Rabu, 29 Januari 2014

Ephemera, and the World Spins Around

Ephemera. Sebuah kata yang secara harfiah bisa diartikan dengan "sekejap" atau "sebentar saja." Fenomena ephemera ini akan banyak sekali kita jumpai. Wujud dan sifatnya bisa beragam. Namun, sebagaimana khitahnya, ia tak pernah mengkristal menjadi objek yang bertahan selamanya.

Saya berandai-andai, mengapa Tuhan menciptakan si ephemera ini diantara ada dan tiada? Berjalan bagai hantu yang tiba-tiba hadir diantara busur waktu. Atau ephemera ini sekedar permainan kata saja? Atau ada makna yang jauh lebih dalam untuk kita mengerti?

Alam semesta diciptakan untuk ketidakabadiannya. Bola besar yang berbaju waktu itu adalah rangkaian berbagai ephemera. Dalam hal ini, kita adalah sang sutradara itu. 

Suka duka kita tidaklah abadi, kata Rendra. Rangkaian itu yang membentuk tatanan bahwa kita, sebagai makhluk, tidak lebih sekedar pemberi warna dalam hidup makhluk lain.

Sedih kita hanyalah fenomena sesaat. Suka dan berkuasanya kita adalah gejala ketidakabadian. Lantas jika kita punya jurus sedemikian dahsyat apakah kita akan menangkap lalu memenjarakan ephemera itu? Hingga kita bisa abadi dalam kebahagiaan atau sebaliknya menyebar ketidakbahagiaan bagi makhluk lain?

Apakah andai jika kita punya cukup upaya untuk bisa mencengkeram licinnya ephemera, maka kita bisa beridul fitri, berpesta, bermalam di langit teduh Bahama sepanjang masa? Atau bagi titisan Kurawa, kita bisa konsisten menebar wabah dan teror demi langgengnya otoritas kita?

Ada pepatah bijak mengatakan kalau kita bisa membeli jam, tapi tidak dengan waktu. Kita bisa mengupayakan kebahagiaan atau kekuasaan atau membiarkan luka hati, namun takkan sanggup memenjarakan ephemera. Pada akhirnya, hal-hal itu takkan lebih dari sekedar halusinasi sepintas saja. Seberapapun kuat kita mencoba mempertahankannya.

Tuhan menciptakan hati untuk mengontrol perasaan dan Dia pun menganugerahi otak kita dengan katalis bernama lupa. Keduanya, pada ephemera yang telah ditentukan, akan berkompromi. Berdamai dengan keadaan. Ikhlas dan berserah.

Saya sekedar ingat, bahwa dalam salah satu putaran hidup, saya pernah memasrahkan hati bahkan keberuntungan saya kepada orang lain. Betapa dalam satu masa ilusi, saya merindukan menjadi butiran atom di bawah ribuan bintang Ranu Kumbolo. Dan kini ephmera itu telah memberi banyak perimbangan dalam diri saya.

Bahwa kala memakan segalanya, itu benar. Tapi disamping itu, dia juga menyembuhkan segalanya.





Senin, 06 Januari 2014

Al Munafiqun: Sebuah Cermin

Dalam agama kepercayaan saya, yang dimaksud dengan orang munafiq adalah mereka yang:
- bila berkata, ia berbohong;
- bila berjanji, ia ingkari; dan
- bila dipercaya, ia berkhianat

Agama yang saya anut menganjurkan kami untuk hidup dan menjalan hidup sebagai makhluk yang beriman, bertaqwa dan menjauhi sifat-sifat kaum munafiq.

Lalu bagaimana dengan hidup saya?

Saya sendiri tidak bisa menjamin bahwa saya adalah orang yang bersih dari sifat munafiq. Saya kadang masih berbohong. Saya pun masih tak luput suka melupakan janji-janji yang saya pernah ucapkan. Dan (semoga Allah mengampuni) saya mungkin pernah menciderai apa yang orang telah percayakan.

Pernah saya membaca cerita. Kisah seorang ulama, kyai ahli ibadah yang ceramahnya diburu dimana-mana. Suatu hari, ulama ini dikabari bahwa dia akan mati. Muridnyalah yang mengabarkan undangan Isroil itu. Sayangnya, si murid khilaf, tidak mengenal dan bahkan tak mengetahui tentang siapa yang akan datang membunuh ulama itu.

Tentu saja, dengan sangat manusiawi, ulama ini was-was. Takut akan kedatangan Malaikat Maut. Dia mulai mengurung diri. Mengurangi ceramahnya. Muridnya yang lugu itu, ia minta menggali kabar tentang siapa gerangan yang akan membunuh dirinya.

Hari ke hari, sikap takut matinya semakin tinggi. Muridnya yang mulai jenuh dengan kelemahan hati gurunya itu mengingatkan: bahwasanya dengan ilmu gurunya itu, dimana ia telah banyak menyinari umat tentang cahaya Allah, seharusnya membuatnya tidak perlu khawatir dengan kabar kematiannya.

Bukankan jika Allah sendiri yang berkenan membunuhnya, tidak ada kuasa lain yang mampu mencegahnya? Bukankah dengan cara gurunya mengingkari dan bersembunyi itu membuatnya memalingkan diri dari ajaran-ajarannya sendiri?

Rupanya nasihat anak bau kencur yang baru belajar agama itu membuat merah telinga gurunya. Ia diusir dari pondok. Sebelum pergi, dia meninggalkan catatan. Catatan yang dia tegaskan dalam Al Quran surah 63 ayat 11:

"Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

*

Dari cerita di atas, bahwasanya seorang alim ulama dengan ilmu yang mumpunipun, luput dengan ajarannya sendiri. Ia menutup diri dari apa yang sudah ia amalkan. Tuhan menguji dengan hal-hal buruk atau hal-hal baik untuk sesuatu yang harus kita mengerti.

Saya pribadi tentu tak luput dari yang demikian itu. Lidah saya bukan lidah malaikat. Hati saya bukan mata air yang muncul dari murninya bumi. Saya ini asli 100% dhaif.

Seseorang pernah bilang: "Sekejam-kejam orang, ialah mereka yang kejam pada dirinya sendiri. Bersikap munafiq terhadap diri sendiri. Memberi banyak nasihat baik kepada orang lain, tapi pribadinya menolak menjalankan hal itu."

Saya pikir ucapan itu adalah teguran bagi banyak orang. Terlebih bagi diri saya sendiri. Saya berdoa semoga Allah memberi saya hati yang kuat. Cukup kuat untuk tidak menggurui orang lain. Cukup tangguh dan sabar untuk menerima buah dari doa-doa yang saya ucapkan.

InshaAllah ...