Jumat, 13 Februari 2015

Idealisme




 

Setiap kita, dalam skala paling kecilpun, memiliki suatu gagasan ideal. Tentang apa pun. Agaknya, dengan memikirkan, terlebih menerapkan, gagasan ideal itu sedikit banyak telah membantu kita tetap terjaga di hari-hari gelap. Membuat kita merasa bahwa ada substansi yang perlu kita sampaikan dengan cara dan metode kita sendiri. Perjuangan dan pertahanan atas nilai yang kita percayai.

Idealisme pulalah yang menceritakan banyak sekali sejarah kepada kita. Tak terkecuali yang getir, seperti perang.

Agaknya sejarah kita adalah memang sejarah peperangan. Dunia kita tinggal dibentuk dari darah dan ide-ide tentang perdamaian dan kenyamanan yang ditempuh dengan mencaplok hak bangsa lain. Ketika melihat perang, maka kita melihat idealisme adalah faktor paling utama, selain artileri dan kavaleri, yang mutlak diperlukan untuk menghadapi medan tempur. Gagasan ideal tentang sebuah “perdamaian” abadi atau sungai-sungai surga bagi para pahlawan perang itu nantinya, tak pelak menjadikan meraka rela menyambuat kematian dengan hati bergelora. Otak dan hati mereka telah diset sedemikian rupa sehingga kesetiaan tertinggi hanyalah kepada cita-cita ideal yang telah diinisiasikan oleh raja, komandan, ketua mereka yang agung.

Cita-cita ideal milik pribadi itu telah berkembang menjadi cita-cita ideal komunal. Setiap kepala kini memiliki visi dan misi yang searah dan sejalan dengan pemimpin mereka. Perang adalah jalan untuk mengubur idealisme yang lemah dan menjejalkan gagasan milik para pemenang. Selebihnya, adalah hal bagaimana mengatur pembagian hasil rampasan, kursi-kursi kekuasaan, dan ekpansi-ekspansi politis. Tapi yang inti tetaplah pengakuan idealisme yang paling benar dan membenarkan.

Benar dan membenarkan inilah pangkal bagaimana kita lupa bahwa di antara siapa yang benar dan siapa salah ada tangan tak kentara yang menimbangnya. Benar, bisa menjadi salah jika untuk mencapainya kita menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dan a-humanis. Dan salah, belum tentu berlabel “salah”, jika ukurannya adalah penilaian parsial dan ketidaktahuan, sebagaimana Khidir melakukan hal-hal yang “salah” menurut ukuran Musa.

Sepanjang hidup, kita telah melihat idealisme yang benar menurut para penggagasnya itu bertaburan. Ada yang tumbang, ada yang masih bertahan. Aliran dan persepsi tak terhitung jumlahnya. Hanya saja, siapa yang benar dan siapa yang salah, bagaimana secara hakiki kita menilainya?

Jika seorang nabi seperti Musa saja masih diberikan kabut dalam hatinya untuk melihat kebenaran sejati yang ditunjukkan oleh Allah SWT melalui Khidir, maka bagaimana mungkin kita yang hidupnya di akhir zaman dan masih meraba-raba ini begitu jumawa menjadikan idealismenya gagasan paling benar dan membenarkan?

* * *



Tidak ada komentar:

Posting Komentar