Minggu, 14 Juni 2015

Masyarakat yang Capek

Beberapa waktu yang lalu pernah timbul dalam pikiran saya tentang tayangan tidak bermutu yang hampir setiap hari datang dan menjejali layar televisi kita. Bagaimana mungkin, jika kita sedikit 'waras', tayangan lebay dan penuh bumbu drama bisa menjadi tayangan yang hampir selalu dinanti jam tayangnya? Apakah sudah tidak ada pilihan lain, sehingga pada jam prime time, orang sibuk  membeli mimpi dan pembenaran dari tayangan itu?

*

Melihat tayangan televisi yang tidak berbobot dan bernilai edukasi rendah, seperti kebanyakan acara mistis, sinetron, atau kontes adu bakat, rasanya seperti memakan junk food. Puas sesaat tapi tidak bernilai gizi memadai. Jika dicari bandingannya, para penikmat televisi dengan standard kualitas tertentu akan memilih, misalnya, National Geographic atau serial yang - setidaknya - lebih kuat dalam tema dan sinematografi. Kebanyakan, tentu saja, produksi luar negeri dan berbayar. Atau, jika bukan penikmat televisi, orang dengan standard tertentu lebih senang bepergian ke bioskop atau teater untuk mencari nilai yang dapat memuaskan pengetahuannya.

Sayangnya, tidak semua masyarakat memiliki cukup sumber daya untuk menjadi bagian dari masyarakat berstandard tersebut. Tidak setiap orang mampu untuk setidaknya 3 kali seminggu datang ke bioskop XXI atau membeli tayangan berbayar semacam History Channel dan National Geographic. Dan, akan sangat merepotkan jika untuk sekedar terhibur harus dengan cara yang mahal dan ribet. Mau senang kok susah?

Ketidaksamaan sumber daya inilah yang kemudian membuat sebagian besar masyarakat menghibur dirinya dengan tayangan televisi tadi. Soal value dan knowledge bisa didiskusikan belakangan. Hiburan dan bahan untuk cerita dikedepankan. Para petinggi media dan pengusaha hiburan pun memberi restu. Artis dipermak sedemikian rupa. Skenario dan konflik-konflik direncanakan. Berilah mereka mimpi dan biarkanlah 'merasa' seolah menjadi bagian dari panggung drama itu. Dan, boom! Kita tinggal membicarakan rating.

*

Kita masyarakat yang lelah. Capek. Dalam keseharian kita sudah dibebani dengan pekerjaan, mengurus rumah tangga, kemacetan, penghasilan kurang memadai untuk hidup di kota super kompetitif, sanitasi buruk, atau urusan-urusan besar dan tidak sesuai kapasitas untuk menyelesaikannya yang mau tidak mau datang dan hinggap, seperti: fluktuasi harga pasar, korupsi menteri, sampai nuklir Iran. Capek, kan? Terlebih kalau kebetulan orang yang merasakan itu adalah masyarakat menengah ke bawah.

Jika beban-beban itu diangkat dari pundak mereka, tentu pemilihan hiburan dan kesenangan juga akan berubah. Akan tumbuh kesadaran dan standard baru bagi mereka. Seterusnya tentu masyarakat akan membagi mana golongan primer dan mana yang sekunder.

Masyarakat butuh kesenangan-kesenangan kecil. Butuh jeda agar stres yang terlanjur mengikat otak mereka dapat dikendurkan sejenak. Tayangan televisi kita memberi peluang itu. Sebenarnya, jikalau sanggup, tidak akan ada yang tidak ingin mendapat tayangan yang jauh lebih variatif dan berbobot. Tidak ada yang menolak untuk datang ke bioskop atau membeli sepaket buku literatur berskala internasional agar cakrawala mereka terbentang seluas mungkin. Hanya saja, belum untuk saat ini. Biarkan kami - untuk hari ini - terhibur oleh Ganteng-Ganteng Serigala atau dangdut Saipul Jamil.

***

Senin, 01 Juni 2015

Maha Paradoks dan Himpunan-Himpunan


Karena hidup adalah neraca yang luar biasa besar, dengan tata kelola akuntansi individu yang rahasia, maka heningkanlah paradoks yang Tuhan berikan. Dia adalah Sang Maha Paradoks. Dia menciptakan,  memelihara, namun menganjurkan kita untuk menjauhi hal-hal yang hari ini menjadikan kita harus memihak kepada A atau B. Dengan menjadi bagian dari salah satu himpunan itu kita, tiba-tiba, dengan skala kecil maupun besar, seolah memiliki kekuatan bahwa himpunan dan populasi di dalam golongankulah yang berlabel Benar.

*

Orang yang ingin menghilangkan prostitusi dengan segala bentuk dan transformasinya akan mengatakan bahwa tidak ada yang halal dari tindakan asusila dan amoral itu. Tidak ada pembenaran dalam hal memperdagangkan seluruh aurat dan rasa malu kepada orang yang bahkan sebelumnya kita tak pernah tahu eksistensinya. Di luar himpunan itu, pihak yang memiliki frame berbeda soal pelacuran, belum tentu sependapat dengan gagasan para idealis bermoral tersebut. Coba tanya saja Rendra dan para Pelacur Kota Jakartanya.

Apakah prostitusi salah?
Ataukah prostitusi belum tentu salah?

Sejarah prostitusi adalah sejarah manusia. Dia lebih tua dari zaman Masehi. Dalam sejarah, aturan moral, sampai agama, dijelaskan bahwa tindakan asusila itu cacat. Harus dihapus, atau paling tidak dihindari. Namun, apa yang terjadi? Bahwa warisan sejarah umat manusia itu hari ini masih tetap berdenyut. Masih punya tempat di sudut remang. Masih bisa beradaptasi dengan zaman postmodern.

Mengapa prostitusi tidak (mungkin) bisa hilang? Sementara tak kurang berbagai aturan moral telah dicetak?

Motif memang selalu menjadi alasan yang tidak bisa lenyap bagaimanapun abad harus berganti. Individu pun punya kehendak. Yang menjadi pertanyaan dan pengandaiannya: Jika ada motif yang mengharuskan seseorang diberi pilihan menjadi seorang pelacur, namun ternyata ia tidak menggunakan kehendaknya untuk memilih jalur itu, dan ini menjadi fenomena komunal dengan motif yang beragam, apakah kita bisa menjamin bahwa prostitusi akan lenyap dari bumi? Dan lantas dengan demikian membuat semua manusia – dalam masalah prostitusi – masuk ke dalam himpunan yang satu?

*

31 Mei 2015. Saat itu time line Twitter ramai membahas tagar #WorldNoTobaccoDay. Hari Anti Tembakau Dunia. Sudah pasti 90% ini akan menjurus pada anjuran untuk tidak merokok. Menciptakan hak udara bersih, lalu bla bla bla ilustrasi, grafik-grafik bahaya kematian karena rokok disuguhkan.

Apakah perokok salah?
Ataukah perokok belum tentu bersalah?

Para perokok sudah pasti salah, menurut himpunan orang anti rokok. Merokok tidak bersalah, menurut himpunan kaum pengasap. Keduanya duel. Siapa yang menang?

Di luar kedua himpunan itu, tanaman tembakau yang adalah nukleus rokok, tumbuh lestari di Indonesia. Jutaan buruh pabrik kretek sampai filter dapurnya mengepul karena industri internasional ini. Para kapitalis pasar meraup untung dari Marlboro, Sampoerna, sampai Tali Jagad. Ribuan aktivis anti rokok dan pakar kesehatan mendapat tempat dalam dunia perbukuan maupun pembicara seminar.

Jadi, tembakau itu benar atau salah?

*

Paradoks, saling bertolak belakang, inilah bagian dari pertaruhan kita sehari-hari. Kita adalah neraca yang sebenarnya ingin mendapat timbangan lebih baik di sisi kebaikan. Apakah dengan menjadi himpunan A, Dia akan memberi tempat bagi kita di sisi-Nya? Ataukah himpunan B, yang sudah pasti akan Dia jebloskan ke penjara panas di dasar bumi?

Bukankah jika Dia berkehendak maka bisa saja seluruh bentuk prostitusi dan tembakau itu Dia lenyapkan seperti ketika murkanya menenggelamkan kaum kafir Nabi Nuh? Bukankah jika Dia mau maka tidak akan ada himpunan A, B, atau Z?

Tapi Dia dengan segala kebijakan-Nya tidak nggebyah uyah makhluknya. Dia mewajibkan para khalifah di bumi beribadah, tapi sekaligus tidak melarang setan, iblis, dan Dajjal mengusik dzikir mereka. Dia konon menitipkan benih kanker dalam rokok, tapi Dia tetap memelihara tembakau. Dan Dia mengharamkan lelaki berzinah mata, namun Dia tidak berhenti menciptakan perempuan cantik.

Paradoks ini akan terus ada. Dan suka atau tidak himpunan-himpunan itu akan tetap berduel. Tetap merasa menjadi benar. Tetap berusaha mengatur siasat akuntansinya agar sisi Debit lebih besar dari Kredit. Sementara itu, di atas firdaus sana, Dia mungkin sedang senyam-senyum melihat guyonan kehidupan ini.

* * *

Ditulis pada hari hujan pertama di bulan Juni. Kredit foto dari akaldankehendak.com