Rabu, 27 Agustus 2014

Antara: Cermin, Kusni Kasdut, dan Paradoks


Pada tahun 1980, group musik legendaris God Bless merampungkan album bertajuk “Cermin”. Album progressif rock ini adalah karya dengan penjualan yang tak begitu baik di pasar zaman itu. Namun, materi yang disuguhkan, hingga hari ini masih luar biasa untuk dinikmati. Baik musikalitas maupun tema. Sebutlah dua materi album itu: “Selamat Pagi, Indonesia” dan “Insan Sesat”.

*

Mengutip “Para Priyayi 2: Jalan Menikung” kepunyaan Umar Kayam, Claire bingung (sekaligus takjub) memahami persilangan budaya manusia Jawa, Amerika modern, dan Yahudi-Amerika dalam keluarganya. Dimana ternyata manusia bisa berlaku baik, tapi paradoks yang lain mereka arogan.

Mereka korup, tapi berupaya menjunjung tinggi martabat leluhur di mata masyarakat. Sampai akhirnya Kayam, melalui tokoh Harimurti, menerima khitah bahwa manusia tak ada yang benar-benar baik atau buruk. Tak ada yang benar-benar hitam atau putih. Semua punya celah untuk berbuat baik atau buruk.

Mungkin demikianlah yang dituangkan oleh God Bless dalam dua lagu di atas. “Selamat Pagi, Indonesia” yang ditulis oleh Theodore KS sebagai pengingat kita akan Kusni Kasdut.

Pada 31 Mei 1961, Kusni Kasdut pernah menjadi perbincangan terkait aksi pencurian permata antik Museum Nasional Jakarta. Berbekal pistol, Kusni melumpuhkan penjaga museum, mengenakan seragam polisi palsu, lalu keluar menggondol 11 permata antik Museum Nasional Jakarta. Bersama Bir Ali, dia pun terlibat perampokan dan pembunuhan atas Ali Badjenad. Orang kaya Arab yang diberondong dari atas jeep dan tewas di tempat. 

Akhir hayat Kusni adalah ketika dia divonis hukuman mati pada 16 Februari 1980. Pada detik-detik akhir hayat, Kusni bertemu Tuhan melalui pemuka agama Katolik. Ia dibaptis dengan nama Ignatius Kusni Kasdut. Pesan terakhirnya kepada keluarga yang sempat terekam ialah:

Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976. Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan. Tapi waktu terlalu pendek. Diamlah, Ninik kan sudah tahu ayah sudah pasrah. Ayah yakin, Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.”

*

Surya merekah pagi membuka tabir hari
Tapi dia takkan kuasa melihat lagi.
Seandainya kuasa membuka mulut mungkin akan berkata:
“Selamat Pagi Indonesia, Cintaku.”

Di bibirnya terlukis senyum yang yakin akan kebenaran
Matanya berbinar dalam keredupan
Mulutnya bergerak menyusun doa terakhir baginya

Yang meluncur menembus himpitan sepi
kemanakah kucari:
Kebenaran… Kedamaian…
Kasih sayang.. Kemana… ?

- (Selamat Pagi, Indonesia; 1980) -


Kusni Kasdut adalah bekas pejuang revolusi. Dia turut berjuang untuk Republik, namun karena tanpa Kesatuan, dia tak diakui. Walupun pencuri, sebagian orang menganggapnya Robin Hood. Hasil penjualan 11 permata antik museum itu ternyata ada yang disisihkan Kusni untuk membantu orang miskin.

Kusni memang bukan orang baik. Dia pembunuh. Tidak dibenarkan dalam ajaran Tuhan mana pun untuk menghunus nyawa manusia lain. Tapi dalam kacamata yang lain, yang buram, Kusni juga bukan orang yang tak perduli dengan kemiskinan. Walau jalan yang diambil bukan arah yang dihalalkan.

Paradoks baik dan buruk ini selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita, bukan?

Kembali pada Kayam, tak ada yang benar-benar baik atau buruk. Semua ada porsinya. Satu kebaikan sebesar atom akan dihitung. Demikian pula kejahatan sebiji jambu. Kita ini tak ubahnya timbangan berjalan. Yang memberatkan sisi-sisi timbangan adalah amal, ibadah, cinta kasih, rasa iri hati, atau sombong.

Bagaimana kita tahu timbangan kita lebih berat di neraca kebaikan atau keburukan? Demi Tuhan, hanya Allah yang tahu itu semua. Kita bisa pandai akuntansi, namun akuntansi milik Allah tentu lebih jernih. Tak kan ada yang lepas dari pengelihatan-Nya. Takkan ada pilih kasih. Lagipula, tuhan bukan seorang akuntan yang pencemburu, kan? Hehe ..

*

Melangkah ku berjalan dalam naungan malam
Mencari suci diri ditengah kehancuran
Menimba damai abadi yang senantiasa kudambakan

Merangkak perlahan di tengah relung kota
Kutatap satu-satu namun semua semu
Tiada harapan

Bujuk dan rayuan sesama membuat aku menjadi lupa akan segala-galanya
Sang setan selalu menghadang di semua sudut cahaya
Benamkan ke jurang dosa

- (Insan Sesat; 1980) -


Yang kemudian kita lakukan hanyalah berusaha. Yah, berusaha menjadi manusia yang mencari jalan kebenaran dan kebaikan. Surga dan neraka bukan hal absurd. Keduanya nyata di sekitar kita. Seperti dinding. Tiap detik Malaikat dan Setan berlomba-lomba mengajak kita menuju atau menjauhi cahaya.

Sementara kita adalah paradoks yang berjalan dalam terowongan panjang. Dalam perjalanan itu, terowongan bisa saja menikung. Berlubang. Menyempit. Kita tergoda untuk berhenti atau mundur. Insan-insan sesat ialah mereka yang tak menemukan jalan. Atau sudah tahu jalannya, tapi enggan untuk menuju cahaya itu berpendar.


Pilihanmu?


Senin, 25 Agustus 2014

Pada Makhluk Tuhan yang Katanya (tak) Berakal


Manusia. Dia punya akal pikiran. Benarkah? Secara anatomis iya, tapi secara metafora tak semua dari kita akan mengiyakan hal itu.

Umpatan seperti:
"Ndak punya otak!"
"Otakmu dikemanakan? Gitu aja gak bisa!"

dan semacamnya menunjukkan bahwa akal pikiran tentu memiliki parameter sehingga bisa mendapat pemakluman.

Lalu, seperti apa parameternya?

Kapasitas akal pikiran (otak) antara satu orang dengan orang yang lain tentu berbeda. Si A bisa gamblang menerjemahkan Hukum Newton sampai ke akar-akarnya, tapi belum tentu ia mengerti detil Hukum Gossen. Si B bisa saja pandai mengatur taktik di medan perang, tapi bisa saja ia kalah di medan video game.

Jadi, paramerer untuk bisa dikatakan "punya otak" itu macam-macam. Kita tak lebih pintar dari orang lain. Tapi kita bisa lebih pandir atau dungu dari orang lain. Kan, kebodohan tak terbatas, katanya?

Hari ini di Tepi Gaza, kita punya lebih dari selusin manusia berotak. Di Iraq dan Suriah kita punya ahli agama dan sarjana. Di Amerika, di Nigeria, di Indonesia, kita punya potensi otak yang lebih dari cukup untuk tidak merasa lebih unggul.

Sayang, kita masih sama-sama bebal. Keanggunan akal pikiran kita hanya disibukkan dengan siapa memakan siapa. Siapa menghasut siapa. Siapa mencerca siapa...

Kita boleh tidak terima dikatakan tak berakal. Tapi jika kamu memakan sesamamu sendiri, apakah kamu masih sanggup memaklumi penalaran akalmu itu? Paling yang akan kamu lakukan adalah membela diri atas isme dan "kebenaran" versimu sendiri.

Jika kebenaran itu ada, bukankah ia dicari dengan ilmu, penelitian, kehadiran sejarah, dan bukan dengan pertumpahan darah? Dimana akal pikiranmu ketika kamu ingin menjadi benar, sementara kamu pasang dinding untuk sesuatu yang berbeda dan tak sesejuk apa yang ingin kamu dengar?

Potongan otak Einstein masih awet dan digunakan sebagai bahan penelitian. Tapi dunia bukan terdiri atas satu Einstein. Masih banyak otak dengan akal pikiran yang bisa dijadikan tinjauan penelitian. Seperti apakah itu?

Jika pada 1945 Einstein membantu merumuskan Bom Atom yang kemudian disesalinya sepanjang hidup, maka percayalah .... kamu tak perlu berbuat hal serupa untuk dikatakan punya akal pikiran yang layak untuk dikenang.