Suasana yang seharusnya kulukiskan dalam Juni adalah udara yang segar, sinar matahari yang cemerlang, pesta di kebun belakang rumah, dan tentu saja senja ajaib yang megah di tiap matahari hampir tenggelam.Yah, persis bait-bait lagu June Afternoon.
Sayang, aku harus mengubur keceriaan Juni itu. Walau matahari dan lamat-lamat June Afternoon, yang kini seperti mengejek, itu masih kujumpai di sela hari, kekagumanku kepada senja tak lagi terpuaskan di kota ini.
Kau tahu, bahkan ini mungkin terdengar gila bagimu, tapi di sini memang tak ada senja! Tiap jelang Maghrib, matahari langsung lenyap. Flop! Langit tiba-tiba gelap. Tanpa jeda. Tanpa selingan zat jingga misterius yang biasa mengantar kepulangan bola agung itu. Mungkin, karena keganjilan itulah, koran lalu menjulukinya Kota tanpa Senja.
Pernah aku bertanya kepada Lukas, seorang tua, penulis puisi termasyur, yang kuanggap paling mengenal kota ini, mengapa senja tak pernah mampir kemari.
“Dulu,” desahnya memulai, “Senja tentu saja pernah ada. Bahkan, kami selalu memuja dan mengaguminya. Merangkai puisi untuknya, bernyanyi. Tak pernah bosan kami mengagumi langit sambil mengantar matahari pulang.”
Dingin menampar pipiku dan Lukas saat ia meneguk sisa kopinya. Asap rokok kreteknya pontang-panting ditiup angin.
Di jelang Maghrib itu kami duduk di teras rumahnya. Saat langit tiba-tiba gelap, saat itu pulalah aku dapati wajah Lukas menjerit bisu. Tentu tak hanya dia. Seluruh penduduk Kota tanpa Senja ini pun kurasakan menderita kemuraman yang sama.
Lukas menghisap kreteknya lalu melanjutkan.
“Tuhan memang Maha Berkehendak. Maha Pemberi Pelajaran. Mungkin, ini adalah ujian bagi kami. Seperti dulu Dia menguji Sodom dan Gomorah. Seperti dulu Dia menguji Tanah Arab. Ah … Atau mungkin, Tuhan sudah kecewa dengan kami di sini.“
Kalimat terakhirnya serasa mencekat. Pahit. Di usiaku yang baru masuk dua puluh tahun, kearifanku belum bisa kuandalkan sekedar untuk menasihati lukanya. Kurasakan dukanya dengan turut membakar sebatang kretek.
“Bukankah semua ujian akan ada akhirnya,” kataku sambil menghembuskan asap kretek. “Bukankah, Tuhan tak pernah menguji umat tanpa memperhatikan kekuatan umat-Nya?”
“Ya, begitulah. Aku tak pernah meragukan itu.”
“Maka bergembiralah,” hiburku. “Tulislah puisi lagi. Bikin lirik baru. Ayolah, pasti ada yang bisa kita perbuat, kan?”
Lukas berdiri, menarik jendela hingga berkerit, lalu menyalakan lampu terasnya.
“Puisi. Aku sudah terlalu tua untuk itu. Seluruh hidupku telah kutulis keindahan dalam puisi. Aku .... Aku telah memenjarakan terlalu banyak keindahan di kota ini ke dalamnya. Mereka abadi sekarang,” jawabnya pelan.
Udara dingin membuatnya terbatuk-batuk. Ia bebatkan syal lebih erat.
“Di usiaku kini, kebahagiaan apalagi yang bisa kudapatkan?” tambahnya. “Aku sudah bercucu. Karya puisiku berjejal. Aku jadi relawan Palang Merah di medan perang. Aku pernah kaya, dan juga pernah miskin. Enough is enough. I’m done with my life.”
“Pasti ada yang lain, kan? Hal-hal gila. Setidaknya sebelum kau selesai dengan hidupmu sendiri?” pancingku.
Malam mulai tumbuh dengan ganas. Pelita-pelita kuning mulai bermunculan.
“Apa memangnya? Kau hendak mengajakku berlari telanjang keliling kota? Hell no!!”
Aku tertawa. Dia tertawa. Setidaknya, kesunyian kami terpecahkan.
“Ah, kalaulah ada yang bisa membuatku senang di usiaku ini, adalah menghapus kalimat ‘tanpa Senja’ yang koran-koran itu ejekkan kepada kami.”
Lukas berkata serius.
“Ya! Aku ingin sekali menghapus kalimat tolol ‘tanpa Senja’ itu sebelum mati!!”
Usai mengatakan itu, kurasakan amarah terpendam dalam diri Lukas. Mungkin dia malu harus menunjukkan emosi vulgar dihadapanku. Alih-alih meneruskan membakar kreteknya, dia masuk ke rumah mengisi termos kopinya.
Jika sudah demikian, berarti itu tanda bagiku mengucapkan “selamat malam” kepadanya. Ucapan, yang belakangan aku tahu tak pernah dia suka.
*
Jika kau bertanya-tanya, mengapa senja tak pernah mampir ke kota ini, aku butuh lebih dari seribu kali mendengar legenda lokal lalu memadukannya dengan pendekatan filsafat-agama-fisika untuk mengurainya.
Tuhan! Hanya Engkau yang Maha Tahu.
Hidup tanpa jeda senja, bukan berarti penduduk kota ini tak berupaya menghadirkannya kembali. Lima tahun lalu, para pemberani kota ini pernah ingin menjerat matahari! Mereka menyiapkan jaring terkuat yang pernah ada, mengaitkannya di puncak kedua gunung di seberang laut, dan berharap sebelum tenggelam matahari akan terjerat.
Kau tahu, mereka berusaha menangkap nuansa lembayung keemasan saat matahari di ambang pintu pulangnya. Tapi matahari terlampau ganas. Dalam radius jutaan kilometer, jaring itu terbakar dan langitpun menggelap.
Konon ada juga seorang pelukis. Legenda mengatakan dia masih keturunan Da Vinci. Orang itu membentangkan kanvas di langit lalu kuasnya mulai melukis tiruan senja. Gambar jenius itu seakan hidup. Sayang, tiruan senja itu tak hangat. Tak juga dingin. Bahkan terlalu abadi karena hampir tiap jam warnanya tak bergradasi.
Semenjak itulah, tiada lagi yang berupaya menghadirkan senja di kota ini.
*
Juni hampir habis. Bulan kebesaran Gemini itu melenggang begitu saja termakan usia. Bulan depan sudah masuk Ramadhan.Kesibukan kecil mulai terlihat di sana-sini. Dari rencana selamatan hingga ziarah. Mungkin, mereka ingin melupakan sejenak rasa kehilangannya.
Saat itu adalah minggu terakhir sebelum Ramadhan. Aku masih menikmati kegemaranku duduk di bawah pohon besar di dekat sungai, ketika suatu sore mataku terpaku pada langit yang bergolak.
Aku sempat membenamkan wajahku ke sungai kalau-kalau sore itu aku bermimpi. Tapi memang aku tidak berhalusinasi. Langit bergejolak seperti pusaran gelombang laut yang ganas. Aku kalut. Tak kukira kiamat datang secepat ini.
Oh Tuhan, aku belum siap mati! Terlebih di kota ini!
Aku berlari ke pusat kota. Dalam kekalutan, aku teringat Lukas. Aku berlari ke rumahnya. Nihil. Ruangannya acak-acakan. Aku mengira ia telah dijarah dalam kepanikan massal ini.
Lautan manusia membanjiri jalan-jalan.Langit semakin biru gelap mencekam. Seolah ia ingin menelan kami dan memuntahkannya kembali. Aku terus meneriakkan nama Lukas. Lelah berlari, aku terhempas oleh dinding manusia yang memagar di hadapanku.
Aku sadar bahwa seluruh isi kota telah berdiri bersama di sini. Memandangi langit yang berlubang. Dari lubang itu lalu mengalir warna-warna kuning, merah, dan lembayung. Menyebar dengan cepat seperti virus. Dalam sekejap, lautan jingga itu telah memayungi kami. Dari arah barat, setelah sekian lama, kami akhirnya melihat matahari terbenam untuk pertama kali.
*
Sampai senja ke tujuh ini, aku tak berhasil menemukan Lukas. Semua darinya, termasuk puisinya, telah raib. Apakah dia juga merasakan sore hari yang ajaib ini?
Kejutan Tuhan yang menghadiahi kami senja sebelum Ramadhan menitikkan air mataku. Pikiranku terus berlari ke segala kemungkinan, sebelum sebuah koran mengabarkan ada seorang penyair membakar ratusan puisinya yang telah memenjarakan senja sekian lama.
- Tamat -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar