Rabu, 22 Juli 2015

Jagongan Kebudayaan


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian 'Kebudayaan' secara antropologis adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Di dalam KBBI, kata 'Kebudayaan' pun memiliki klasifikasi penjelasan yang lebih luas, seperti Kebudayaan Barat, Kebudayaan Agraris, dan sebagainya.

Sebagai hasil karya cipta, rasa, karsa, dan pengetahuan, kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari manusia itu sendiri. Tidak mungkin kebudayaan muncul tanpa adanya ijtihad dan keinginan manusia. Fungsi kebudayaan, menurut saya, adalah usaha agar hal-hal yang dianggap memiliki nilai - materiil atau spiritual - dapat dilegalkan sebagai salah satu kepribadian dan ciri khas suatu kelompok. Budaya tersebut untuk selanjutnya disepakati bersama sebagai instrumen untuk mempertahankan ide, nilai-nilai, maupun cita rasa dari hal-hal dari luar.

Dalam perjalanannya kebudayaan suatu kelompok tentu akan berhadapan dengan kebudayaan lain di luar kelompoknya. Contoh sederhana saja, kalau orang Indonesia pergi ke Jepang tentu akan berhadapan dengan sake, kimono, sampai geisha. Orang Jawa yang biasa makan pecel tentu sedikit canggung ketika pertama kali makan susshi. Sebaliknya, orang Tokyo mungkin akan stres mengetahui betapa tidak on time-nya orang Jakarta saat meeting. Culture shock biasa dialami ketika seseorang yang belum terbiasa hidup di luar teritorinya tiba-tiba dihadapkan dengan gempuran nilai-nilai asing terhadapnya.

Dalam pergumulan budaya ini orang biasa menilai kebudayaan siapa yang lebih nyaman atau unggul. Orang Amerika bisa saja tergelitik geli melihat budaya orang Jawa yang cenderung 'malas', gemar mistis dan gampang kagum. Orang Barat yang adalah kakek buyut Revolusi Industri tidak mengenal Sabdo Palon, primbon, dan sikap sumarah. Bagi orang Barat, rasio itu penting dan waktu adalah kejar-mengejar antara penghasilan dan pemenuhan kebutuhan. Sementara bagi orang Jawa spiritualitas dan batin juga harus diolah, sambil terus bekerja.

Pencapaian setiap kebudayaan jelas berbeda. Bagi orang Jepang pencapaian seni senjata adalah samurai. Bagi orang Yogyakarta jelas adalah keris Kyai Kopek. Pencapaian kebudayaan orang Papua adalah honai, sementara bagi orang Eskimo adalah iglo. Pencapaian ini belum bisa digunakan untuk mengukur dan menentukan apakah samurai lebih unggul dari keris. Apakah budaya sweeter bulu dan kacamata rayben lebih baik daripada koteka.

Yang menjadi anggapan saat ini bahwa budaya si A lebih baik dari si B hanyalah konspirasi global terhadap norma-norma umum dunia modern, seperti cara berbusana, tingkat edukasi, maupun strata kelompoknya dalam piramida ekonomi.

Sementara itu, perbedaan pencapaian kebudayaan dilihat darimana kultur itu tumbuh. Kapan dan bagaimana kondisi setempat. Kadangkala, kita sering terkecoh dan merasa pencapaian budaya kita lebih unggul dari masyarakat yang tidak terjangkau televisi. Parameter kita antara lain jangkauan informasi yang kita terima lebih banyak karena kita punya internet dan karena - dalam situasi tertentu - kita berpakaian lebih modern. Padahal, pencapaian kebudayaan juga menyangkut tata kelola sosial, karakter, bahkan remeh temeh urusan rumah tangga. Dalam satu kasus yang sama, seorang bersweeter bulu belum tentu semahir seorang berjarik dalam urusan ngemong bayi menangis.

*

Karena kebudayaan adalah manusia itu sendiri, maka tidak akan elok jika membandingkan superioritas budaya yang satu dengan yang lain. Di Indonesia sendiri, jauh sebelum globalisasi merobohkan batas-batas, kita telah mengenal akulturasi dan sinkretisme budaya. Bahkan dalam edukasi beragama yang dilakukan oleh Wali Songo saat meng-Islamkan tanah Jawa.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang kaya. Primordialitas yang kita miliki hendaknya adalah media yang baik untuk penyelenggaraan kebudayaan nasional yang akan menjadi sumbangan bagi kebudayaan dunia. Bukankah lebih penting kebudayaan Indonesia di mata internasional ketimbang kebudayaan yang terkotak-kotak?

Sambil berharap bahwa penelitian Stephen Hawking terhadap kemungkinan kebudayaan makhluk astral di planet luar menemui hal yang menggembirakan. Mungkin nanti akan tiba masanya: Kebudayaan Semesta.

* * *

p.s.: Danke, Kak Ruth. Teman berbalas twit yang asyik.

Senin, 06 Juli 2015

Cukupkah Iman?



"Kak, iman itu apa?"
"Iman itu telanjang, Dek."
"Lho, kok telanjang? Kalau masih telanjang kan ga boleh keluar rumah, Kak?"
"Nah, makanya itu. Iman saja ndak cukup, Dek."

*

Iman itu telanjang. Tidak berbusana dan tanpa tedeng aling-aling. Telanjang itu bentuk pengakuan. Seorang beriman adalah yang menyerahkan dirinya untuk ditawan tanpa pernah memiliki praduga atau kecurigaan terhadap yang diberi penyerahan.

Tetapi apakah iman saja cukup?

Manusia itu hidup dan berhadapan dengan beragam nilai dalam hidupnya. Sudah pasti dan dapat dipastikan bahwa nilai, budaya, maupun karakter yang akan ditemui tidak selalu sama. Orang yang telanjang tidak mungkin langsung begitu saja menceburkan diri dalam lautan nilai-nilai itu. Karena satu yang sudah menjadi kesepakatan hampir di seluruh belahan dunia: Orang yang telanjang itu dianggap nggak waras. Gila. Abnormal dan abstain dari nilai-nilai kesopanan yang ada di masyarakat.

Begitupun keimanan. Kalau ia tidak diberikan busana, maka ia tidak punya bekal. Tidak dapat bergaul. Maka berikanlah ia pakaian. Namanya takwa. Takwa itu menjalankan yang Tuhan kehendaki sekaligus menjauhi yang Dia tidak perkenankan. Busana takwa itu akan menjadi pegangan dalam berlaku, bersikap, dan menilai baik-buruk sesuatunya. Semakin bagus dan arif ketakwaannya, tentu semakin bagus pakaian yang membalut tubuhnya.

Tetapi apakah iman dan takwa sudah cukup?

Manusia itu cenderung bermegah-megah. Cenderung alpa saat sudah berada di atas. Terkadang, kalau pakaiannya sudah parlente, jadi merasa lebih baik dari yang pakaiannya masih kaos oblong. Yang bagus-bagus di dunia, belum tentu yang apik-apik di hadapan Tuhan. Karena itu manusia perlu diingatkan. Perlu diberi aksesoris di tubuhnya agar mereka ingat. Eling kalau kudu lebih banyak menahan diri. Aksesoris itu namanya rasa malu.

Orang beriman dan bertakwa harus punya malu agar bisa mengendalikan dan menahan diri dari sikap berlebihan. Karena sebenarnya yang namanya ibadah itu: Shalat, puasa, zakat, sedekah atau tersenyum itu urusan yang gampang sekali. Yang susah itu merasa ibadahnya tidak lebih baik dari orang lain. 




Jumat, 03 Juli 2015

"Tenang, Hidup itu Pilihan, Bro." | Oh, Ndasmu


Hidup adalah pilihan. Begitu kalimat klasik yang sudah sangat familiar kita dengar. Mengetahui bahwa sederhananya hidup itu adalah tentang keberpihakan membuat kita juga (seolah) ringan saja mengucapkan: "Tenang, hidup itu soal pilihan, Bro" ketika kita juga (seolah) tahu imbas keputusan seseorang untuk memilih hal yang nanti akan mengikatnya.

Tapi, apakah benar semudah itu berujar: "Hidup adalah pilihan"?

*

Sesaat setelah kita pertama kali dilahirkan, kita telah dengan tanpa sadar mengikatkan diri pada nilai, norma, budaya maupun agama yang kelak akan membentuk karakter dan kepribadian kita.

Seorang Zaelani terlahir dalam keluarga muslim yang taat. Sejak usia 7 tahun ia dibiasakan pergi ke masjid, sholat 5 kali sehari, pun berpuasa Ramadhan. Berbeda dengan Caroline yang sejak usia yang sama rajin diajak kebaktian di katedral, berpuasa sebelum Paskah, atau merayakan Natal setiap Desember. Keduanya terikat oleh pilihan yang dipilihkan oleh lingkaran lingkungan paling kecil: Keluarga.

Dengan doktrin yang sejak dini ditanamkan, kita dapat menduga bahwa ketika mereka dewasa nilai-nilai akan membentuk Zaelani menjadi figur lelaki muslim dan Caroline seorang Katolik. Pada suatu momentum yang menjungkalkan paradigma, belakangan kita tahu bahwa Zaelani secara sembunyi-sembunyi mengagumi Buddhisme. Di lain pihak, Caroline tertarik dengan konsep kerasulan Muhammad SAW. Saat itu keduanya berumur 18 tahun. Saat itu secara usia dan hukum keduanya memiliki kebebasan untuk memilih.

*

Menjadi berbeda karena pilihan tidak dapat selalu dikatakan mudah. Terlebih benturan dengan lingkungan yang memilihkan kita pada pilihan-pilihan saat kita belum mandiri dan bebas memilih. Bahkan, dalam tingkat ekstrim, kemandirian memilih memberi konsekuensi tidak mengenakkan. Beberapa diusir, dihilangkan, atau dikebiri haknya.

Setelah peristiwa berdarah komunisme dekade '60-an kita ketahui bahwa ada marjinalisasi kepada mereka yang masih "berbau" golongan kiri. Dekade '90-an Tempo dibredel karena memilih jalan yang terlalu berani dalam rezim Orde Baru. Dan awal 2000-an hampir seluruh mata dunia menstigma muslim sebagai teroris.

Memilih itu belum menjadikan kita sepenuhnya damai. Belum membuat hidup terasa ringan seperti jargon "Hidup adalah pilihan", karena mereka masih dihantui rasa cemas. Masih dihinggapi perasaan ditolak dari beragam perspektif dan persepsi. Terlebih bila apa yang kita pilih itu menjadikan kita berada dalam kelompok minoritas atau group yang kurang populer.

Seyogyanya, ketika seseorang / sekelompok orang menilai adanya perubahan dalam diri orang lain dengan berkata: "Biarinlah, hidup itu pilihan, kok",  haruslah dibarengi kesadaran nyata bahwa mereka tidak akan mencibir di balik punggung. Terlebih melakukan tindakan yang - dengan parameter nilai kebaikan apapun - dapat membuat mereka harus memilih jalur cepat ke pintu neraka.

***