Semua orang pasti memahami, dalam teologi, bahwa nubuat tentang hari akhir itu ada. Dari zaman kuno hingga era postmodern dimana dinding-dinding batas mengabur, peristiwa hari akhir telah diselipkan dalam teks-teks maupun kitab suci pemeluk agamanya.
Tak ada yang dapat dikatakan terlalu menyenangkan jika kita memvisualkan apa yang ada dalam nubuat itu. Laut yang meninggi, gunung tergelincir, jerit tangis manusia. Alam marah dan kita tak pernah tahu seperti apa gambaran tanah kita berpijak andaikata Tuhan mengizinkan kita masih bisa membuka mata.

Yang jadi pertanyaan sejuta umat adalah: Kapan D-day itu tiba?
Well, lebih baik kita tak mengutak atik rancangan agung itu. Lebih menarik, untuk mengamati bagaimana manusia postmodern mencoba memberi gambaran lain nubuat itu.
Beberapa film yang setidaknya mencoba memperingati kita semua tentang hal itu adalah (mohon koreksi bila salah) “2012”, “City of Ember”, “Knowing”, “AfterEarth”, “Elysium”, “Armageddon”, dan beberapa lagi. Coba kita bahas sedikit dari beberapa film tadi.
“2012” adalah yang produk yang berhasil membuat kita kembali menengok rencana Tuhan. Ramalan suku Maya menjadi latar belakang cerita apokalip. Walau, dalam jalan ceritanya, sisi ilmiah sangat mendominasi terjadinya bencana alam masiv dan global yang kemudian disinonimkan dengan akhir dunia.
Fenomena geologi dan suhu yang berujung pada naiknya gelombang laut dan gempa bumi, membuat para miliarder dan kepala negara dunia rela membeli tiket aman. Sebuah bahtera sebagai media penyelamat mereka dari amukan Tuhan. If you have a ticket, then you'll survive.
Singkat cerita, presiden Amerika menyerahkan diri kepada Tuhan atas nama bangsa dan negaranya. Kemanusiaan mengubur Liberalisme dan Komunisme. "Bahtera Nuh" akhirnya dinikmati manusia dari berbagai kelas. Dan... - sebagaimana sutradara yang ingin meninggalkan misteri di ujung cerita - umat manusia akan memulai hidup baru dari "kiamat sementara" di suatu tempat di Afrika.
**
Berpijak sama sekali berbeda dengan “2012” yang dilandasi mitos, “Knowing”dan “City of Ember” lebih berasa futuristis.
“Knowing” dimulai saat seorang anak kecil perempuan mulai menulis rentetan angka misterius di kertas gambarnya. Berpuluh tahun setelahnya,peristiwa deret angka itu berhasil diterjemahkan sebagai pesan kematian. Peristiwa-peristiwa kecelakaan, tragedi, jumlah korban, terekam dalam deret angka yang ditulis secara tidak sadar oleh penulisnya.
Pesan deret angka itu sendiri, merupakan pesan tersembunyi dari makhluk Astral, gambaran modern dan futuristis sebagaimana penglihatan Hezekiel. Deret angka itulah pesan akan kapan terjadinya hari akhir yang dalam “Knowing” diwujudkan dalam bentuk badai matahari.
Berbeda dengan “2012” yang menggunakan kisah Bahtera Nuh, para manusia"terpilih" yang diselamatkan dari bencana besar, dibawa oleh makhluk Astral ke suatu tempat. Dimensi tanpa nama (Surga, kah?) dimana jiwa-jiwa murniitu dihadapkan pada hamparan tanah lapang tanpa batas.
**
“City of Ember”, walau berpijak dari plot yang jauh berlainan dengan “Knowing”, memiliki sedikit prolog yang seperti berkaitan dengan bagian akhir “Knowing”.
Para ilmuwan cerdas yang menyadari akan adanya bencana besar di dunia, membangun sebuah kota bawah tanah. Beberapa generasi telah lahir dan mati di kota tanpa matahari itu. Untuk menggantikan bola surya itu, mereka menciptakan generator super canggih sebagai pembangkit listrik dan sumber kehidupan.
Tentu tidak selamanya mereka harus tinggal di bawah tanah. Sebuah kapsul waktu yang secara turun temurun diwariskan dari walikota ke walikota menyimpan peta untuk naik ke “dunia atas”. Kapsul waktu itu hanya akan terbuka pada saat yang telah ditentukan oleh ilmuwan bahwa dunia telah pulih dari bencana maha besar.
Sayangnya kapsul waktu itu hilang dan walikota yang menjaganya tewas mendadak. Sepasang remaja berusaha mencari tahu “dunia atas” dengan membahayakan diri mereka demi pencarian masa depan.
Pada akhirnya, setelah sekian lama terkungkung dan map untuk menuju dunia atas itu ditemukan, dunia tetaplah seperti itu. Tidak banyak berubah. Waktu mungkin memulihkan segalanya. Sebuah lahan baru – dari bencana yang tak pernah diketahui dan dipahami oleh masyarakat kota bawah tanah – menunggu untuk masa depan yang baru. Dengan matahari sesungguhnya.
**
Manusia memang sebatas menerka dan memberi visual dramatis tentang hari akhir. Disana kita akan belajar banyak hal. Untuk tidak dikatakan lancang karena mengesampingkan nilai teologi, namun sisi lain dari film tentang hariakhir di atas memberi banyak hal penting untuk direnungkan.
Pada hari dimana manusia ditantang oleh Tuhan dengan bencana maha dahsyat; dengan latar belakang kitab agama yang berbeda, kemanusiaan mengalahkan segalanya. Tentu akan terlihat konyol, bahwa ketika kamu tahu batu-batu gunung berguguran dilumuri lava pijar, kamu masih menyimpan kedua tanganmu untuk menolong mereka yang berbeda denganmu. Akan menjadi sangat bodoh, ketika pada hari lautan Hindia naik setinggi Monas, kamu tak berbuat apa-apa bahkan sekedar meraih anjing pudel tetanggamu yang akan mati terinjak.
Perbedaan kita dalam banyak hal adalah yang selama ini mengkotak-kotakkan. Kita tak bisa mencegah itu. Alami. Natural. Juga pertentangan-pertentangan yang sudah pasti terjadi dari ketidaksamaan cara pandang. Dan ... memang khitah dunia adalah berbeda.
Sejarah Nusantara tentu telah memberi kita pelajaran berharga. Secara tragis kita mengakui bahwa kita adalah negara yang tidak ke kanan juga tidak kekiri. Di satu sisi kita gamang; di satu sisi kita bangga dengan hal itu. Belum lagi keragaman masyarakatnya yang campursari.
Tantangannya kini bukan lagi apakah kita diam-diam ke kanan atau sembunyi-sembunyi ke kiri, tapi menjaga keberagaman ini agar tetap menjadi “Kita” sendiri.
Menjadi dewasa dalam cara pandang dan berkepercayaan. Membela secara santun, tidak terancam di tanah sendiri. Mencari jalan keluar tanpa menjebol labirin berliku.
Para sutradara film tak pernah benar-benar berhasil memberi jawaban tentang hari akhir. Hari dimana kita – ras seluruh semesta – tidak lagi mencari tanah harapan baru. Tuhan tetaplah Penulis Skenario Agung. Kita tak bisa mengubah rencana itu. Tapi, kita bisa mengubah cara pandang dan rasa kemanusiaan kita lebih baik.
Sains, agama, tekhnologi, genetika, tidak pernah salah. Yang diajarkan demi kebaikan pasti ada. Hanya mungkin kita yang kadang tak sabar atau terlalu cepat memahaminya.
**



