sembunyi-sembunyi ke kiri, tapi menjaga keberagaman ini agar tetap menjadi “Kita” sendiri.

Menjadi dewasa dalam cara pandang dan berkepercayaan. Membela secara santun, tidak terancam di tanah sendiri. Mencari jalan keluar tanpa menjebol labirin berliku.

Para sutradara film tak pernah benar-benar berhasil memberi jawaban tentang hari akhir. Hari dimana kita – ras seluruh semesta – tidak lagi mencari tanah harapan baru. Tuhan tetaplah Penulis Skenario Agung. Kita tak bisa mengubah rencana itu. Tapi, kita bisa mengubah cara pandang dan rasa kemanusiaan kita lebih baik.

Sains, agama, tekhnologi, genetika, tidak pernah salah. Yang diajarkan demi kebaikan pasti ada. Hanya mungkin kita yang kadang tak sabar atau terlalu cepat memahaminya.

**

Minggu, 28 Juli 2013

Kota tanpa Senja

Suasana yang seharusnya kulukiskan dalam Juni adalah udara yang segar, sinar matahari yang cemerlang, pesta di kebun belakang rumah, dan tentu saja senja ajaib yang megah di tiap matahari hampir tenggelam.Yah, persis bait-bait lagu June Afternoon.

Sayang, aku harus mengubur keceriaan Juni itu. Walau matahari dan lamat-lamat June Afternoon, yang kini seperti mengejek, itu masih kujumpai di sela hari, kekagumanku kepada senja tak lagi terpuaskan di kota ini.

Kau tahu, bahkan ini mungkin terdengar gila bagimu, tapi di sini memang tak ada senja! Tiap jelang Maghrib, matahari langsung lenyap. Flop! Langit tiba-tiba gelap. Tanpa jeda. Tanpa selingan zat jingga misterius yang biasa mengantar kepulangan bola agung itu. Mungkin, karena keganjilan itulah, koran lalu menjulukinya Kota tanpa Senja.

Pernah aku bertanya kepada Lukas, seorang tua, penulis puisi termasyur, yang kuanggap paling mengenal kota ini, mengapa senja tak pernah mampir kemari.

“Dulu,” desahnya memulai, “Senja tentu saja pernah ada. Bahkan, kami selalu memuja dan mengaguminya. Merangkai puisi untuknya, bernyanyi. Tak pernah bosan kami mengagumi langit sambil mengantar matahari pulang.”

Dingin menampar pipiku dan Lukas saat ia meneguk sisa kopinya. Asap rokok kreteknya pontang-panting ditiup angin.

Di jelang Maghrib itu kami duduk di teras rumahnya. Saat langit tiba-tiba gelap, saat itu pulalah aku dapati wajah Lukas menjerit bisu. Tentu tak hanya dia. Seluruh penduduk Kota tanpa Senja ini pun kurasakan menderita kemuraman yang sama.

Lukas menghisap kreteknya lalu melanjutkan.

“Tuhan memang Maha Berkehendak. Maha Pemberi Pelajaran. Mungkin, ini adalah ujian bagi kami. Seperti dulu Dia menguji Sodom dan Gomorah. Seperti dulu Dia menguji Tanah Arab. Ah … Atau mungkin, Tuhan sudah kecewa dengan kami di sini.“

Kalimat terakhirnya serasa mencekat. Pahit. Di usiaku yang baru masuk dua puluh tahun, kearifanku belum bisa kuandalkan sekedar untuk menasihati lukanya. Kurasakan dukanya dengan turut membakar sebatang kretek.

“Bukankah semua ujian akan ada akhirnya,” kataku sambil menghembuskan asap kretek. “Bukankah, Tuhan tak pernah menguji umat tanpa memperhatikan kekuatan umat-Nya?”

“Ya, begitulah. Aku tak pernah meragukan itu.”

“Maka bergembiralah,” hiburku. “Tulislah puisi lagi. Bikin lirik baru. Ayolah, pasti ada yang bisa kita perbuat, kan?”

Lukas berdiri, menarik jendela hingga berkerit, lalu menyalakan lampu terasnya.

“Puisi. Aku sudah terlalu tua untuk itu. Seluruh hidupku telah kutulis keindahan dalam puisi. Aku .... Aku telah memenjarakan terlalu banyak keindahan di kota ini ke dalamnya. Mereka abadi sekarang,” jawabnya pelan.

Udara dingin membuatnya terbatuk-batuk. Ia bebatkan syal lebih erat.

“Di usiaku kini, kebahagiaan apalagi yang bisa kudapatkan?” tambahnya. “Aku sudah bercucu. Karya puisiku berjejal. Aku jadi relawan Palang Merah di medan perang. Aku pernah kaya, dan juga pernah miskin. Enough is enough. I’m done with my life.”

“Pasti ada yang lain, kan? Hal-hal gila. Setidaknya sebelum kau selesai dengan hidupmu sendiri?” pancingku.

Malam mulai tumbuh dengan ganas. Pelita-pelita kuning mulai bermunculan.

“Apa memangnya? Kau hendak mengajakku berlari telanjang keliling kota? Hell no!!”

Aku tertawa. Dia tertawa. Setidaknya, kesunyian kami terpecahkan.

“Ah, kalaulah ada yang bisa membuatku senang di usiaku ini, adalah menghapus kalimat ‘tanpa Senja’ yang koran-koran itu ejekkan kepada kami.”

Lukas berkata serius.

“Ya! Aku ingin sekali menghapus kalimat tolol ‘tanpa Senja’ itu sebelum mati!!”

Usai mengatakan itu, kurasakan amarah terpendam dalam diri Lukas. Mungkin dia malu harus menunjukkan emosi vulgar dihadapanku. Alih-alih meneruskan membakar kreteknya, dia masuk ke rumah mengisi termos kopinya.

Jika sudah demikian, berarti itu tanda bagiku mengucapkan “selamat malam” kepadanya. Ucapan, yang belakangan aku tahu tak pernah dia suka.

*

Jika kau bertanya-tanya, mengapa senja tak pernah mampir ke kota ini, aku butuh lebih dari seribu kali mendengar legenda lokal lalu memadukannya dengan pendekatan filsafat-agama-fisika untuk mengurainya.

Tuhan! Hanya Engkau yang Maha Tahu.

Hidup tanpa jeda senja, bukan berarti penduduk kota ini tak berupaya menghadirkannya kembali. Lima tahun lalu, para pemberani kota ini pernah ingin menjerat matahari! Mereka menyiapkan jaring terkuat yang pernah ada, mengaitkannya di puncak kedua gunung di seberang laut, dan berharap sebelum tenggelam matahari akan terjerat.

Kau tahu, mereka berusaha menangkap nuansa lembayung keemasan saat matahari di ambang pintu pulangnya. Tapi matahari terlampau ganas. Dalam radius jutaan kilometer, jaring itu terbakar dan langitpun menggelap.

Konon ada juga seorang pelukis. Legenda mengatakan dia masih keturunan Da Vinci. Orang itu membentangkan kanvas di langit lalu kuasnya mulai melukis tiruan senja. Gambar jenius itu seakan hidup. Sayang, tiruan senja itu tak hangat. Tak juga dingin. Bahkan terlalu abadi karena hampir tiap jam warnanya tak bergradasi.

Semenjak itulah, tiada lagi yang berupaya menghadirkan senja di kota ini.

*

Juni hampir habis. Bulan kebesaran Gemini itu melenggang begitu saja termakan usia. Bulan depan sudah masuk Ramadhan.Kesibukan kecil mulai terlihat di sana-sini. Dari rencana selamatan hingga ziarah. Mungkin, mereka ingin melupakan sejenak rasa kehilangannya.

Saat itu adalah minggu terakhir sebelum Ramadhan. Aku masih menikmati kegemaranku duduk di bawah pohon besar di dekat sungai, ketika suatu sore mataku terpaku pada langit yang bergolak.

Aku sempat membenamkan wajahku ke sungai kalau-kalau sore itu aku bermimpi. Tapi memang aku tidak berhalusinasi. Langit bergejolak seperti pusaran gelombang laut yang ganas. Aku kalut. Tak kukira kiamat datang secepat ini.

Oh Tuhan, aku belum siap mati! Terlebih di kota ini!

Aku berlari ke pusat kota. Dalam kekalutan, aku teringat Lukas. Aku berlari ke rumahnya. Nihil. Ruangannya acak-acakan. Aku mengira ia telah dijarah dalam kepanikan massal ini.

Lautan manusia membanjiri jalan-jalan.Langit semakin biru gelap mencekam. Seolah ia ingin menelan kami dan memuntahkannya kembali. Aku terus meneriakkan nama Lukas. Lelah berlari, aku terhempas oleh dinding manusia yang memagar di hadapanku.

Aku sadar bahwa seluruh isi kota telah berdiri bersama di sini. Memandangi langit yang berlubang. Dari lubang itu lalu mengalir warna-warna kuning, merah, dan lembayung. Menyebar dengan cepat seperti virus. Dalam sekejap, lautan jingga itu telah memayungi kami. Dari arah barat, setelah sekian lama, kami akhirnya melihat matahari terbenam untuk pertama kali.

*

Sampai senja ke tujuh ini, aku tak berhasil menemukan Lukas. Semua darinya, termasuk puisinya, telah raib. Apakah dia juga merasakan sore hari yang ajaib ini?

Kejutan Tuhan yang menghadiahi kami senja sebelum Ramadhan menitikkan air mataku. Pikiranku terus berlari ke segala kemungkinan, sebelum sebuah koran mengabarkan ada seorang penyair membakar ratusan puisinya yang telah memenjarakan senja sekian lama.

- Tamat -

Senin, 25 Februari 2013

Hati, Otak, dan Akal



Setiap permasalahan akan membuat Hati seseorang lebih bijak, dewasa, bahkan terkadang lucu saja dalam menanggapinya. Tidak dapat dimusykilkan, bahwa semakin banyak deraan yang datang ke Hati kita, maka Otak pun – harusnya – diperas lebih kuat dalam mencari lubang jarum penyelesaian masalah itu.

Basicly, Hati kita adalah individu yang ibaratnya sebongkah batu. Keras. Susah dilumat dengan kepalan tangan kosong. Berdentam bila dibenturkan dengan hal yang sama kerasnya. Hati lah yang mengontrol kemauan Kita untuk melangkah, sementara Otak dan Akal adalah yang mengupayakan bagaimana ia harus menuruti kehendak Hati  itu.

Ketika Hati semakin keras menerima, maka Akal pun berdiam diri. Duduk manis menikmati suasana semakin hambar dan kaku. Namun begitu pula sebaliknya, ketika Hati lebih lunak, maka Akal akan merespon dan bangkit mencari jalan keluar.

Ya, ini ketika Hati  itu bertemu Hati-Hati  yang lain.

Hati saya tidak mungkin sama persis dengan Hati Kamu. Hati Kamu tidak mungkin 100 % kembar dengan keinginan Hati dia. Hati dia juga takkan sama dengan Hati mereka. Hati-Hati kita adalah jiwa yang bebas. Bebas berkompromi atau bebas berlaku sesuka Hati.

Ketika Hati saya tidak berkompromi dengan Hati kamu, bisa jadi ia akan membatu. Ketika Hati kita semakin keras membeku, kita takkan berbuat apa-apa untuk lolos dari lubang maut. Kita hanya akan menunggu maut itu memeluk kita pelan-pelan sembari mencengkeram leher kita.

Tapi bayangkan bila Hati kita mau sejenak saja berkompromi. Meluruhkan sejenak ego dan angkuh. Membuka jendela untuk angin yang pasti selalu berganti. Mungkin kelak kita akan tahu, bahwa masalah sebesar Gunung Everest akan menciut ketika kita mau menerimanya.

Iya, ... kemampuan untuk menerima itu kadang yang membuat Hati mengeras ...

Percayalah, semakin ikhlas Hati kita menerima apapun yang diberikan Tuhan, ia akan lebih kuat. Ia akan selalu berkomunikasi dengan Otak agar kita tak hanya diam termenung, tapi mencari arah angin yang terbaik meneruskan pelayaran ini ...

Kamis, 21 Februari 2013

Aku Milikmu 2

Yang baru dari mas Ahmad Dhani Manaf ... hehehe .. : )



Perlahan tapi pasti ku yakin
Ada saat untuk kita berdua
Melepaskan rindu lama yang sempat tertunda
Buka kembali nostalgia kita
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Meski kita tak bercinta lagi
Namun rasa itu terus di hati
Berulang kali ku tepis tapi selalu saja hadir
Bayanganmu hantui tidurku


Malam ini aku milikmu
Dan tak ada satu pun yang perlu tahu
Tidak juga waktu yang sering memburu

Aku milikmu, aku milikmu


Malam ini aku milikmu
Dan tak ada satu pun yang perlu tahu
Tidak juga waktu yang sering memburu
Aku milikmu, hingga saat bulan tertidur


Berulang kali ku coba untuk melupakan kamu
Aku mau semalam denganmu


Malam ini aku milikmu
Dan tak ada satu pun yang perlu tahu
Tidak juga waktu yang sering memburu

Aku milikmu, aku milikmu


Malam ini aku milikmu
Dan tak ada satu pun yang perlu tahu
 Tidak juga waktu yang sering memburu
Aku milikmu, hingga saat bulan tertidur, tertidur, tertidur

Selasa, 01 Januari 2013

New Year has Come ...

Tahun Baru 2013.

Hujan pertama di awal Januari. Sepanjang pagi hingga matahari naik di angka jam pukul 10.00 tetes-tetes itu pelan-pelan mereda. Perayaan new year’s eve semalam di kantor dengan terompet, kembang api, pita beragam warna, dan balon seperti terbungkus mimpi. Begitu pun ”Kemesraan” Iwan Fals yang disenandungkan di penghujung 2012 itu.
Matahari pertama bulan Januari yang menerobos genteng kamar membuat saya terjaga. Awal tahun membuat saya sedikit murung. Bagaimana tidak? Awal tahun ini adalah akhir tahun kebersamaan kami di kantor dengan teman-teman outsourcing. Rasanya aneh, melihat mereka datang berkumpul di kantor, bersalaman, dan mengucapkan perpisahan.
Apapun itu, saya ndak pernah suka perpisahan semacam ini.
Tidak sedikit dari mereka itu yang bekerja di perusahaan kami lebih dari 1 atau 2 tahun. Tidak sedikit dari mereka itu yang mau membagi waktu, tenaga, dan loyalitasnya untuk kelangsungan kemajuan perusahaan kami. Pun, tidak sedikit dari mereka itu yang menjadi bagian dari setiap memory dan detik-detik peristiwa di perusahaan ini. Suka maupun duka.  
Saya bisa membayangkan besok kantor kami menjadi begitu ”lengang” ketika hari pertama mulai kembali bekerja. Saya membayangkan, telepon loby berdering tapi ndak ada yang merespon karena recepcionist yang biasa duduk di sana kini pergi.  Saya membayangkan, dokumen-dokumen kami menumpuk karena rekan administrasi yang membantu tata laksana persuratan itu tidak duduk lagi di dekat kita. Dan saya membayangkan, tidak ada lagi yang menyahut Vpress atau permintaan saya diumumkan broadcast message atau sekedar bermain band di setiap Selasa atau Kamis sore.
Saya membayangkan, .....  besok kami harus melakukannya benar-benar dengan ”tangan dan kaki” kami sendiri.
Peraturan Menteri Negara yang membuat perusahaan kami harus menyesuaikan diri. Saya ndak pengen bawel dengan apa yang sudah dibuat oleh negara. Saya lebih ingin jengkel pada diri saya sendiri. 

Di saat seperti ini, saya malah ndak bisa berbuat apa-apa. Keserbamendadakan ini menjadi tidak begitu mengenakkan. Saya bisa saja menjawab secara normatif, tapi saya ndak pernah bisa menjelaskan bahkan sekedar menyarankan apa yang harus mereka lakukan setelah cut off kontrak mereka terjadi.

Saya ndak bisa ngasih mereka apa-apa....
Pagi ini, saya masih melihat senyum mereka. Sapa mereka. Jabat tangan mereka. Entah kapan lagi, mereka bisa ada bersama-sama di sekitar kami.
Farewell rekan-rekan. Happy new year 2013. Terima kasih.... Maafin saya ya.... Semoga Tuhan yang Maha Agung menunjukkan jalan yang lebih terang di ujung lorong sana. Amien.


Well it's time to say goodbye my friend
I'm glad you stayed until the end
I hope that you've enjoyed the time we spent

Though I know that I will be back again

I don't know just how soon my friend
Until we meet again just think of me
I'll think of you

It was easier to say hello
Than to say goodbye
Now the bus is leavin' once again
I bid farewell to you

I remember all the fun we had
And all the tears when times were bad
But you were there when we were down and out

And I know that I will not forget
What was written and what was said
 
And who was there when we were not on top
Of the world

Yes it's time to say Auf Wiedersehn
Sayonara and ciao my friend
You'll always have a place within my heart

And rock will come and rock will go
The scene will change, the time will show

But still I hope that you'll be there for me
I'll be there for you

It was easier to say hello
Than to say goodbye
Now the bus is leavin' once again
I bid farewell to you

(White Lion ~ Farewell to You, 1992)