Minggu, 29 April 2012

Istriku dan Kapal Nabi Nuh



Di tempat tinggal kami yang menurut beberapa orang di televisi adalah hunian paling menggiurkan dan futuristik yang pernah ditawarkan, bagi istriku hanyalah bilik kecil yang cukup untuk menampung aku, dia, dan Neona - anak perempuan kami.

Di bilik kecil yang nilai mencicilnya hampir sepuluh kali gaji karyawan paling rendah di tempatku bekerja itu, entah karena jenuh atau keseringannya merajuk di usia kehamilan kedua yang masuk bulan ke tujuh, istriku sering tiba tiba meninggalkan hunian kami menuju lantai dasar.

Aku yang awal awalnya sering mengeluhkan kebiasaan barunya yang suka naik turun lift tujuh lantai itu belakangan mulai tak ambil pusing. Selain karena alasan ”ngidamnya” yang sering mengalahkan argumenku, laporan kerja dan cacar air Neona lebih sering menyita perhatianku.

Aku izin ke bawah ya, Sayang?” rajuk istriku bersemangat pada suatu malam. ”Lihat nih, si Tin Tin udah mulai pengen jalan jalan,” katanya lagi sambil mengelus perutnya.

Ke mall lagi? Mau cari apa, kemarin juga cuma beli permen susu. Kamu jangan banyak jalan jauh jauh lah...”

Ah, nggak jauh kok. Cuma tujuh lantai. Itupun naik lift. Hehehe... boleh ya, masak nggak kasihan kamu sama Tin Tin kita ini.”

Sekali lagi ia mengelus elus perutnya sambil menggumam manja pada calon bayinya.

Tin Tin, Tin Tin, gimana kalau itu Snow White? Kan kita nggak tahu,” kataku sambil mengintip Neona yang sudah pulas.

Ada apa sih di sana? Kok jadi sering ke mall, padahal salah satu alasanku menikahimu karena aku tahu kamu paling nggak suka ke mall,” candaku sambil meraih jaket di gantungan.

Istriku hanya tersenyum. Seperti biasa, caranya yang misterius dalam menjawab pertanyaanku itulah yang benar benar membuatku jatuh cinta kepadanya.

Di lantai pertama kami turun menuju lantai dasar, istriku masih senyum senyum. Di lantai kedua, dia mengelus Tin Tin pelan pelan. Di lantai keempat, dia seperti anak gadis remaja yang baru pertama kali diapeli pacarnya. Di lantai dasar, di pintu masuk mall, aku menjumpai istriku seperti saat kami pertama kali bertukar cincin.

Ruangan mall itu hampir seukuran lapangan bola. Istriku tidak banyak berbicara. Pun dia mencegahku mengambil troli atau keranjang belanja. Kami hanya berkeliling di sela sela manusia yang hiruk pikuk dengan pikirannya masing masing. Sesekali dia menatapku manja seakan kami sedang berjalan di jingganya Central Park.

”Aku nggak ngerti apa yang membuatmu sering kemari?” tanyaku.

Kamu ingat pertama kita berkencan? Bukankah suasananya hampir sama seperti ini?”

Aku nggak pernah mengajakmu kencan di mall. Kamu paling males sama mall, aku tahu benar itu.”

Memang, kan sudah kubilang suasananya. Coba kamu rasakan, kita seperti ada di taman yang luas bukan? Atau seperti sore hari di sepanjang Legian.”

Ini karena aku seorang suami yang terlalu bodoh memahami kemauan istrinya, atau aku yang mulai curiga istriku berhalusinasi.

Kamu harus mengurangi membaca fiksi, Sayang,” kataku. ”Aku curiga kamu akan benar benar menamai anak kita Tin Tin kalau ia nanti lahir laki laki.”

Tin Tin bukan nama yang buruk kok,” katanya. ”Eh, bukannnya ini KLA? Kamu dengar? Betul KLA, kan?”

Aku mengangguk.

Jogjakarta ....,” gumamnya.

”Jadi kita nggak beli apa apa nih? Cuma mau cuci mata?”

Ah ... dasar kamu. Romantislah sedikit, Malioboro pindah ke sini nih. Tak ada ruginya juga sekedar cuci mata. Coba lihat, ada Kate Winslet sedang milih popok di situ.”

”Ha?”

Istriku yang mulai sedikit lelah mengajakku beristirahat. Tidak di cafe atau mini resto, tapi di kursi tunggu panjang di salah satu sudut ruangan. Di hadapan kami, berpuluh mungkin beratus orang berlalu lalang terjerat dengan individualismenya.

Di Jogja Sayang, bukankah dulu kamu pernah menang atletik? Kuingat saat itu aku baru pindahan dari Malang. Kamu agak kurusan waktu itu,” katanya lantas tertawa.

Ya, sebelum kamu rajin membawakan gudeg bikinanmu sendiri yang mulai menimbun di perutku ini.”

Aku tertawa. Dia tertawa. Wajah wajah di hadapan kami terus silih berganti tanpa peduli apa yang kami tertawakan. Dari dinding dinding mall, kami dengar lantunan Kuta Bali Andre Hehanusa memantul ke sana ke mari.

Juga di Bali, pukul 17:17, aku ingat benar hari itu. Langit sewarna emas, di depan kita deburan ombak Kuta berangsur melemah. Neona bilang ‘Mama’ untuk pertama kali. Kamu dan aku masih setia di salah satu hamparan pasirnya. Melumuri jemari dengan pasir basah, mencium keningku saat hari tiba tiba menggelap ......”

Istriku menunduk. Sekilas kulihat sorot matanya meneduh.

Aku masih belum benar benar mengerti kemauan hati istriku. Kami tak membeli apa apa, tak juga memesan apa apa. Hanya berjalan berkeliling, mendengar lagu yang keluar dari pengeras suara, lalu duduk melihat orang lain berjalan.

Apa orang orang di sini juga punya pikiran seperti itu, Sayang?” tanyanya.

“Maksudmu?”

......Apa mereka juga kangen saat saat seperti burung yang lepas? Mereka masuk ke sini, mendengar lagu random, membayangkan hal terindah bersama lagu itu, mengamati orang di sekitar sambil mengasihani diri sendiri.....”

.......mungkin mereka bisa lakukan di kamar. Tapi wajah wajah ini.....,” lanjutnya lagi. “...wajah wajah ini bahkan tak mungkin ada dalam imajinasi paling mutakhir.”

Aku terdiam. Istriku meneruskan,

....Coba tebak, berapa orang yang merasa sedih melihat nenek tua berbelanja? Mungkin ia teringat ibunya yang tiada. Berapa persen dari ibu ibu itu yang melirik sinis pada ibu ibu lain yang perhiasannya lebih mahal dari yang mereka pakai? Mungkin di sini ada semacam perang dingin yang tak pernah kita ketahui..... ”

Jangan sok Sherlock ah, ...kamu terlalu mendramatisir,” kataku.

”Tapi itu mungkin, kan?”

Aku hening sejenak.

Setahuku, orang orang di sini sudah sangat nyaman tanpa harus memikirkan itu semua, Sayang. Ibu ibu di sana tak mungkin bergosip ria sambil memamerkan apa yang mereka kenakan. Mereka sudah diakui. Tak perlu saling memperhatikan. Lalu orang di situ itu nggak akan ambil pusing mengasihani nenek tua di seberang sana, karena ia paham benar di luar negeri sana, ibunya mungkin sedang piknik ke Shanghai. Kita ini tidak sedang di kapal Nabi Nuh.”

Lidahku tercekat saat menyelesaikan kalimat itu. Aku sendiri heran kenapa berkata demikian.

Istriku tersenyum kecil.

Kapal Nabi Nuh ... hehehe. Yah ... mungkin aku yang terlalu drama,” sahutnya lirih.

Pelan pelan, kami rasakan mall itu mulai hening.

Tapi bagaimana jika seandainya kita memang tengah berada di kapal Nabi Nuh? Kita hanya tak tahu. Suka atau tidak, keberuntungan terbaik adalah saat kita sadar bahwa kita tak sendirian. Bahkan bila kita berlari menjauh. Kita hanya takut mengakui - ....,” kata istriku.

Ia mengelus penuh arti pada Tin Tin yang menendangnya pelan. Entah karena terbawa suasana, tiba tiba aku merasakan rambutku basah oleh percikan air dan di belakang sana jarak antara aku dan daratan semakin jauh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar