Dan daun daun pun berguguran. Musim kemarau di Kota ini memang menggelisahkan. Bukan hanya karena suhu udara yang melenguh atau warna taman kota yang tiba tiba coklat kusam, kemarau tahun ini pun dengan sentimentil meranggaskan hal lain yang hilang tertimbun berita skandal.
Siang itu, di salah satu rumah dari sekian deret rumah di Jl. Bengawan. Suhu udara menguap di angka 390 C. Kipas angin full speed itu serasa belum juga cukup menangkis gerah, keringat, dan keributan kecil di ruang tamu.
Tasya dan beberapa kardus besarnya berjibaku. Satu demi satu lipatan baju masuk menindih satu demi satu lipatan sebelumnya. Lalu celana jins, beberapa potong T-shirt, dan sandangan wanita lain sudah jadi satu kardus tersendiri. Satu kardus lainnya dijejali buku-buku hidupnya: Umar Kayam bertumpuk dengan Walt Disney; Karl May berdempetan dengan Agatha Christie; Aoyama Gosho berimpit dengan Karen Armstrong.
“Yang ini dibawa juga?” Wilman meringis mengibas-ngibaskan Modelling di tangannya. “Astaga, kamu baca beginian? Ternyataaa, perempuan memang malu-malu. Sok jaga image. Setomboy tomboynya, pasti pengen tahu – mungkin nyoba – maskara, eyeliner, lipstick, ini itu ... Hahaha.”
Tasya melemparkan bantal sofa ke Wilman yang mengekeh.
“Cerewet, mending kamu daripada sibuuuk sama jus sama semangka, sini gih bantuin. Lakban, gunting. Itu ah, kok kelupaan belum dimasukin. Bongkar lagi sedikit nih. Hmmfffff.... Sini siniin, lakban ... iya yang coklat, eh nggak yang bening saja deh. Gunting. Nah untung muat fiuuuh .... gerahnya ..... Kamu? Lho? Hmpppfff jangan dihabisin semangkanya.”
Pukul satu siang, keributan itu menurun hening. Lima kardus itu sudah tersusun rapi di pojok. Dua jam lagi jasa pengangkutan akan datang membawanya ke Luar Kota. Udara yang ganas membuat hari berjalan seolah lebih lambat.
“Jadi, tahun pertama nanti baru Oktober ya?”
“Iya, tahun pertama Hubungan Internasional-ku. Humm... sungguh aku tak sabar, Wil. Kan kamu tahu sendiri. Setelah lulus nanti, aku ingin sekali pergi jauh ke London, Paris, Amsterdam. Tapi bukan sebagai pelancong bodoh. Be a smart, have a lot of friends outside the border. Maybe work outhere. Ya, semacam itulah. Bukan datang ke Eiffel, satu dua jam. Potret sana sini, lalu narsis-narsisan. Ah.. gimme a break.”
Wilman menyelonjorkan kakinya di meja. Tasya mengikuti. Angin menerobos sela-sela jendela.
“Dan, tentu nanti kalau musim gugur pasti kamu akan ke New York. Melihat mapple yang merah dan jingga itu jatuh satu demi satu di Central Park. Ah, romantis sekali kelihatannya.”
“Dan aku akan punya seorang kekasih dari Cheszka!” tambah Tasya cepat.
“He, dari ... mana? Ches-zka .... “
“Ya, dari Cheszka! Seperti Cech atau Pavlyuchenko itu!” jawab Tasya berjingkat-jingkat. Kaki lonjornya ia naik turunkan dengan gemas.
Wilman tertawa terkekeh-ngekeh. Sudah seperti seseorang yang melihat akrobat di depannya. Ia tenggak jus yang tinggal separuh itu, menuang hingga setengah gelas lagi, menenggaknya cepat, lalu menghabiskan sisa tawanya. Tasya menatap heran.
“Apanya yang lucu coba? Apa, Wil? Heh! Jangan ketawa terus,” katanya sambil menarik narik lengan kaus laki-laki dua puluh lima tahun itu. “Memang ada yang aneh punya kekasih Cheszka? Yaaa ..walaupun hidungnya kemerahan. Seperti hidung monyet kecil. Hiiihi... Heh! Stop tertawa, apanya sih yang lucu?”
“Uhuk, uhuk, uhuk”, Wilman tersedak. “Coba lihat, benar-benar calon mahasiswi hubungan internasional yang sebenar-benarnya. Kuliah di Indonesia, kerja di Amsterdam, punya rumah di Paris, berteman dengan orang Albania, dan sekarang .... Masya Allah, bercita-cita menikah dengan orang Cheszka! Hahaha ... sungguh, aku tak bisa membayangkan siapa nama anakmu nanti. Ah, mungkin begini: Karel Andrezhevisc van Rommedhal, hahaha ... “
Tasya menekuk bibirnya.
“Siapa yang bilang aku akan menikah, dodol?! Aku bilang: punya ke-ka-sih. Kekasih, dodol. Bukan su-a-mi. Huh... “
Angin musim kemarau membawa lenguhan gelisah dan hawa gerah. Tasya mengumpati kipas angin tuanya. Itu pemberian ayahnya, dua tahun lalu sebelum ia berlabuh dengan keputusan ingin hidup menjauh dari orang tuanya. Mengontrak di Jl. Bengawan dan bohemian sebagai freelancer. Hidup sebagai penulis lepas, pembantu wartawan koran lokal, sampai pelukis mural. Dinding stadion Kota ini dulu pernah ia ubah jadi lembaran komik dengan goresan lincah jarinya.
Wilman, yang hidup dari panggung ke panggung mengusung idealisme Indie itu menimpali:
“Lho lho lho bukannya tujuan punya kekasih juga akan jadi suami? Yaaaa kecuali kalau orientasi kehidupanmu sudah konyol ke-Barat-baratan. Menikah hari ini, empat jam kemudian boom!! Finished.”
“Lho bentar, bentar. Musikmu itu Indie Barat! Cih, sok menguliahi orientasi kekonyolan Barat. Ini globalisasi, Wil. Timur dan Barat sudah tidak ada arti. Justin Bieber bisa saja lahir di Sragen, dan Didi Kempot akan mengguncang London Philharmonic!”
“Hahahaha ... “
“Hahaha .... “
Keduanya yang duduk di satu sofa merah itu saling berpandangan. Merasa lucu dengan mimik satu sama lain. Ah, betapa musim panas itu membuat otak kehilangan akal sehat.
Daun kering di musim gugur melayang, menyelinap kain selambu, dan ajaib jatuh di pangkuan Wilman. Laki-laki itu melepas kaca matanya, memperhatikan daun dan gurat tulang daunnya yang menguning. Seperti jiwa yang menjemput ajal.
“Tentu kamu akan menjadi sarjana yang hebat, Tas.”
Daun kering di tangannya ia main-mainkan.
“Aku tahu itu. Kamu akan lulus cumlaude, lalu pergi ke Washington. Bekerja di VoA, atau yang lain. Bahkan mungkin jadi diplomat. Dan ... kamu akan ..... punya seorang Cheszka.... anakmu pasti cantik. Kombinasi Timur dan Barat. Seperti Kristin Kreux,” tambahnya pelan.
“Kenapa kamu ini?” tanya Tasya heran. “Melamun jauh sekali. Diplomat, humm... kok kesannya 11 / 12 sama mafia eksekutif hehehehe .... Dan, he kan sudah aku bilang: Cuma ke-ka-sih, bukan su-a-mi. Humm... kamu ini. Tapi soal cumlaude, VoA hmm... bolehlah lah aku amini ya?”
“No, no, no ...wait, listen to me: Kamu akan lulus cumlaude, lalu pergi ke Washington atau New York, punya karir, bersuami seorang Cheszka dan anakmu cantik kombinasi Barat dan Timur. Ah ... look at that. Mrs. Tasya Andresyevic atau Mrs. Tasya Rosicky.”
Tasya menatap hening. Tiba-tiba entah perasaan macam apa yang mengetuk, tapi kini ia merasa jauh sekali. Seharusnya ia tak perlu risau. Hidup merantau telah mengajarkannya banyak hal. Tapi, angan angan Wilman itu kini melemparnya jauh sekali.
Sekali lagi, Wilman tersenyum berujar pelan:
“... Anakmu pasti cantik. Kombinasi Timur dan Barat.... Umur 5 – 6 tahun ia akan masuk Nanny 911, hehehe ... Kebiasaannya merengek, mengompol, corat-coret, malas sarapan ..... Rascal kecil yang merepotkan ...”
Ia amati lagi daun kering di tangannya. Jiwa yang menanti ajal itu.
“... Dan, kalian bisa melihat daun daun gugur yang lebih imajinatif dari ini. Yang walau kering, tapi selalu bisa meneduhkan jiwa.... di Central Park. Aku lihat ‘My Sassy Girl’, ajaib sekali musim gugur di sana ... Luar Negeri memang penuh misteri....”
“... Dan, kalau sudah petang, kalian akan duduk bersantai di dekat perapian. Saling memeluk. Apakah itu musim dingin? Ah ya, pasti begitu. Lalu, Tas, putarlah lagu romantis: ‘Trully’, ... lalu tepat ketika kamu dan suamimu berdansa pelan dalam irama Lionel Richie itu diam diam Kristin Kreux-mu terjaga dan cekikikan melihat ibunya lebih kekanak-kanakan darinya. Hehehe.... “
Tasya tersudut hening dan semakin terlempar jauh. Ia, Wilman, Luar Kota, Luar Negeri, itu serasa jauh sekali. Tidak terjamah cengkeraman globalisasi. Seakan ia sendirian, hidup di dalam kotak.
Pelan, ia menggamit jemari Wilman.
“Dasar, .... kamu membuatku takut,” katanya tersenyum.
Wilman membalas senyum itu.
“Aku juga, percayalah .... Sisa hidupku cuma berteman ketakutan .... “
Kemarau berjalan semakin lambat sebelum tiba tiba dari kejauhan samar samar mengalun adzan Ashar. Lalu beruntun: derum mobil pengangkut barang, bunyi pintu diketuk, derap derap sepatu, lalu celoteh tukang angkut dan sopir.
Daun daun gugur itu masih saja hening.




