Selasa, 22 September 2015

Surat Kota Itu


Sebenarnya perjalanannya ke kota itu tidak pernah ia rencanakan sebelumnya. Kesibukan menyelesaikan thesis dan pekerjaan lepasnya sebagai penulis di surat kabar menyita waktunya - yang sebenarnya juga mengikis kehidupan pribadinya. Tapi, seperti mengamini gagasan rekannya yang senang melancong, pada suatu hari datanglah sebuah surat yang memintanya datang ke kota itu.

"Aku tak kenal pengirimnya. Mungkin salah alamat."

"Tak mungkin salah. Tertulis jelas kok namamu. Alamat jelas. Kecuali dia orang iseng."

Dan begitu saja surat itu tergeletak di antara naskah-naskah dan serakan kertas di meja kerjanya. Mulanya ia enggan menanggapi. Isinya ngambang. Tanpa penjelasan atau setidaknya alasan yang mengharuskannya harus naik kereta pagi dan menempuh lima jam perjalanan. Sebaris kalimat: "Temui aku di kota itu minggu depan. Museum Arupadatu. Untuk hal-hal yang ingin kausampaikan dan belum kuterimakan," tidak cukup membuatnya mengerti.

Tapi kini ia sudah di gerbong nomor lima kereta ekonomi. Merasa bodoh sekaligus penasaran. Roda kereta berisik saat melindas rel. Samar tercium bau air seni. Terlihat ibu-ibu dengan tas besar. Pekerja. Mahasiswa yang tampak lusuh. Obrolan-obrolan seputar Rupiah, akik, dan BBM mengalir di udara. Ia lalu duduk di dekat jendela. Kereta itu belum terisi penuh.

Matahari beranjak naik membuat warna-warni kota menyala saat perempuan itu duduk di depannya. Ia sepertinya naik dari stasiun kecil yang kabarnya akan ditutup tahun depan. Masih 3 jam lagi menuju kota tujuan. Sambil lalu ia mengeluarkan koran dan mulai menyibukkan diri.

"... Rembulan Kota Paris," kata perempuan itu.

Ia menurunkan korannya. "Sorry?"

"Ah - oh. Nggak. Judul di koran itu, Rembulan Kota Paris," katanya menunjuk.

"Ah.. hehe iya Rembulan Kota Paris, cerita pendek hari ini. Kenapa?"

Perempuan itu menggeleng dan tersenyum hampir bersamaan.

"Bukan apa-apa. Suka aja judulnya. Rembulan di Paris. Bukannya Paris sudah romantis, masih ditambahi bulan lagi."

"Kau mau membacanya," katanya. "Sebenarnya ini cerita yang tidak terlalu romantis."

"Ah, tidak?"

"Begitulah, tokoh si laki-laki yang menjadi kekasih si tokoh wanita di situ, bunuh diri dengan memotong nadinya di atas Eiffel," terangnya.

"Oh, ya?" tanyanya terkejut. "Kenapa dia mati?"

Ia diam sesaat. Pemandangan di jendela kanannya berkelebat cepat. Rumah-rumah kubus berganti dengan hijau sawah dan langit biru cerah.

"Karena Isaiah, laki-laki dalam cerita itu, tidak bisa menikahi Arnetha, si perempuan yang ia sukai."

"Kenapa?"

"Menurutmu?"

"Ehm..karena Isaiah pengecut?"

"Mungkin, tapi tidak demikian juga. Lebih kepada kekurangan Isaiah."

Perempuan itu mengernyit. Ia menopang dagunya dan agak mencondongkan tubuhnya ke lelaki asing bercambang di hadapannya.

"Isaiah... dia bukan seorang lesbian," katanya.

Perempuan itu seperti tersengat listrik. Kereta berhenti sebentar di stasiun. Seorang ibu menuntun anaknya naik ke atas kereta.

"Jadi, kekurangan Isaiah karena dia bukan wanita yang ....penyuka sesama jenis?! Sialan...Bagaimana bisa dia dibikin bunuh diri sih sama penulisnya?"

Ia melipat korannya lalu menyelipkannya di lengan. Terkejut juga dengan pertanyaan itu.

"Well...begitulah. Terasa sentimentil memang, tapi begitulah akhirnya."

"Dan kapankah Isaiah tahu kalau si Arnetha ini lesbi? Apakah ia mengatakan langsung?"

"Tidak juga."

"Tidak?!"

"Dalam cerita itu Isaiah sibuk dengan penelitiannya, kalau kau tahu. Dia calon doktor sosiologi. Mereka tidak sering bertemu. Seminggu mungkin 2 kali. Sementara Arnetha, dia - dan kakak-kakak perempuannya, aktif dalam gerakan organisasi feminisme di Paris. Suatu hari, saat mereka berduaan di bawah rembulan, sebenarnya si Isaiah ini mau ngomong kalau dia mau menikahi Arnetha. Tapi perempuan itu malah tak berhenti mengulas gerakan wanita modern dan kasus perceraian karena tuntutan karir dalam dunia kaum Hawa."

"Tapi bukan berarti dia lesbian, kan? Penulisnya terlalu misoginis."

Saat seorang pramusaji kereta melewati mereka ia memesan dua cup coffe

"Jadi," ia melanjutkan sambil menghirup kopinya. "Suatu hari Isaiah berniat melamar Arnetha. Tekadnya sudah bulat. Ia mendatangi rumah perempuan itu - sekaligus mungkin bercinta setelah mengutarakan maksudnya. Maka disampaikanlah uneg-uneg bahkan niatnya mencumbui perempuan itu tanpa tedeng aling-aling."

Perempuan di depannya menyimak serius. Sesekali ia menahan nafas. Cup kopinya ia remas erat.

"Lalu, apa katanya?"

Ia memandang keluar jendela. "Arnetha menyuruhnya pulang. Dan mengatakan ia tidak tertarik pada laki-laki."

Kereta melambat. Perhentian lagi di sebuah stasiun. Tidak ada penumpang baru dalam gerbong mereka.

"Jadi...Isaiah menganggap itu sebagai pertanda kalau calon istrinya lesbian?"

Ia mengangguk. "Isaiah memang bodoh, ya?"

Kereta pelan-pelan merambat.

"Apa Isaiah tidak berusaha lagi? Dia tidak mengusahakan niatnya lagi??"

Ia hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. "Apa menurutmu begitu?"

"Isaiah lelaki bodoh. Aku ragu penelitian doktoralnya."

"Sebenarnya, aku pun berharap Arnetha bukan lesbian. Dan Isaiah bukan calon doktor galau yang berpikiran pendek soal cinta. Tapi, bukankah tragedi harus ada?"

Perempuan itu menerawang jauh ke luar.

Perhentian terakhir. Roda-roda kereta mendecit. Suara petugas kereta di interkom mengatakan kereta akan merapat 5 menit lagi. Matahari makin terik. Kota terlihat gerah dan lelah.

"Kau mau kemana?" tanyanya.

Perempuan itu merapikan rambutnya. "Sekitar sini saja. Dan kau?"

Ia mengeluarkan surat itu dari sakunya. "Seseorang ngirim ini padaku. Memintaku datang. Museum Arupadatu, kau tahu tempat itu?"

Perempuan itu tertawa lalu menurunkan barangnya.

"Tidak ada museum seperti itu di kota ini. Kau pasti telah ditipu. Kau memang bodoh seperti karakter ceritamu itu. Kurasa itulah tragedimu."

"Bagaimana kau tahu aku penulisnya?!"

Perempuan itu tidak membalas. Satu demi satu gerbong memuntahkan penumpang. Semakin jauh, perempuan itu menghilang ditelan kerumunan.

***

Sabtu, 19 September 2015

Pohon Beton pada Suatu Malam

Pohon beton itu terletak tidak jauh dari jembatan Soekarno-Hatta yang setiap pergantian waktu gaduh dengan kesibukan dan egoisme jalanan. Di dalam pohon itu, dari salah satu jendela yang menantang gedung Universitas, Gerson menatap kota yang hendak tertidur itu dengan sebatang rokok di tangan. Di sofa yang lusuh bekas terkena tumpahan vodka, Adera rebah dengan novel menutupi wajahnya. Kaki jenjangnya selonjor menindih badan sofa.

"Kau tahu, aku tiba-tiba teringat cerita itu. Marno dan Jane. Entah mengapa aku merasa sentimen dengan cerita itu," kata Gerson.

"Aku gak sudi menjadi Jane," kata Adera datar. "Jane perempuan sundal dan goblok. Dan kau bukan Marno."

"Memang bukan. Ini juga bukan New York. Tak mungkin kota ini menelan kita berdua, kan?"

Adera hirau meletakkan novelnya. Segerai rambutnya menutupi pelipis.

"Pada akhirnya kita akan ditelan kesunyian masing-masing, kan? Entah itu di New York atau di liang lahat. Atau juga di kamar ini."

Gerson menatap sekilas perempuan itu. Kaos dalam hitamnya masih tersingkap dan lingerie merahnya seolah memanggil kelelaki-lakian Gerson untuk menyibak.

"Aku takut Malaikat Maut tidak jadi menghabisimu kalau kau telanjang begitu, Dera," katanya. Ia kembali pada gedung dan noktah-noktah kuning. Seorang pemulung memungut plastik ke karung goninya.

"Dan seperti apakah Malaikat Maut itu? Tidakkah menurutmu ia terlalu cabul untuk tidak mencabut nyawaku?"

Gerson diam-diam tersenyum. "Kurang lebih ia seperti pemanggul goni di bawah itu. Begitulah rupa Malaikat Maut. Ia mengambil jiwa orang lalu memasukkan ke dalam goninya."

Adera menautkan alisnya. Ia berdiri memeluk Gerson dari belakang. Bulan terlihat separuh dan kusam.

"Kalau begitu bukankah engkau akan merebut goni itu dan melepaskanku?" tanyanya.

Gerson berpaling pada wajah pualam dan mata jernih itu. Aroma Channel samar masih menguar dari tubuhnya.

"Aku tidak tahu, Sayang." 

Adera melepaskan pelukannya. "Sial. Sudah kuduga. Aku haruslah jadi Jane yang tolol."

Gerson seperti ingin meraih rambut hitam perempuan itu tapi diurungkannya. Ia menyalakan rokok dan kembali pada langit yang tiba-tiba mendung.

"Kau tahu, Dera, kalau nanti aku ... kalau nanti aku meninggalkan kamar ini, orang-orang akan ramai memburuku. Dan, entah kapan, kau akan bertemu lagi denganku. Itupun kalau aku belum dimasukkan ke dalam goni."

Adera merapat ke jendela. Jalanan mulai sepi dan langit bercadar kelabu. Dia selalu suka saat hari akan turun hujan. Aromanya mengingatkannya akan sesuatu yang purba dan akrab.

"Aku tentu takkan menemukanmu, Gers. Kau tahu itu. Hari-hari kita tidaklah untuk bersama, bahkan di kamar ini. Kita bukanlah sepasang suami istri yang urusannya tak pernah benar-benar selesai bahkan setelah bercerai."

Gerson tertawa. Itu pertama kalinya ia tertawa hari ini.

"Masing-masing kita menikah dengan keheningan masing-masing, kurasa," kata Gerson.

Jarum jam sudah tepat di angka 12. Gerimis pelan-pelan turun mengaburkan cahaya lampu-lampu jalan dari pandangan jendela. Malam seperti terowongan yang panjang.

"Karena hanya keheningan yang tidak butuh identitas, Gers. Kota ini, bahkan negeri ini, butuh identitas. Butuh benturan."

Gerson menyeka pipi wanita itu. Mencium bibirnya. Asin.

"Aku berharap kau adalah bagian dariku, Dear."

Telunjuk Adera menempel ke bibir Gerson. "Ssst...jangan pernah mengubah paradoks."

Kata-kata itu dikatakannya begitu pelan. Hampir berbisik. Gerson menatap mata itu terakhir kali. Seperti telah diatur oleh mesin, Adera tangkas meraih jins dan jaket hitamnya. Sepucuk pistol melilit di pinggangnya.

"Aku harus menyiapkan timku, Gers. Intelijen harus seperti burung hantu."

"Yah, begitulah harusnya. Dan aku harus membunuh Tuan Presiden."

Malam merambat semakin pekat. Hujan turun begitu deras. Dari kamar itu bunyi-bunyian dari luar terdengar seperti orkestra yang sumbang.

***

Catatan:
1) Marno dan Jane adalah tokoh fiktif rekaan Umar Kayam dalam cerita 1000 Kunang-Kunang di Manhattan.

2) Pemanggul goni diinspirasi dari cerita Lelaki Pemanggul Goni karangan Budi Darma.

Minggu, 13 September 2015

Rencana Besar

Ada orang yang kagum dengan mereka yang punya keberanian besar merencanakan sesuatu dan menuntaskannya. Menuju zona abu-abu bukan perkara mudah. Semua tahu itu. Selain tekad yang tangguh, rencana adalah hal yang membantu melewati perjalanan. Dan, celakanya, dia orang yang tidak terlalu suka merencanakan sesuatu.

Orang ini jelas bukan George Milton dalam Of Mice and Men yang - setidaknya - punya step-step rencana menabungkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai buruh ranch untuk membeli rumah peternakan. Bagaimana ia tidak pergi ke bar atau mencari sundal agar uangnya tidak habis percuma lalu selamanya menggelandang. Rencana George adalah impian besar kala itu: lepas jadi buruh dan punya rumah sederhana di zaman American Dream.

Karena itulah orang ini kadang cemburu pada mereka yang menyusun rencana besar dan memutuskan berjalan di alurnya. Mereka pribadi-pribadi yang spekulatif tapi bukannya tanpa perhitungan. Mereka orang yang 'tertawa' tetapi sesungguhnya lebih siap ditertawakan. Dan mereka jarang membiarkan sesuatu, karena harus patuh pada pola.

Sistematis sekali, kan?
Bagaimana mungkin tujuan bisa dicapai kalau serampangan?

Orang ini nampaknya mendambakan hal yang teratur dan terukur. Sangkuni adalah contoh pola yang terstruktur itu. Begitu rapi ia mempersiapkan 'menguasai' Astina sejak Gandari diperistri adik Pandu. Bagaimana ia sengaja kalah di ronde awal permainan dadu agar Pandawa lengah untuk selanjutnya menghantam telak anak-anak Pandu itu. Lalu sesuai aturan main, ia mempreteli kewibawaan mereka dan 'mengendalikan' Astina lewat Duryudana.

Sementara, Puntadewa dan keempat adiknya tidak merumuskan sesuatu saat diusir dari Astina oleh Destarastra ke hutan pengasingan. Mereka tidak sistemis. Tidak berpola secanggih Profesor Sangkuni. Opo jare engkok. Hal yang kita ketahui kemudian, Puntadewa dengan bantuan Dewa Indra berhasil membangun imperium Indraprasta.

Karena itu saya kemudian menasihati orang ini. Ikut Puntadewa atau Sangkuni tidak ada yang salah. Pola tak selalu segaris, karena abstrak juga adalah pola. Masalahnya hanya keberanian melawan tanda tanya. Di sini saya teringat Soe Hok Gie. Begitu pun orang di depan saya yang tak lain diri saya sendiri.

***

di atas kereta, 13/09/15 19:10