Selasa, 21 Desember 2010

Hai .. (Kita Pernah Bertemu ?) : )


Tidak diperlukan sebuah kata kebetulan untuk menghadirkan Kamu di sini. Di dunia yang amat singkat dan diisi silih berganti baik oleh tawa maupun tangis. Di lembaran lembaran hari yang mungkin bisa Kamu tulis menjadi serangkaian puisi, sebuku novela - di mana kita bisa bermain menjadi apa saja ketika Pena sudah memantrai kata kata dengan begitu magisnya. 

Hai..

Garis hidup menyemikan benih yang bahkan aku tak ingat pernah menaburnya;
meninggikan mimpi yang sebelumnya bahkan tak pernah ingat aku hiraukan;
menajamkan fikir yang bahkan sebelumnya terlalu tumpul untuk sekedar melamun.

Namun, bagaimana kini?


Benih itu kini sungguh aku tak kuasa lagi menahan seminya. Bermacam kelopak kelopak surga dia lahir dan mekarkan di sana, lengkap dengan lembut manis putik dan sayat tajam durinya;

Sang Mimpi itu kini menjelma raksasa. Ya, raksasa yang lapar akan makhluk kecil dan menggemaskan bernama rindu. Setiap detik, Mimpi itu mengemis, ya .. dia mengemis, bahkan untuk rinai senyum hujanmu. Dia mengiba, ya ,, dia merintih mengiba, untuk sekedar tatapan mataharimu. 

Dan .. Fikir. Haruskah kurisaukan tentang Fikir? Ah, Fikir, ... engkau kini sudah tak perlu lagi berfikir. Karena itu sudah tiada ada guna. Ketika Cinta itu tiba Fikir, engkau adalah makhluk terbodoh, terjahiliyah di jagad kegundahan perasaan ini. 


Sungguh Ya Gusti ya Rahman, jika ini Angan angan termanis maka kini Aku benar benar tengah terkulai gila di medannya. Dan .. sungguh ya Gusti ya Rahman, Aku mohonkan hanya kepada-Mu, bungkuslah Angan angan itu - pengasuh Benih, Mimpi, dan Fikir itu - dengan balutan balutan cahaya, keteduhan, dan kelembutan-Mu semata.


... (Karena Aku pun ingin Kamu bahagia, walau hanya dengan sebait doa atau sedetik tawa)...


Minggu, 12 Desember 2010

Catatan Kenangan: Bali, Perjalanan, Kita

27 Mei 2010

Pada mulanya, sudah terpancang cukup lama untuk mewujudkan sebuah perjalanan jauh untuk mengisi kekosongan di sepanjang long weekend di penghujung Mei. Walaupun sempat kembang-kempis di preambule-nya, namun akhirnya terpuaskan juga dahaga itu. Ya! Inilah pengisi kekosongan itu ... dan Bali adalah namanya.

*

Aku sebenarnya adalah orang yang suka memikirkan segalanya terlebih dahulu - bahkan dalam skala yang sebenarnya tak terlalu bernilai - namun kenyataannya, pada detik-detik akhir justru aku sendiri yang semrawut, kelimpungan tak karuan, belibet dengan segala macam tetek-bengek lainnya.

Disadari long weekend ini adalah barang berharga bagi sebagian besar manusia yang jemu dengan dunia kerja - dan aku dengan bodohnya baru menyadari itu beberapa jam saja sebelum hendak bertolak ke Pulau Dewata. Reservasi sudah barang tentu makhluk buruan di tengah jam-jam menuju pelampiasan kepenatan itu.

No hotel! No lodge! then where will I spend my night?

Adalah Mbak Listrie - Asman Call Center APJ Jember, kalau aku boleh menyebutnya demikian - yang tak mau kalah sibuk dengan kesemrawutanku. Berkali-kali kusambangi meja call center bukan untuk tanya seputar bill rekening atau gangguan pemadaman, melainkan menelepon kesana kemari mencari penginapan, travel agen, jadwal keberangkatan bus, ongkos tiket, dan bla bla bla lainnya.

"Hallo, dengan Kuta Inn? ... Oh, sudah full ya?"

"Paradiso Hotel? Full juga? Hmmpppfffhh..."

Aku belum patah arang. Kriinggg ... kriiinnggg...

Tiga, empat, lima penginapan semua kompak menolak lamaranku. Gila! Konspirasi macam apa ini! Travel agen pun tak ada yang melayani perorangan, hanya ada satu itupun mahal selangit. Bah! Benar-benar di luar rencana - atau lebih tepatnya aku tak melogika ini semua.

"Wis talah, Dik. Sampean iku kate nang Bali ae repot nggak karuan," kata Mbak Listrie. "Luwih penak sampean backpaker."

"Backpaker kui opo, Mbak?"

"Yo sampean nggowo ransel, perbekalan nggowo dhewe, ngkok neng kono nggowo sleepingbag, ngene ndek kono ngkok sampean bla bla bla .. bla bla .. bla .. bla bla bla bla bla...."

Nasihat yang masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Bos Yuda pun menimpali:

"Ngkok nang Bali, golek hotel cedhek-cedhek Kuta, Gie. Lho koen weruh nang sakdowone Kuta iku uaaakeehh hotel. Nang sak dowone Joger iku akeh nggone nginep. Lho mbiyen lho arek-arek iku nang Bali malah seneng turu-turuan nang pantai, ora nang hotel. Tapi wuakeh ngkok hotel nang kono. Mek awakmu lek mangan sing ati-ati, ngkok moro-moro awakmu mangan nang warung - pas enak-enake mangan - moro -moro ndase babi nggantung nang pojokan! Biasane ngono. Hehehehe."

Ah, kata-kata tidur di pantai itu sempat membuat harapanku sedikit membuncah. Ya, tak ada atap genteng, hamparan langit pun tak apalah.

Juga kala itu, Mbak May dan rekan setujuan lainnya sempat menawari, kenapa tidak berangkat bersama-sama saja? Aku jawab dengan bersikukuh kalau aku mau sendiri saja. Itupun kutegaskan pada Bos Yuda yang sebelumnya juga telah mengkhotbahi seputar akomodasi menuju Bali.

Sungguh, bukannya aku tak berkenan dengan tawaran berangkat bersama-sama itu, tapi ini cuma masalah komitmen kecil antara aku dan diriku. Entah mengapa, lukisan jingga langit Bali waktu itu selalu saja menerawang khayalku - dan di sana hanya ada aku dan diriku.

Hingga jarum waktu hampir mengarah pada pukul 16.45 WIB aku masih tanpa kepastian akan di mana di sana nanti. Tapi belum ada atap berteduh di Bali bukan bukan berarti harus kembali, kan? Risau harus disapu. Ini pun hanya travelling, bukan lamaran anak Kyai. Jadi? Bali haruslah Bali.

*

Persiapan kilat. Satu kaos ganti, satu celana pendek, sepasang sandal japit, NLM (yang karena kesibukan akhirnya harus terbengkalai), perlengkapan mandi, dan kamera. Cukup. Dikemas oleh ransel dan tak menyisakan keraguan lagi. Kos sudah hening. Si Fatur rupanya juga telah bersiap menelusuri Jogja malam itu. Benar-benar para manusia yang melemparkan diri jauh meninggalkan East Java!

Kurang lebih pukul 19.20 WIB aku tiba di Tawang Alun. Kontan satu-satunya angkutan yang ada hanyalah bus. Dan... Masya Allah, ini tak mungkin lebih buruk kan?! Atau memang sudah berjodoh, hanya bus bermerk: "Dahlia" yang nanti akan melabuhkanku di Bali.

Alamak! Kenapa harus terjadi pada saat ini?! Bus itu adalah pengalaman burukku selama perjalanan Malang - Jember. Dulu, bersama si Jelegh Dennik, sudah dua kali bus harus ganti ban bahkan belum sampai separuh perjalanan, ruangan yang acak-acakan, dan sekarang ... benda itu yang akan mengantarku menyeberangi Selat Bali? Aaarrrrrggghhhhh!!

Dengan desah nafas pasrah aku naik. Dan benar sudah, belum sampai Wirolegi, si bus sudah mulai rewel. Ngambek. Ceremeh. Kenek dan sopir saling memaki. Penumpang celingak-celinguk mengamati apa gerangan terjadi. Bunyi kunci inggris atau apalah itu mulai terdengar berdenting-denting. Aku? Masa bodoh!!

*

Angin semilir berhembus menepuk-nepuk pipi. Kelap-kelip lampu mercusuar menyorot kapal dengan irama teratur. Kecipak air laut gemerlap kekuningan beradu dengan riak gelombang yang mendesah syahdu. Di sekitar dermaga, nampak dua orang tengah mengail ikan. Sesekali teriakan kapal ferry menyadarkan kami dari jiwa yang terlena.

Ketapang. Selat Bali. Aku tepat berada di atasnya.

Hampir menjelang pergantian hari ketika aku melihat ada kapal serupa tengah mengarungi selat. Teringat aku pada mereka yang juga akan berlabuh di Denpasar. Apakah mereka ada di kapal itu, pada saat itu? Karena tak mungkin aku berteriak, maka kukirim saja pesan singkat: "Wooooooyyyyy" sebagai ganti teriakanku.

Tuing...tuing...tuing...tuing.....

Kiki merespon tak kalah singkat: "Hmmm."

Tak lama, Ge ganti menjawab: "Ya Boy, ada apa?"

Disusul satu pesan singkat berisi sambutan teriakan dari Mbak May: "Ooooiiiii."

Kutanya dimana sekarang? Eh, masih di rumahnya Ge ternyata, katanya Kiki.
Lho memangnya rumahnya mau dibawa juga tah kok tidak berangkat-berangkat juga? Hahaha...

*

Kapal melaju tidak seperti bus. Aku tak tahu pasti kapan dia mengerem. Kapan kenek akan menurunkan penumpang. Kapan kenek akan mengumumkan ini sudah sampai Gilimanuk, karena memang di sini tak ada kenek yang rajin berkoar: "Gilimanuk, Gilimanuk", layaknya kenek bus.

Karena baru kedua kalinya - dan ini yang kali pertama di usia tua melakoni perjalanan sendiri di kapal - aku tak tahu kalau kapal sesungguhnya telah berlabuh. Sementara kusibukkan pandanganku dengan laut dan ombak, tahu-tahu ketika kutengok sudah hampir tak ada manusia di belakang sana.

Degh!

"Lho, udah sampai ya? Cepet banget?" batinku.

Buru-buru kuturuni dek menuju parkiran bus. Aman. Si Dahlia masih ada di sana. Di sepanjang jalan menuju pintu keluar pelabuhan nampak orang berduyun-duyun berjalan. Ah, mungkin itu rombongan satu busku tadi. Ah ya, itu kan ibu-ibu berjilbab kuning yang tadi di belakangku. Tanpa pikir panjang kuikuti saja kemana langkah mereka.

Kuikuti langkah yang tak jelas arah juntrungannya itu. Ada yang mencar kesana, ada yang kesini. Ada yang cari toilet, ada yang cari Aqua. Lha?! Si Ibu berjilbab kuning tadi malah sudah asyik salinf akrab dengan beberapa orang lain. Sudah menggandeng bocah pula yang tak kuingat pernah ada di bus.

Nah lho? Siapa nih mereka? Tak kuingat wajah mereka satu per satu, ya termasuk si Ibu berjilbab kuning ini - karena memang yang kuingat warna jilbabnya, bukan pemilik jilbabnya.

Alamak! Mengambil langkah seribu aku langsung lari balik kucing ke arah kapal. Dari jauh, Dahlia menderam melaju cepat. Hup! Aku selamat....untuk 30 detik ke depan.

*

Di ruangan kecil itu hanya ada aku dan tiga "pesakitan" lainnya. Kami adalah korban penumpang tak bertanda pengenal, atau sejenisnya, yang terancam dideportasi sebelum melangkah lebih jauh meninggalkan Gilimanuk.

"Saudara-saudara tahu kenapa Saudara-saudara saya kumpulkan di sini karena KTP Saudara-saudara bermasalah," terang Bapak bermata sayu yang kemudian kuketahui bernama Pak Wayan itu.

"Kami serius akan menindak tegas yang tidak punya KTP, atau KTP nya mati," lanjutnya. "Tapi karena kebijaksanaan saya, maka kami tidak akan memulangkan Saudara-saudara. Tetapi ingat, jika ketahuan Saudara-saudara berbuat macam-macam maka kami tidak segan akan menindak."

Berikutnya Pak Wayan menyuruh kami menandatangani arsip "pesakitan". Ya ampun, di saat seperti inipun, pegawai sekretariat masih harus berurusan dengan agenda, arsip, dan berita acara. Beberapa orang yang yang menyerahkan SIM sebagai ganti KTP telah berhasil lolos dengan mengucap ribuan terima kasih pada petugas. Tapi, kenapa aku tak kunjung mendapat perlakuan serupa.

Tak berapa lama dipanggilnya namaku. Dari dekat serak bus Dahlia sudah tak sabar. Dua menit kemudian dia sudah hilang dari pandangan mataku. Aku mengumpat kesal.

"Adik tahu kenapa Adik ada di sini, karena KTP Adik mati .. bla bla bla," jelasnya sama seperti pembukaan pertama.
 "Apalagi ini Presiden Amerika mau datang, kami tidak segan memulang
kan Adik ... bla bla bla ... tapi karena kebijaksanaan kami maka kami tidak akan memulangkan adik ... bla bla  bla bla ...."

Aku hanya mengangguk dan sesekali mengiyakan. Presiden Amerika benar-benar harus sudah steril dari orang-orang tak ber-KTP sejak di tempat senyap ini. Lalu seolah tanpa mempedulikan papan bertuliskan: "Pemeriksaan KTP" yang sudah terpampang jelas di depan, aku mengajukan pertanyaan bodoh:

"Pak, kalau pakai NPWP atau tanda pengenal dari instansi apa ya boleh?"

"Adik rupanya belum mengerti," potong Pak Wayan. Aku terkesiap.

"Di sini kami hanya menerima KTP, tidak lainnya... bla bla bla.... apabila ketahuan punya KTP tujuan libur, tapi nyatanya kerja, wah ... apalagi tak punya KTP,... bla bla bla .. apalagi ini Presiden Amerika mau datang ... bla bla bla.... nanti disangka mau ngebom, teroris, apalagi Adik masih muda ... bla bla bla .. disangka pengikut Amrozi bla bla bla..."

Alamak! Sungguh Pak Wayan, niat titiang ring Bali ini cuma liburan, tak lebih. Kalaulah ada benda "berbahaya" yang titiang bawa ya cuma sebungkus lecek A Mild ini saja Pak, pikirku.

Kemudian, di akhir ceramahnya Pak Wayan mengucapkan sesuatu yang membuatku tertegun:

".... Jangan jadi Islam Afghanistan, jadilah Islam Indonesia. Saya Hindu, tapi bukan Hindu India. Adik tahu India?? Saya Hindu Indonesia. Jadi pesan saya: Jadilah Islam Indonesia, jangan Islam Afghanistan...."

Pak Wayan memberiku selembar berita acara. Wisata hanya untuk dua hari. Tujuan Denpasar. Sret sret sret .. aku teken berita acara itu sebagai identitas sementara selama aku tinggal. Kini aku benar-benar sendiri. Jodohku dengan Dahlia pun telah berakhir di sini, karena dia tak rela menungguku barang sejenak saja.

*

Setengah terjaga dalam minibus menuju Ubung, aku bertanya pada lelaki tua di sampingku:

"Sudah sampai Denpasar, Pak?"

"Jauh, masih jauh, siang baru sampai," jawabnya.

"Oh...Bapak siapa namanya?"

"Aji Ma'ji. Adik siapa?"

Kukenalkan namaku. "Aslinya mana, Pak?" tanyaku kemudian.

"Saya Madura," jawabnya.

Beliau kemudian menjelaskan tempat tinggalnya yang ada di Sahera, sebuah daerah di dekat pasar yang dahulunya pernah digunakan sebagai gedung yang ramai dengan tontonan sabung ayam. Tak jauh dari situ ada kampung Jawa, tempat sebagian besar penduduk Jawa bermukim.

Pertemuan dengan Pak Aji Ma'ji inilah yang kemudian menjadi menjadi batu penolongku di tengah antah-berantah Denpasar. Ya, Pak Aji Ma'ji inilah yang turun mendampingiku ketika kami disambut para sopir di terminal. Beliau ini malaikat yang membantu memilihkan mana angkutan yang cocok, dengan supir yang mau menolong mencarikan tempat penginapan murah di Kuta bagi rekan sesama Jawa-nya.

Karena beliau pulalah kami kemudian bertemu dengan Pak I Made Yogi, supir angkutan umum yang tak kalah ramahnya.

"Kalau Adik mau cari yang murah di Kuta, ada di Melasti, di sana bisa dibawah 60," kata Pak Made. "Lebih enak kalau jalan-jalan rame-rame,...Adik sama siapa? Sendiri? Ah, sama pacarnya ya? Liburan?" tanyanya dengan logat Bali yang khas.

Aku jawab sekenanya saja sambil cengangas-cengenges.

Untuk ukuran seorang supir angkutan, Pak Made ini terbilang sopan. Bayangkan, untuk mau membuang ludah saja beliau minta maaf dulu padaku - takut tak nyaman menurutnya. Beda sekali dengan rata-rata supir di Malang yang tak tahu permisi mau buang ludah - sudah begitu masih diimbuhi umpatan semacam: j****k. Seperti belum pas dan lengkap rasanya kalau belum mengumpat setelah meludah.

Pelabuhan kedua: Kuta.

Menyusuri jalanan Legian ke arah selatan, berbelok ke timur, dan sampailah kami pada Hotel Arjuna. Tempatnya tak begitu luas untuk ukuran "hotel", tapi berbekal rasa syukur aku tak peduli lagi dengan semua itu. Induk semangku seorang ibu-ibu jutek, suka merokok, dan sekilas wajahnya mengingatkanku pada mantan bosku di Sawojajar dulu.

Aku jatuh lelah. Tapi, dari luar sana, gemerisik pantai dan jalinan ombak terasa benar menggelayuti jiwa. Ketika hal semacam itu membuat hati melangut, haruskah beban bernama lelah itu harus terus menempel di bahu dan kaki? Ah, pasir pantai tunggu kusambangi dirimu sesaat lagi.

*

"... Chopin ten uning ring Bali, wong putih mondok ring Kuta ..."

Sepenggal lirik lawas milik Guruh Gipsy itu yang dikemudian hari membuatku sadar bahwa Kuta dan Legian yang walau sudah dalam selimut malam namun tetap saja berkelap-kelip, sesak, dan riuh rendah dengan celoteh asing para sanak-kadang Freiderich Chopin.

Menyusuri Legian - Seminyak - kembali ke Legian lagi dalam balutan rinai gerimis, berputar-putar di sekitaran jalan-jalan kecil, Poppies Lane, dan hanya aroma negeri asing saja yang tampak kental - yang juga rajin disambuti dengan: "Hello, John.. Hello Mister, ... Hay Rasta come .. come .." sementara yang pribumi macam aku diacuhkan dan tak ditawari produk-produk kerajinannya... hahaha...

Aku pun turis wooyy ,,,, ! Hanya mereka kalau makan hamburger di cafe atau resto, kalau aku makan mie ayam di pinggiran jalan di depan calon resort nan megah bersama para kulinya.

Legian memang lebih hidup saat malam menjelang. Cafe-cafe penuh turis dan band bersahut-sahutan mendendangkan irama musik. Aku ngemper di depan ralah satu cafenya, di Sahadewa, kalau tak salah ingat namanya Legend.

Bule, dan bule, dan bule ... music western, dan music western, dan music western ... ah, tidak ada alunan musik tradisional yang menyapa telinga sama seperti ketika aku melewati salah satu pura beberapa waktu sebelumnya. Aku merasa hilang di negeri sendiri.

*

Matahari belum mendaki terlalu tinggi ke langit Kuta ketika aku mulai berbenah. Menyambung sms semalam dari Mbak May, rencananya kami akan bertemu di Joger pagi ini. Eh, tak tahunya, para rekan seperjalanan sudah melintasi Legian pagi itu. Humm... agar tak buang-buang waktu lagi segera kujejalkan potongan-potongan Chitato ke dalam mulut, krenyes..krenyes..., didorong dengan Aqua ... dan breakfast-pun terpuaskan.

Langit agak kelabu pagi itu. Berbekal peta wisata bali, kutiti jalanan Legian terus menuju selatan. Para pemilik toko mulai menaruh sesaji dan membakar dupa. Pelan-pelan aroma dupa mulai mengisi udara. Berjalan lurus, melintasi kaca-kaca Legian Express, M'Bargo, Restu, Agung, By the Sea, hingga langkah ini bertemu dengan monumen Ground Zero tempat bersejarah mengenang Tragedi Bom Bali.

Sejenak kusempatkan mengabadikan foto monumen yang menjulang ke arah mega itu. Ada beberapa nama terpahat di dindingnya, ada foto kenangan serta rangkaian bunga. Dulu pernah kengerian menjalar di sini. Dulu ada tangis berlinangan, mungkin sekarang pun masih tersisa. Zaman telah  mengabadikannya dengan tugu, dan waktu menuntaskannya dengan rindu.

*

Joger belum juga mempersilakan tamunya masuk, namun antrian itu sudah seperti ular saja. Pabrik kata-kata yang seperti tak pernah surut oleh massa dari berbagai penjuru. Matahari pelan-pelan mulai menyeringai. Terik. Sementara jalanan padat dan membuat serak pendengaran.

Dari seberang Joger, sebuah suara menyapa kehadiranku di sana. Lho?! Ada Pak Erfa rupanya, sama anaknya yang dinas di Bali - alias "ehem ehem"-nya si Septy. Hahaha... Mereka masih di luar sini rupanya. Berarti yang lain juga? Dan ya, katanya Pak Erfa, anak-anak Jember Terbina ada di sekitaran sini.

Dari seberang Joger, di tengah toko pakaian dan oleh-oleh yang sedang dirubung itu, Si Ceremeh nampak celingukan sambil ngublek-ngublek daster yang digantung rapi di pelataran depan. Dalam hati, aku tertawa sendiri.

Rasanya aneh, bertemu dengan orang-orang yang dikenal - yang biasanya bersua di APJ - tapi kali ini harus bertemu di luar Jawa. Di Bali..., bukan di samping mesin fotokopi Sekum; bukan kala menyetempel surat pengantar dokter; dan bukan pula ketika sedang cerewet sekali menyoal AC bocor, minta ATK, de el el; de el el.

Ahai! Ge, Q2, Mbak May, Mas Arip, Mas Dopo, Mas Ryan, dan saudaranya Pak Yoyok yang aku nggak tahu namanya sampai sekarang ... - aku menemukan kalian!

*

Minggu, 05 Desember 2010

Angan Angan

Sabtu; sudah lewat tengah hari
dan ..  hujan gerimis melaju tenang di luar sana.

Mimpi itu membuatku terjaga - untuk sekali lagi - Kamu berada di dalamnya. Baru dalam hitungan jam saja, namun dua kali sudah bayanganmu hadir di bunga tidurku. 

Astaghfirullah .. angan-angan itu kembali datang.

Ya, angan angan.

Sesuatu yang sudah pasti dimiliki oleh setiap manusia. Sesuatu yang dalam bahasa anak sering diwujudkan dalam bentuk sebuah kebahagiaan, perasaan berbagi, atau kesederhanaan yang begitu melenakan.

Ya, angan angan itu;
Kesederhanaan itu;
Perasaan itu; dan
Kebahagiaan itu terwakili sudah oleh satu kata: Kamu.

Aku akan berkata benar bahwa Aku mencintaimu. Aku merindukanmu walaupun Aku tahu rindu ini begitu sesak menggantungku. Walau dirimu kini kulihat seperti sebuah mimpi yang telah terbungkus oleh kaca dengan begitu manisnya di mataku.

Dan .. betapa aku kini menjadi apa yang dikatakan Lennon sebagai Jealous Guy, yang dikatakan Mercury sebagai Jealousy, dan yang dikatakan oleh ... ah tak usah aku menyebutnya. Sama saja artinya. Jealousy itu datang bukan oleh karena seseorang yang kau tanami rindumu, namun pada rasa setiamu itu.

Astaghfirullah, betapa setia itu benar benar membuatku cemburu.
Betapa setia itu telah menjadikanmu ishtar yang hanya dapat kulihat kelip terangnya dari balik gua ini.

*

Ah, angan angan. 

Dia kadang datang dalam suatu mimik yang begitu egois. Menuntut harus begini, berkehendak harus begitu, sementara orang kadang lupa untuk melihat apakah dia sudah sama idealnya dengan angan angan itu.

Seperti kata Pak Sapardi bahwa:
Mencintai Angin, harus menjadi Siul;
Mencintai Air, harus menjadi Ricik;
...
begitu pula bila ingin mencintai sesuatu yang ada dalam angan angan itu. 

Apakah kita sudah cukup cerdas, sementara menuntut apa yang ada dalam angan angan kita itu cerdas. 
Apakah kita sudah cukup bijak, sementara kita mengharuskan kebijaksanaan yang begitu lembut dari apa yang ada dalam angan angan itu.

Astaghfirullah .. sungguh Aku mencintai apa yang ada dalam angan angan itu, namun Aku juga malu. 

Malu karena belum mampu melakukan apa pun untuk memperbaiki diri. 

Malu untuk tahu bahwa terlalu banyak meminta, sementara apakah setiap langkah jari ini telah mampu membuatnya berdetak bahagia?

Malu untuk mengerti bahwa pada suatu ketika seseorang harus membiarkan Jendela ruangannya terbuka agar ia dapat bernafas saat angan angan yang dirindukannya itu terasa begitu menghimpit ...




Selasa, 30 November 2010

Suatu Tempat dan Hanya Kita yang Tahu

.. Malam sudah naik hampir tinggi; yah, ini angka sudah hampir tiba di angka 10 .. dan ah .. kertas kertas dan entah tumpukan antah berantah ini begitu setianya menemani keberadaanku. 

Eh, masih satu lagi ternyata, ada si Winamp juga, dan pada detik ini Keane sedang mengalun begitu halusnya dengan Somewhere only we Know-nya itu.

Lagu ini ya, lirik yang unik. Romantic (ah, kenapa kalau malam malam sendirian seperti ini menjadi melankolis sekali diriku ini >,<).  


Somewhere only we Know - suatu tempat yang hanya Kita (Kau dan Aku) ketahui. Ya, suatu tempat di mana rahasia kecil kita tertanam dan tumbuh di tanahnya.

Ah, begitu senangnya .. punya suatu tempat atau suatu dunia tersendiri dan - istimewanya - hanya Kita yang tahu. : )

Kalau misalnya Kamu mempunyai tempat semacam itu, di manakah gerangan itu berada?
- Di suatu bukit nan jaauhhhh hingga langit seakan bisa di-cutik dengan kelingkingmu?
- Di suatu tempat di luar negeri? (mahal kali yaaa?? :D) 
- Di pinggir pantai tempat matahari ditelan?
- Di kolong tempat tidur, di atap kantor kerja (ups .. hehe), di .. kakus, di .. bla bla bla
- ... atau mungkin di Hati orang yang Kamu cintai? (kalau yang satu ini tempat paling menyesatkan sedunia pastinya :P)

Di manapun lah, up to You saja, yang utamanya di sana Kamu bisa berbagi sesuatu dengan seseorang yang Kamu rasa dia teristimewa di hatimu. : )

... dan pastinya tempat itu, dapat membawamu ke titik paling awal dalam hidupmu. Tempat Kamu akan selalu bisa kembali ke sana ketika dunia seakan sudah tidak berpihak atau menutup diri darimu ...

Kamis, 18 November 2010

Kerinduan? Humms..

Dia bernama Kerinduan:

tiada berhelai nafas; namun Ia pinjamkan secuil kehidupan
kepada Awan untuk merajut benang Hujan,

tiada diresapi indrawi; namun Ia wujudkan suatu azali
seperti bongkah Emosi terkuak ke dalam Api.

Dia desir yang melayang di celah malammu
hantarkan paras anggun Sita, atau bengis Rahwana sekalipun

Dia bibir yang menggumam di tutup senjamu
lantunkan sebait nama terpuji atau doa terkutuk sekalipun

Dia bernama Kerinduan:

tiada berlinang dosa; walau terlahir dari pelumat dunia
Goliath serakah pengerat ikatan manusia

tiada berkalung bunga; walau terlahir dari pecinta surga
Ibu harmoni damai semesta penjuru dunia

(.......)

Dia hanyalah sepotong kecil angan-angan
tertanam di setiap ceruk terdalam perasaan

layaknya hampa penghuni kesepian
menunggu percikan tuk sulut kobaran bara

Selasa, 16 November 2010

This Never Happened to Me Before

Ah .. ini lagunya Sir Paul McCartney yang dinyanyikan sama Duta S07 kapan hari lalu .. 
yah, memang sepertinya demikian .. Aku bertemu Kamu dan this never happened to me before .. 

Karena dari pertemuan ini Kamu mengajarkan banyak hal kepadaku, tentang cinta - tentang kedewasaan - tentang rindu - tentang hati - tentang Tuhan - dan .. tentang Kamu ..


I'm very sure, this never happened to me before
I met you and now I'm sure
This never happened before

Now I see, this is the way it's supposed to be
I met you and now I see
This is the way it should be

This is the way it should be, for lovers
They shouldn't go it alone
It's not so good when your on your own

So come to me, now we can be what we want to be
I love you and now I see
This is the way it should be
This is the way it should be

This is the way it should be, for lovers
They shouldn't go it alone
It's not so good when your on your own

I'm very sure, this never happened to me before
I met you and now I'm sure
This never happened before (This never happened before)
This never happened before (This never happened before)
This never happened before (This never happened before)
This never happened before

Minggu, 14 November 2010

Antara Aku - Kamu - Fariz RM - dan Sundown at Midnight

Mungkin sudah menjadi itikad baik sebuah takdir bahwa dua tahun silam aku dipertemukan dengan Fariz Rustam Munaf (ups, hanya dalam lantunan nada lho .. tapi sebenarnya ingin sekali bertemu beliau). 

Lagu yang menyapa telingaku kali pertama itu judulnya Sundown at Midnight

Wow. Awesome. Itu yang pertama kali terlintas dalam benak saat membaca judulnya. Sundown in Midnight alias Matahari Tenggelam di Tengah Malam. Kesannya, ah sudah pasti romantis, dan .. kata kata Sundown itu terasa begitu menggoda.


Sebenarnya, apa sih kaitannya dengan yang mau ditulis kali ini?

Dulu, pernah suatu kali aku pernah berpikir - hanya asal berpikir karena memang tidak ada hal lain yang dipikirkan. Waktu itu, aku merasa harus dekat sekali dengan lagu itu. Aneh, memang iya? Ndak penting, tapi harus dilakukan. Yah .. hampir hampir mirip seperti makan Relaxa sehabis merokok lah kalau boleh dibilang. 


Lalu, kenapa harus Sundown at Midnight? Itulah misterinya, Teman. 


Yang aku percaya, bahwa hidup dan kehidupan bermula jauh - jauh bahkan sebelum kata kataku mengukir di board ini. Dan di antara aku - kamu - mereka - atau siapa pun (bahkan mungkin kucing tetangga) bertemu tidak secara kebetulan. 


Kita bertemu karena ada sesuatu dalam diri kita - atau mungkin orang lain yang kita temui - atau mungkin dari si kucing tetangga kita itu, yang belum terlengkapi utuh sebelum adanya pertemuan ini. Kita adalah potongan potongan puzzle yang akan merangkai cerita tersendiri. Sekeping Phisical Graffity tersendiri; sebingkai Madonna of the Rock tersendiri; selembar demi selembar Perahu Kertas tersendiri.


Dan.. Sundown at Midnight itulah yang di dalamnya aku percikkan rasa percaya kepadanya - dan kepadamu juga tentunya - akan melengkapi potongan potongan puzzle dalam diri kita. Yang hingga saatnya nanti kita akan mengerti kenapa Sundown at Midnight, aku, kamu, dan Fariz RM harus ada di sekitar kita.

Tentu, bagi Teman lain mungkin akan merasa: "Beuh.. ndak penting. Fariz RM aja ndak kenal, ndak ngerti bahasa Inggris. Lagu yang paling aku kenal baik ya lagunya si Ini, si Anu, si bla bla bla ... "

Yah, itu memang reaksi normal, karena kita memang berdiri untuk menjalani skenario kita tersendiri, Teman. Skenario yang sudah digariskan Gusti Allah Pengeran dalam Lauhul Mahfuz-Nya. 

Dan, hingga detik ini .. aku masih belum mengerti Gusti .. : (
Sungguh ..

Dunia Kata - dari awal lagi

Ahai, berjumpa kembali dengan blog yang telah tersia-siakan di laci ruang maya ini. Entah mengapa jadi tergerak untuk mengulik lagi apa yang sudah pernah aku tulis, dan .. ah ternyata cuma ada tiga keluh kesah saja di sana.. . 

Mulai hari ini, Gie coba menulis lagi - entah menulis apa - tapi harus jujur, tulus. Karena bagaimanapun, dunia kata adalah dunia yang tulus, dunia yang tidak harus bersusah payah menjadi benar, dan dunia yang cukup dimantrai dengan "Ini Aku" untuk menjadikannya teman perjalanan  hidupmu .. 

Yah, untuk kali ini pendek dulu saja ya .. Salam jumpa dengan Aku dalam duniaku - Dunia Kata