Sebenarnya perjalanannya ke kota itu tidak pernah ia rencanakan sebelumnya. Kesibukan menyelesaikan thesis dan pekerjaan lepasnya sebagai penulis di surat kabar menyita waktunya - yang sebenarnya juga mengikis kehidupan pribadinya. Tapi, seperti mengamini gagasan rekannya yang senang melancong, pada suatu hari datanglah sebuah surat yang memintanya datang ke kota itu.
"Aku tak kenal pengirimnya. Mungkin salah alamat."
"Tak mungkin salah. Tertulis jelas kok namamu. Alamat jelas. Kecuali dia orang iseng."
Dan begitu saja surat itu tergeletak di antara naskah-naskah dan serakan kertas di meja kerjanya. Mulanya ia enggan menanggapi. Isinya ngambang. Tanpa penjelasan atau setidaknya alasan yang mengharuskannya harus naik kereta pagi dan menempuh lima jam perjalanan. Sebaris kalimat: "Temui aku di kota itu minggu depan. Museum Arupadatu. Untuk hal-hal yang ingin kausampaikan dan belum kuterimakan," tidak cukup membuatnya mengerti.
Tapi kini ia sudah di gerbong nomor lima kereta ekonomi. Merasa bodoh sekaligus penasaran. Roda kereta berisik saat melindas rel. Samar tercium bau air seni. Terlihat ibu-ibu dengan tas besar. Pekerja. Mahasiswa yang tampak lusuh. Obrolan-obrolan seputar Rupiah, akik, dan BBM mengalir di udara. Ia lalu duduk di dekat jendela. Kereta itu belum terisi penuh.
Matahari beranjak naik membuat warna-warni kota menyala saat perempuan itu duduk di depannya. Ia sepertinya naik dari stasiun kecil yang kabarnya akan ditutup tahun depan. Masih 3 jam lagi menuju kota tujuan. Sambil lalu ia mengeluarkan koran dan mulai menyibukkan diri.
"... Rembulan Kota Paris," kata perempuan itu.
Ia menurunkan korannya. "Sorry?"
"Ah - oh. Nggak. Judul di koran itu, Rembulan Kota Paris," katanya menunjuk.
"Ah.. hehe iya Rembulan Kota Paris, cerita pendek hari ini. Kenapa?"
Perempuan itu menggeleng dan tersenyum hampir bersamaan.
"Bukan apa-apa. Suka aja judulnya. Rembulan di Paris. Bukannya Paris sudah romantis, masih ditambahi bulan lagi."
"Kau mau membacanya," katanya. "Sebenarnya ini cerita yang tidak terlalu romantis."
"Ah, tidak?"
"Begitulah, tokoh si laki-laki yang menjadi kekasih si tokoh wanita di situ, bunuh diri dengan memotong nadinya di atas Eiffel," terangnya.
"Oh, ya?" tanyanya terkejut. "Kenapa dia mati?"
Ia diam sesaat. Pemandangan di jendela kanannya berkelebat cepat. Rumah-rumah kubus berganti dengan hijau sawah dan langit biru cerah.
"Karena Isaiah, laki-laki dalam cerita itu, tidak bisa menikahi Arnetha, si perempuan yang ia sukai."
"Kenapa?"
"Menurutmu?"
"Ehm..karena Isaiah pengecut?"
"Mungkin, tapi tidak demikian juga. Lebih kepada kekurangan Isaiah."
Perempuan itu mengernyit. Ia menopang dagunya dan agak mencondongkan tubuhnya ke lelaki asing bercambang di hadapannya.
"Isaiah... dia bukan seorang lesbian," katanya.
Perempuan itu seperti tersengat listrik. Kereta berhenti sebentar di stasiun. Seorang ibu menuntun anaknya naik ke atas kereta.
"Jadi, kekurangan Isaiah karena dia bukan wanita yang ....penyuka sesama jenis?! Sialan...Bagaimana bisa dia dibikin bunuh diri sih sama penulisnya?"
Ia melipat korannya lalu menyelipkannya di lengan. Terkejut juga dengan pertanyaan itu.
"Well...begitulah. Terasa sentimentil memang, tapi begitulah akhirnya."
"Dan kapankah Isaiah tahu kalau si Arnetha ini lesbi? Apakah ia mengatakan langsung?"
"Tidak juga."
"Tidak?!"
"Dalam cerita itu Isaiah sibuk dengan penelitiannya, kalau kau tahu. Dia calon doktor sosiologi. Mereka tidak sering bertemu. Seminggu mungkin 2 kali. Sementara Arnetha, dia - dan kakak-kakak perempuannya, aktif dalam gerakan organisasi feminisme di Paris. Suatu hari, saat mereka berduaan di bawah rembulan, sebenarnya si Isaiah ini mau ngomong kalau dia mau menikahi Arnetha. Tapi perempuan itu malah tak berhenti mengulas gerakan wanita modern dan kasus perceraian karena tuntutan karir dalam dunia kaum Hawa."
"Tapi bukan berarti dia lesbian, kan? Penulisnya terlalu misoginis."
Saat seorang pramusaji kereta melewati mereka ia memesan dua cup coffe
"Jadi," ia melanjutkan sambil menghirup kopinya. "Suatu hari Isaiah berniat melamar Arnetha. Tekadnya sudah bulat. Ia mendatangi rumah perempuan itu - sekaligus mungkin bercinta setelah mengutarakan maksudnya. Maka disampaikanlah uneg-uneg bahkan niatnya mencumbui perempuan itu tanpa tedeng aling-aling."
Perempuan di depannya menyimak serius. Sesekali ia menahan nafas. Cup kopinya ia remas erat.
"Lalu, apa katanya?"
Ia memandang keluar jendela. "Arnetha menyuruhnya pulang. Dan mengatakan ia tidak tertarik pada laki-laki."
Kereta melambat. Perhentian lagi di sebuah stasiun. Tidak ada penumpang baru dalam gerbong mereka.
"Jadi...Isaiah menganggap itu sebagai pertanda kalau calon istrinya lesbian?"
Ia mengangguk. "Isaiah memang bodoh, ya?"
Kereta pelan-pelan merambat.
"Apa Isaiah tidak berusaha lagi? Dia tidak mengusahakan niatnya lagi??"
Ia hanya tersenyum menjawab pertanyaan itu. "Apa menurutmu begitu?"
"Isaiah lelaki bodoh. Aku ragu penelitian doktoralnya."
"Sebenarnya, aku pun berharap Arnetha bukan lesbian. Dan Isaiah bukan calon doktor galau yang berpikiran pendek soal cinta. Tapi, bukankah tragedi harus ada?"
Perempuan itu menerawang jauh ke luar.
Perhentian terakhir. Roda-roda kereta mendecit. Suara petugas kereta di interkom mengatakan kereta akan merapat 5 menit lagi. Matahari makin terik. Kota terlihat gerah dan lelah.
"Kau mau kemana?" tanyanya.
Perempuan itu merapikan rambutnya. "Sekitar sini saja. Dan kau?"
Ia mengeluarkan surat itu dari sakunya. "Seseorang ngirim ini padaku. Memintaku datang. Museum Arupadatu, kau tahu tempat itu?"
Perempuan itu tertawa lalu menurunkan barangnya.
"Tidak ada museum seperti itu di kota ini. Kau pasti telah ditipu. Kau memang bodoh seperti karakter ceritamu itu. Kurasa itulah tragedimu."
"Bagaimana kau tahu aku penulisnya?!"
Perempuan itu tidak membalas. Satu demi satu gerbong memuntahkan penumpang. Semakin jauh, perempuan itu menghilang ditelan kerumunan.
***