Di
tempat tinggal kami yang menurut beberapa orang di televisi adalah
hunian paling menggiurkan dan futuristik yang pernah ditawarkan, bagi
istriku hanyalah bilik kecil yang cukup untuk menampung aku, dia, dan
Neona - anak perempuan kami.
Di
bilik kecil yang nilai mencicilnya hampir sepuluh kali gaji karyawan
paling rendah di tempatku bekerja itu, entah karena jenuh atau
keseringannya merajuk di usia kehamilan kedua yang masuk bulan ke
tujuh, istriku sering tiba tiba meninggalkan hunian kami menuju
lantai dasar.
Aku
yang awal awalnya sering mengeluhkan kebiasaan barunya yang suka naik
turun lift tujuh lantai itu belakangan mulai tak ambil pusing. Selain
karena alasan ”ngidamnya” yang sering mengalahkan argumenku,
laporan kerja dan cacar air Neona lebih sering menyita perhatianku.
”Aku
izin ke bawah ya, Sayang?” rajuk istriku bersemangat pada suatu
malam. ”Lihat nih, si Tin Tin udah mulai pengen jalan jalan,”
katanya lagi sambil mengelus perutnya.
”Ke
mall lagi? Mau cari apa, kemarin juga cuma beli
permen susu. Kamu jangan banyak jalan jauh jauh lah...”
”Ah,
nggak jauh kok. Cuma tujuh lantai. Itupun
naik lift. Hehehe... boleh ya, masak nggak kasihan kamu sama Tin Tin
kita ini.”
Sekali
lagi ia mengelus elus perutnya sambil menggumam manja pada calon
bayinya.
”Tin
Tin, Tin Tin, gimana kalau itu Snow White? Kan kita nggak tahu,”
kataku sambil mengintip Neona yang sudah pulas.
”Ada
apa sih di sana? Kok jadi sering ke mall,
padahal salah satu alasanku menikahimu karena aku tahu kamu paling
nggak suka ke mall,” candaku sambil meraih jaket di gantungan.
Istriku
hanya tersenyum. Seperti biasa, caranya yang misterius dalam menjawab
pertanyaanku itulah yang benar benar membuatku jatuh cinta kepadanya.
Di
lantai pertama kami turun menuju lantai
dasar, istriku masih senyum senyum. Di lantai kedua, dia mengelus Tin
Tin pelan pelan. Di lantai keempat, dia seperti anak gadis remaja
yang baru pertama kali diapeli pacarnya. Di lantai dasar, di pintu
masuk mall, aku menjumpai istriku seperti saat kami pertama kali
bertukar cincin.
Ruangan
mall itu hampir seukuran lapangan bola.
Istriku tidak banyak berbicara. Pun dia mencegahku mengambil troli
atau keranjang belanja. Kami hanya berkeliling di sela sela manusia
yang hiruk pikuk dengan pikirannya masing masing. Sesekali dia
menatapku manja seakan kami sedang berjalan di jingganya Central
Park.
”Aku nggak
ngerti apa yang membuatmu sering kemari?” tanyaku.
”Kamu
ingat pertama kita berkencan? Bukankah
suasananya hampir sama seperti ini?”
”Aku
nggak pernah mengajakmu kencan di mall. Kamu paling males sama mall,
aku tahu benar itu.”
”Memang,
kan sudah kubilang suasananya. Coba kamu
rasakan, kita seperti ada di taman yang luas bukan? Atau seperti sore
hari di sepanjang Legian.”
Ini
karena aku seorang suami yang terlalu bodoh memahami kemauan
istrinya, atau aku yang mulai curiga istriku berhalusinasi.
”Kamu
harus mengurangi membaca fiksi, Sayang,” kataku. ”Aku curiga kamu
akan benar benar menamai anak kita Tin Tin kalau ia nanti lahir laki
laki.”
”Tin
Tin bukan nama yang buruk kok,” katanya. ”Eh, bukannnya ini KLA?
Kamu dengar? Betul KLA, kan?”
Aku
mengangguk.
”Jogjakarta
....,” gumamnya.
”Jadi kita
nggak beli apa apa nih? Cuma mau cuci mata?”
”Ah
... dasar kamu. Romantislah sedikit, Malioboro pindah ke sini nih.
Tak ada ruginya juga sekedar cuci mata. Coba lihat, ada Kate Winslet
sedang milih popok di situ.”
”Ha?”
Istriku
yang mulai sedikit lelah mengajakku
beristirahat. Tidak di cafe atau mini resto, tapi di kursi tunggu
panjang di salah
satu sudut ruangan. Di hadapan kami, berpuluh mungkin beratus orang
berlalu lalang terjerat dengan individualismenya.
”Di
Jogja Sayang, bukankah dulu kamu pernah menang atletik? Kuingat
saat itu aku baru pindahan dari Malang. Kamu
agak kurusan waktu itu,” katanya lantas tertawa.
”Ya,
sebelum kamu rajin membawakan gudeg bikinanmu sendiri yang mulai
menimbun di perutku ini.”
Aku
tertawa. Dia tertawa. Wajah wajah di
hadapan kami terus silih berganti tanpa peduli apa yang kami
tertawakan. Dari dinding dinding mall, kami dengar lantunan Kuta
Bali Andre Hehanusa memantul ke sana ke
mari.
“Juga
di Bali, pukul 17:17, aku ingat benar hari itu. Langit sewarna emas,
di depan kita deburan ombak Kuta berangsur melemah. Neona bilang
‘Mama’ untuk pertama kali. Kamu dan aku masih setia di salah satu
hamparan pasirnya. Melumuri jemari dengan pasir basah, mencium
keningku saat hari tiba tiba menggelap ......”
Istriku
menunduk. Sekilas kulihat sorot matanya
meneduh.
Aku
masih belum benar benar mengerti kemauan hati istriku. Kami
tak membeli apa apa, tak juga memesan apa apa. Hanya berjalan
berkeliling, mendengar lagu yang keluar dari pengeras suara, lalu
duduk melihat orang lain berjalan.
“Apa
orang orang di sini juga punya pikiran seperti itu,
Sayang?” tanyanya.
“Maksudmu?”
“......Apa
mereka juga kangen saat saat seperti burung yang lepas? Mereka masuk
ke sini, mendengar lagu random, membayangkan hal terindah bersama
lagu itu, mengamati orang di sekitar sambil mengasihani diri
sendiri.....”
“.......mungkin
mereka bisa lakukan di kamar. Tapi wajah
wajah ini.....,” lanjutnya lagi. “...wajah
wajah ini bahkan tak mungkin ada dalam imajinasi paling mutakhir.”
Aku
terdiam. Istriku meneruskan,
”....Coba
tebak, berapa orang yang merasa sedih melihat nenek tua berbelanja?
Mungkin ia teringat ibunya yang tiada. Berapa persen dari ibu ibu itu
yang melirik sinis pada ibu ibu lain yang perhiasannya lebih mahal
dari yang mereka pakai? Mungkin di sini ada semacam perang dingin
yang tak pernah kita ketahui..... ”
”Jangan
sok Sherlock ah, ...kamu terlalu mendramatisir,” kataku.
”Tapi itu
mungkin, kan?”
Aku hening
sejenak.
”Setahuku,
orang orang di sini sudah sangat nyaman tanpa harus
memikirkan itu semua, Sayang. Ibu ibu di sana tak mungkin bergosip
ria sambil memamerkan apa yang mereka kenakan. Mereka sudah diakui.
Tak perlu saling memperhatikan. Lalu orang di situ itu nggak akan
ambil pusing mengasihani nenek tua di seberang sana, karena ia paham
benar di luar negeri sana, ibunya mungkin sedang piknik ke Shanghai.
Kita ini tidak sedang di kapal Nabi Nuh.”
Lidahku
tercekat saat menyelesaikan kalimat itu. Aku sendiri heran kenapa
berkata demikian.
Istriku
tersenyum kecil.
”Kapal
Nabi Nuh ... hehehe. Yah ... mungkin aku yang terlalu drama,”
sahutnya lirih.
Pelan pelan,
kami rasakan mall itu mulai hening.
”Tapi
bagaimana jika seandainya kita memang tengah berada di kapal Nabi
Nuh? Kita hanya tak tahu. Suka atau tidak,
keberuntungan terbaik adalah saat kita sadar bahwa kita tak
sendirian. Bahkan bila kita berlari menjauh. Kita hanya takut
mengakui - ....,” kata istriku.
Ia
mengelus penuh arti pada Tin Tin yang menendangnya pelan. Entah
karena terbawa suasana, tiba tiba aku merasakan rambutku basah oleh
percikan air dan di belakang sana jarak antara aku dan daratan
semakin jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar