Senin, 22 Agustus 2011

The Sweetest Lie



Freddie said:  "Each night I cry, I still believe the lie..."





Ya, aku mengerti bagaimana rasanya. Satu-satunya kebenaran yang kita punya adalah ketidakjujuran yang enggan kita akui keberadaannya. Terlalu pengecut untuk kita hadapi dengan dada membusung tegap. 

Dan pada akhirnya, situasi berlarut menguasai akal sehat kita. Menjebaknya ke dalam pusaran kebohongan demi kebohongan. Ilusi demi ilusi yang melukai diri kita sendiri, tapi (anehnya) dalam suatu moment kita begitu menikmatinya, lalu tersedan menangisinya dalam waktu yang hampir bersamaan. 


Miris, seseorang bilang. 


And when the dawn has come, kita seka air mata itu. We play the masquerade so well, mengenakan topeng setegar dan semanis mungkin. Seolah dunia berjalan damai walau jauh dalam diri kita perang yang lebih menggemuruh dari Pearl Harbour tengah berkecamuk. 

Kita menyapa: "Hello, senang berjumpa denganmu," walau lidah kita sesungguhnya ingin berkata sendu dan lirih: "This is our last goodbye....."


Kita berkilah hanya menatap sekilas senyumannya, walau sebenarnya pengelihatan dan memori otak kita berupaya keras untuk menyimpan detik demi detik peristiwa itu sebagai kenang-kenangan manis ketika kita tengah sendiri. 


Sembari terus berharap: this aint an end, (though) we stand right at the end of time.

Ah, the sweetest lie...., the sweetest lie. We've trapped into it.
The sweetes lie....., the sweetest lie, which have made us so strong to face the world; but (also) killed us pieces by pieces at the same time.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar