Setiap kita, dalam skala paling kecilpun, memiliki
suatu gagasan ideal. Tentang apa pun. Agaknya, dengan memikirkan, terlebih
menerapkan, gagasan ideal itu sedikit banyak telah membantu kita tetap terjaga
di hari-hari gelap. Membuat kita merasa bahwa ada substansi yang perlu kita
sampaikan dengan cara dan metode kita sendiri. Perjuangan dan pertahanan atas
nilai yang kita percayai.
Idealisme pulalah yang menceritakan banyak sekali
sejarah kepada kita. Tak terkecuali yang getir, seperti perang.
Agaknya sejarah kita adalah memang sejarah peperangan.
Dunia kita tinggal dibentuk dari darah dan ide-ide tentang perdamaian dan
kenyamanan yang ditempuh dengan mencaplok hak bangsa lain. Ketika melihat
perang, maka kita melihat idealisme adalah faktor paling utama, selain artileri
dan kavaleri, yang mutlak diperlukan untuk menghadapi medan tempur. Gagasan
ideal tentang sebuah “perdamaian” abadi atau sungai-sungai surga bagi para
pahlawan perang itu nantinya, tak pelak menjadikan meraka rela menyambuat
kematian dengan hati bergelora. Otak dan hati mereka telah diset sedemikian
rupa sehingga kesetiaan tertinggi hanyalah kepada cita-cita ideal yang telah
diinisiasikan oleh raja, komandan, ketua mereka yang agung.
Cita-cita ideal milik pribadi itu telah berkembang
menjadi cita-cita ideal komunal. Setiap kepala kini memiliki visi dan misi yang
searah dan sejalan dengan pemimpin mereka. Perang adalah jalan untuk mengubur
idealisme yang lemah dan menjejalkan gagasan milik para pemenang. Selebihnya,
adalah hal bagaimana mengatur pembagian hasil rampasan, kursi-kursi kekuasaan,
dan ekpansi-ekspansi politis. Tapi yang inti tetaplah pengakuan idealisme yang
paling benar dan membenarkan.
Benar dan membenarkan inilah pangkal bagaimana kita
lupa bahwa di antara siapa yang benar dan siapa salah ada tangan tak kentara
yang menimbangnya. Benar, bisa menjadi salah jika untuk mencapainya kita
menggunakan cara-cara yang tidak bermoral dan a-humanis. Dan salah, belum tentu
berlabel “salah”, jika ukurannya adalah penilaian parsial dan ketidaktahuan,
sebagaimana Khidir melakukan hal-hal yang “salah” menurut ukuran Musa.
Sepanjang hidup, kita telah melihat idealisme yang
benar menurut para penggagasnya itu bertaburan. Ada yang tumbang, ada yang masih
bertahan. Aliran dan persepsi tak terhitung jumlahnya. Hanya saja, siapa yang
benar dan siapa yang salah, bagaimana secara hakiki kita menilainya?
Jika seorang nabi seperti Musa saja masih diberikan
kabut dalam hatinya untuk melihat kebenaran sejati yang ditunjukkan oleh Allah
SWT melalui Khidir, maka bagaimana mungkin kita yang hidupnya di akhir zaman
dan masih meraba-raba ini begitu jumawa menjadikan idealismenya gagasan paling
benar dan membenarkan?
* * *