Senin, 23 Februari 2015

Pulang

Senja adalah tentang pulang. Perjalanan kembali ke rumah, ke muara, setelah mengolah pencarian dalam perjalanan. Pulang adalah bagaimana melaporkan dan menyerahkan apa yang telah kita terima. Dengan penyerahan itulah, rumah, muara, memberikan tempat buat kita berebah.

Senja di langitku takkan sama dengan senja di langitmu. Sebagaimana kilometer perjalanan dan derajad hidup kita yang berbeda. Di atapku, senja memuar merah seperti darah. Di tempatmu, senja adalah warna emas meleleh. Tapi itu tak berarti senja masing-masing kita lebih baik satu dari lainnya.

Hanyalah Dia, yang Maha Menilai, yang dapat menentukan apa yang akan kita terima di dalam rumah. Di dalam senja, orang hanya akan merasa trenyuh tanpa berkata-kata menyaksikan langit memudar dan nyalanya hilang. Mereka merayakan pulang tanpa kembang api dan sampanye. Tanpa hingar bingar atau upacara.

Karena kelak mereka pun akan menjadi senja. Kelak akan menempuh perjalanan dengan bertelanjang. Di dalam hidup ini, jika nyala pelita itu redup, kemanakah perginya nurnya? 

Tak lain ialah kepada ada yang tiada.

Selasa, 17 Februari 2015

Tentang: Jogjakarta dan Empat Gugusan

Pergi ke Jogja adalah caraku menertawakan kesibukan orang Jakarta, begitu kata seniman Sudjiwo Tedjo. Bagiku pergi ke Jogja tidaklah untuk menertawakan siapa pun. Bagiku pergi ke Jogja adalah seperti kembali pulang.

*


Tahu kalian, apa yang paling menyenangkan dari sebuah perjalanan? Ialah ketika segala yang berdetak, berderak, meriak, itu berlomba-lomba ingin menceritakan kisahnya. Perjalanan ke Jogjakarta pada Jumat malam itu pun demikian. Dari seputar bus berangkat yang bikin bete karena ndak melakukan check up sebelum berangkat. Tidur di kursi bus dan terjepit. Tukang ojek Giwangan yang (ternyata) ndak seberapa hafal gang-gang di Kraton. Sampai keadaan naas harus mengalah kepada alam dan balik kucing dari gunung dengan kondisi mirip ayam dicelup di selokan. Perjalanan pada akhirnya adalah guyonan sehat tentang hal yang remeh sekalipun.


Perjalanan ke Jogja kali ini berfokus di daerah Kulon Progo. Ada beberapa spot yang menggelitik perhatian: Kalibiru, Waduk Sermo, dan – yang terpenting – Puncak Suroloyo. Setiba di Giwangan pukul 05:40, 14 Februari, saya mengontak Raga Transport (persewaan transportasi. Bisa di-invite pin BBM-nya 7E89A87B) sekiranya mereka bisa mengantar motor saya lebih awal dari jadwal sebelumnya pukul 10.00. Berhubung jam operasional dimulai pukul 08.00, jadilah saya memutuskan untuk reservasi dulu di hotel. 


Di situlah, saya bertemu Mas ini. Tukang ojek Giwangan. Dengan ongkos 30 ribu, Mas ini bersedia mengantarkan saya ke Ndalem Mantrigawen, tempat saya akan menginap. Alamatnya sebenarnya cukup dikenal. Di lingkungan Kraton. Jl. Mantrigawen Lor 15, tepatnya. Tapi, sebagaimana orang Malang yang bingung kalau mau mencari alamat di Sawojajar, efek serupa juga dialami Mas ini. Heuheu …. awalnya saja dengan PD bilang: “Gampang niku, Mas” yang kemudian berakhir dengan sesi tanya jawab dan kebingungan mencari lokasi hotel.


Muter-muter Alun-alun Keraton, dan! Akhirnya ketemulah alamat itu. Itupun saat sudah di jalur yang tepat, kami masih harus bertanya lagi ke pak tukang becak karena alamat Ndalem ini nyempal dari urutan rumah-rumah lainnya. Heuheu …


*


Ndalem Mantrigawen sendiri adalah eks bangunan kuno. Nyaman dan khas lingkungan keraton. Hanya saja, untuk urusan kamar mandi, saya harus berbagi dengan yang lain. Kamar mandi umum yang tersedia dua buah. Gapapa juga sih, wong malam-malam jadi sempat lihat turis cewek cuma dibalut handuk sehabis mandi heuheuehu …


Selepas mandi, perjalanan pagi ke Kalibiru dimulai. Lama perjalanan sendiri antara 1 – 1,5 jam dari pusat Jogja. Rute yang dilewati kalau kamu dari Malioboro adalah mengikuti arah Jl. Wates arah utara ke Purwoharjo. Ketika telah di pertigaan Wates-Purwoharjo-Sermo, kamu belok kanan ke arah Sermo. Perjalananmu akan melewati Pasar Sentolo. Ikuti saja papan penunjuk arah menuju Sermo sampai nanti bertemu perempatan besar. Kalau ke kanan ke Clereng dan lurus ke Kalibiru.


Dari saran mbak penjual batagor, perjalanan ke Kalibiru relatif lebih singkat jika lewat Clereng. Tapi saya tidak menempuh jalur itu. Saya mengikuti papan hijiau penunjuk ke Kalibiru. Jalanannya lebar, beraspal (tapi juga bergeragal) dan benar, tidak terlalu mulus bagi kendaraan. Konturnya melingkar naik-turun. Jika mengikuti arah jalur searah itu, maka sampailah kita di gerbang masuk Waduk Sermo.


Registrasi masuk sebesar Rp. 6000,-. Alamnya asri dengan deretan pepohonan hijau dan angin yang tak terlalu kencang. Dari Waduk Sermo jika ingin meneruskan ke Kalibiru cukup ikuti rute yang ada. Sesampai di sana kita hanya dikenai retribusi parkir.


*


Kalibiru adalah dataran setinggi kurang lebih 400 mdpl yang dikreasi menjadi wahana outbond dan rekreasi keluarga. Di sana, kamu dapat melihat lanskap Waduk dan bukit yang mengelilinginya. Ada beberapa pos pantau yang dapat menjadi tempat istirahat sembari menikmati ketinggian alam. Soal tempat makan, Kalibiru menyediakan beberapa warung pun cottage untuk bersantai.

 

*


Pukul 13.00 selepas menjamak Dzuhur dan Ashar, perjalanan saya lanjutkan (sesuai itinerary awal) ke Puncak Suralaya. Pertimbangan saat itu (di sini saya lupa memperhitungkan potensi cuaca yang kurang bersahabat), sesuai itinerary, saya akan sampai di puncak saat senja turun. Perjalanan ke Suroloyo sendiri memakan waktu kurang lebih 1 – 1,5 jam dari Kalibiru. Rute yang ditempuh adalah Kalibiru-Nanggulan-Dekso-Kalibawang-Jagalan-Suroloyo.


Walaupun jalanan relatif sepi dan mulus, Suroloyo serasa seperti mimpi. Tidak mudah ditemukan. Setelah lepas dari Nanggulan dengan kepala penuh tanda tanya ke mana lagi, masuklah saya di Kalibawang. Di sinilah hujan turun. Saya tak pedulikan, awalnya. Mengikuti jalan protokol arah ke Magelang, motor terus saya pacu sampai akhirnya saya menyerah dan bertanya. Walhasil, saya kebablasan heuheu….


GPS tidak banyak membantu karena gerimis. Modalnya hanya bertanya pada penduduk setempat. Akhirnya pada sebuah pertigaan dengan plang menunjuk arah Magelang-Semarang. Mengikuti arah itu, sampailah kita di Pasar Jagalan. Puncak Suroloyo, seperti namanya, masih di puncak angan yang berkabut dan samar. Kembali saya bertanya. Dan kali ini si Mbak-nya menjawab: “Lempeng mawon”.


Lebar jalan menuju Suroloyo hanya cukup untuk satu mobil. Dikelilingi tebing dan jurang. Berkontur menanjak dan beraspal yang tidak begitu bagus. Selama mendaki, motor saya pacu 20 km/jam. Hujan turun semakin lebat. Saya (masih) tak peduli. Mengikuti jalan setapak itu alam mulai liar. Air yang jatuh semakin deras ditambah angin dan petir. Saya (masih) keras kepala. Motor terus saya pacu sampai pada sebuah perempatan dan gapura. Jika ke kanan adalah ke Borobudur, jika terus adalah Suroloyo.


Akhirnya!, batin saya.


Sebagaimana menemukan jalan menuju harta karun, saya semakin antusias. Hujan tak lagi saya hiraukan. Saya mulai sombong ….


Di sanalah saya benar-benar khilaf bahwa alam bisa sangat tidak menjanjikan. Hujan menghalangi nalar saya yang menyangka jarak menuju Suroloyo sejauh 8,5 km menjadi terbaca 2,5 km saja. Alam memukul kekeraskepalaan saya berkali-kali. Nalar saya lupa bahwa hujan angin di gunung bisa saja membuat saya celaka. Nalar saya ditutup karena keegoisan saya menapaki jalanan licin, tak berujung, rasa jengkel, dan pandangan yang memutih kabur karena terpaan hujan.


Pada kilometer ke lima saya akhirnya berpikir waras. Longsoran air dan tanjakan yang membuat saya semakin jengah itu menyadarkan saya bahwa tujuan abadi saya untuk meneropong senja di puncak perbukitan Menoreh hari itu harus dikubur dalam-dalam.


*


Hari terakhir di Jogjakarta. Itinerary saya susun ulang. Sisa paruh hari (dan hari ini cuaca sangat cerah, alhamdulillah) harus menjadi acara kembali saya ke Puncak Suralaya. Saya tak dapat sunset, memang. Belakangan saya hanya mendapat gosong dan keringat. Heuheu…


Selepas check out pada pukul 07.00, tanpa sarapan, motor sekali lagi saya pacu ke Suroloyo. Jika dari titik 0 kilometer, arah yang bisa kamu tempuh adalah Wates-Godean-Kalibawang-Jagalan-Suroloyo. Lama perjalanan 1 jam. Mengulang rute yang sama, saya akhirnya mencapai pos registrasi Puncak Suroloyo pada pukul 09.00 pagi.




Kamu tidak perlu terperangah karena dari ketinggian 2000 mdpl itulah kamu dapat melihat Merapi, Merbabu, Sumbing dan Sindoro dalam satu gugusan agung. Pagi itu keempatnya biru dengan awan putih memeluk lehernya. Perbukitan Menoreh ini adalah tempat tertinggi dan legenda kuno Jogjakarta yang takkan sia-sia kamu datangi. Untuk melihat lanskap Borobudur dan keempat gunung agung dengan baik, kamu harus naik tangga menuju pos pantau yang terdiri atas 200-an anak tangga. Tak perlu khawatir lelah karena begitu sampai di atas, semua akan terbayar oleh kesederhanaan benda-benda mati yang entah mengapa manusia tak pernah berhenti mengagumi.


*


Kereta saya akan tiba di jalur tiga. Berat meninggalkan Jogjakarta dengan hal-hal sederhana dan kadang bodoh itu tiba-tiba. Itulah sesaknya perjalanan. Ketika kamu harus memutus hubungan dengan hal-hal ajaib yang kamu temui sepanjang hari. Ketika kamu harus meninggalkan beberapa kenangan atau cerita atau apa pun di tempatmu pernah berada. Ketika kamu ….. menembangkan doa tentang cinta dan kerinduan dengan tulus di dinding-dinding stasiun.


Ini adalah bagian lain perjalanan saya. Jika kamu harus tahu, saya – sebagaimana kebiasaan saya – tak pernah ingin memaksakan apa-apa dalam perjalanan ini. Saya sumarah kepada langkah saya sendiri. Gusti Allah tahu itu.


Jumat, 13 Februari 2015

Idealisme




 

Setiap kita, dalam skala paling kecilpun, memiliki suatu gagasan ideal. Tentang apa pun. Agaknya, dengan memikirkan, terlebih menerapkan, gagasan ideal itu sedikit banyak telah membantu kita tetap terjaga di hari-hari gelap. Membuat kita merasa bahwa ada substansi yang perlu kita sampaikan dengan cara dan metode kita sendiri. Perjuangan dan pertahanan atas nilai yang kita percayai.

Idealisme pulalah yang menceritakan banyak sekali sejarah kepada kita. Tak terkecuali yang getir, seperti perang.

Agaknya sejarah kita adalah memang sejarah peperangan. Dunia kita tinggal dibentuk dari darah dan ide-ide tentang perdamaian dan kenyamanan yang ditempuh dengan mencaplok hak bangsa lain. Ketika melihat perang, maka kita melihat idealisme adalah faktor paling utama, selain artileri dan kavaleri, yang mutlak diperlukan untuk menghadapi medan tempur. Gagasan ideal tentang sebuah “perdamaian” abadi atau sungai-sungai surga bagi para pahlawan perang itu nantinya, tak pelak menjadikan meraka rela menyambuat kematian dengan hati bergelora. Otak dan hati mereka telah diset sedemikian rupa sehingga kesetiaan tertinggi hanyalah kepada cita-cita ideal yang telah diinisiasikan oleh raja, komandan, ketua mereka yang agung.

Cita-cita ideal milik pribadi itu telah berkembang menjadi cita-cita ideal komunal. Setiap kepala kini memiliki visi dan misi yang searah dan sejalan dengan pemimpin mereka. Perang adalah jalan untuk mengubur idealisme yang lemah dan menjejalkan gagasan milik para pemenang. Selebihnya, adalah hal bagaimana mengatur pembagian hasil rampasan, kursi-kursi kekuasaan, dan ekpansi-ekspansi politis. Tapi yang inti tetaplah pengakuan idealisme yang paling benar dan membenarkan.

Benar dan membenarkan inilah pangkal bagaimana kita lupa bahwa di antara siapa yang benar dan siapa salah ada tangan tak kentara yang menimbangnya. Benar, bisa menjadi salah jika untuk mencapainya kita menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dan a-humanis. Dan salah, belum tentu berlabel “salah”, jika ukurannya adalah penilaian parsial dan ketidaktahuan, sebagaimana Khidir melakukan hal-hal yang “salah” menurut ukuran Musa.

Sepanjang hidup, kita telah melihat idealisme yang benar menurut para penggagasnya itu bertaburan. Ada yang tumbang, ada yang masih bertahan. Aliran dan persepsi tak terhitung jumlahnya. Hanya saja, siapa yang benar dan siapa yang salah, bagaimana secara hakiki kita menilainya?

Jika seorang nabi seperti Musa saja masih diberikan kabut dalam hatinya untuk melihat kebenaran sejati yang ditunjukkan oleh Allah SWT melalui Khidir, maka bagaimana mungkin kita yang hidupnya di akhir zaman dan masih meraba-raba ini begitu jumawa menjadikan idealismenya gagasan paling benar dan membenarkan?

* * *