Selasa, 30 Agustus 2011

Dan Daun Daun pun Berguguran



Dan daun daun pun berguguran. Musim kemarau di Kota ini memang menggelisahkan. Bukan hanya karena suhu udara yang melenguh atau warna taman kota yang tiba tiba coklat kusam, kemarau tahun ini pun dengan sentimentil meranggaskan hal lain yang hilang tertimbun berita skandal.

Siang itu, di salah satu rumah dari sekian deret rumah di Jl. Bengawan. Suhu udara menguap di angka 390 C. Kipas angin full speed itu serasa belum juga cukup menangkis gerah, keringat, dan keributan kecil di ruang tamu.

Tasya dan beberapa kardus besarnya berjibaku. Satu demi satu lipatan baju masuk menindih satu demi satu lipatan sebelumnya. Lalu celana jins, beberapa potong T-shirt, dan sandangan wanita lain sudah jadi satu kardus tersendiri. Satu kardus lainnya dijejali buku-buku hidupnya: Umar Kayam bertumpuk dengan Walt Disney; Karl May berdempetan dengan Agatha Christie; Aoyama Gosho berimpit dengan Karen Armstrong.

“Yang ini dibawa juga?” Wilman meringis mengibas-ngibaskan Modelling di tangannya. “Astaga, kamu baca beginian? Ternyataaa, perempuan memang malu-malu. Sok jaga image. Setomboy tomboynya, pasti pengen tahu – mungkin nyoba – maskara, eyeliner, lipstick, ini itu ... Hahaha.”

Tasya melemparkan bantal sofa ke Wilman yang mengekeh.

“Cerewet, mending kamu daripada sibuuuk sama jus sama semangka, sini gih bantuin. Lakban, gunting. Itu ah, kok kelupaan belum dimasukin. Bongkar lagi sedikit nih. Hmmfffff.... Sini siniin, lakban ... iya yang coklat, eh nggak yang bening saja deh. Gunting. Nah untung muat fiuuuh .... gerahnya ..... Kamu? Lho? Hmpppfff jangan dihabisin semangkanya.”

Pukul satu siang, keributan itu menurun hening. Lima kardus itu sudah tersusun rapi di pojok. Dua jam lagi jasa pengangkutan akan datang membawanya ke Luar Kota. Udara yang ganas membuat hari berjalan seolah lebih lambat.

“Jadi, tahun pertama nanti baru Oktober ya?”

“Iya, tahun pertama Hubungan Internasional-ku. Humm... sungguh aku tak sabar, Wil. Kan kamu tahu sendiri. Setelah lulus nanti, aku ingin sekali pergi jauh ke London, Paris, Amsterdam. Tapi bukan sebagai pelancong bodoh. Be a smart, have a lot of friends outside the border. Maybe work outhere. Ya, semacam itulah. Bukan datang ke Eiffel, satu dua jam. Potret sana sini, lalu narsis-narsisan. Ah.. gimme a break.”

Wilman menyelonjorkan kakinya di meja. Tasya mengikuti. Angin menerobos sela-sela jendela.

“Dan, tentu nanti kalau musim gugur pasti kamu akan ke New York. Melihat mapple yang merah dan jingga itu jatuh satu demi satu di Central Park. Ah, romantis sekali kelihatannya.”

“Dan aku akan punya seorang kekasih dari Cheszka!” tambah Tasya cepat.

“He, dari ... mana? Ches-zka .... “

“Ya, dari Cheszka! Seperti Cech atau Pavlyuchenko itu!” jawab Tasya berjingkat-jingkat. Kaki lonjornya ia naik turunkan dengan gemas.

Wilman tertawa terkekeh-ngekeh. Sudah seperti seseorang yang melihat akrobat di depannya. Ia tenggak jus yang tinggal separuh itu, menuang hingga setengah gelas lagi, menenggaknya cepat, lalu menghabiskan sisa tawanya.  Tasya menatap heran.

“Apanya yang lucu coba? Apa, Wil? Heh! Jangan ketawa terus,” katanya sambil menarik narik lengan kaus laki-laki dua puluh lima tahun itu. “Memang ada yang aneh punya kekasih Cheszka? Yaaa ..walaupun hidungnya kemerahan. Seperti hidung monyet kecil. Hiiihi... Heh! Stop tertawa, apanya sih yang lucu?”

“Uhuk, uhuk, uhuk”, Wilman tersedak. “Coba lihat, benar-benar calon mahasiswi hubungan internasional yang sebenar-benarnya. Kuliah di Indonesia, kerja di Amsterdam, punya rumah di Paris, berteman dengan orang Albania, dan sekarang .... Masya Allah, bercita-cita menikah dengan orang Cheszka! Hahaha ... sungguh, aku tak bisa membayangkan siapa nama anakmu nanti. Ah, mungkin begini: Karel Andrezhevisc van Rommedhal, hahaha ... “

Tasya menekuk bibirnya.

“Siapa yang bilang aku akan menikah, dodol?! Aku bilang: punya ke-ka-sih. Kekasih, dodol. Bukan su-a-mi. Huh... “

Angin musim kemarau membawa lenguhan gelisah dan hawa gerah. Tasya mengumpati kipas angin tuanya. Itu pemberian ayahnya, dua tahun lalu sebelum ia berlabuh dengan keputusan ingin hidup menjauh dari orang tuanya. Mengontrak di Jl. Bengawan dan bohemian sebagai freelancer. Hidup sebagai penulis lepas, pembantu wartawan koran lokal, sampai pelukis mural. Dinding stadion Kota ini dulu pernah ia ubah jadi lembaran komik dengan goresan lincah jarinya.

Wilman, yang hidup dari panggung ke panggung mengusung idealisme Indie itu menimpali:

“Lho lho lho bukannya tujuan punya kekasih juga akan jadi suami? Yaaaa kecuali kalau orientasi kehidupanmu sudah konyol ke-Barat-baratan. Menikah hari ini, empat jam kemudian boom!! Finished.”

“Lho bentar, bentar. Musikmu itu Indie Barat! Cih, sok menguliahi orientasi kekonyolan Barat. Ini globalisasi, Wil. Timur dan Barat sudah tidak ada arti. Justin Bieber bisa saja lahir di Sragen, dan Didi Kempot akan mengguncang London Philharmonic!”

“Hahahaha ... “

“Hahaha .... “

Keduanya yang duduk di satu sofa merah itu saling berpandangan. Merasa lucu dengan mimik satu sama lain. Ah, betapa musim panas itu membuat otak kehilangan akal sehat.

Daun kering di musim gugur melayang, menyelinap kain selambu, dan ajaib jatuh di pangkuan Wilman. Laki-laki itu melepas kaca matanya, memperhatikan daun dan gurat tulang daunnya yang menguning. Seperti jiwa yang menjemput ajal.

“Tentu kamu akan menjadi sarjana yang hebat, Tas.”

Daun kering di tangannya ia main-mainkan.

“Aku tahu itu. Kamu akan lulus cumlaude, lalu pergi ke Washington. Bekerja di VoA, atau yang lain. Bahkan mungkin jadi diplomat. Dan ... kamu akan ..... punya seorang Cheszka.... anakmu pasti cantik. Kombinasi Timur dan Barat. Seperti Kristin Kreux,” tambahnya pelan.

“Kenapa kamu ini?” tanya Tasya heran. “Melamun jauh sekali. Diplomat, humm... kok kesannya 11 / 12 sama mafia eksekutif hehehehe .... Dan, he kan sudah aku bilang: Cuma ke-ka-sih, bukan su-a-mi. Humm... kamu ini. Tapi soal cumlaude, VoA hmm... bolehlah lah aku amini ya?”

No, no, no ...wait, listen to me: Kamu akan lulus cumlaude, lalu pergi ke Washington atau New York, punya karir, bersuami seorang Cheszka dan anakmu cantik kombinasi Barat dan Timur. Ah ... look at that. Mrs. Tasya Andresyevic atau Mrs. Tasya Rosicky.”

Tasya menatap hening. Tiba-tiba entah perasaan macam apa yang mengetuk, tapi kini ia merasa jauh sekali. Seharusnya ia tak perlu risau. Hidup merantau telah mengajarkannya banyak hal. Tapi, angan angan Wilman itu kini melemparnya jauh sekali.

Sekali lagi, Wilman tersenyum berujar pelan:

“... Anakmu pasti cantik. Kombinasi Timur dan Barat.... Umur 5 – 6 tahun ia akan masuk Nanny 911, hehehe ... Kebiasaannya merengek, mengompol, corat-coret, malas sarapan ..... Rascal kecil yang merepotkan ...”

Ia amati lagi daun kering di tangannya. Jiwa yang menanti ajal itu.

“... Dan, kalian bisa melihat daun daun gugur yang lebih imajinatif dari ini. Yang walau kering, tapi selalu bisa meneduhkan jiwa.... di Central Park. Aku lihat ‘My Sassy Girl’, ajaib sekali musim gugur di sana ... Luar Negeri memang penuh misteri....”

“... Dan, kalau sudah petang, kalian akan duduk bersantai di dekat perapian. Saling memeluk. Apakah itu musim dingin? Ah ya, pasti begitu. Lalu, Tas, putarlah lagu romantis: ‘Trully’, ... lalu tepat ketika kamu dan suamimu berdansa pelan dalam irama Lionel Richie itu diam diam Kristin Kreux-mu terjaga dan cekikikan melihat ibunya lebih kekanak-kanakan darinya. Hehehe.... “

Tasya tersudut hening dan semakin terlempar jauh. Ia, Wilman, Luar Kota, Luar Negeri, itu serasa jauh sekali. Tidak terjamah cengkeraman globalisasi. Seakan ia sendirian, hidup di dalam kotak.

Pelan, ia menggamit jemari Wilman.

“Dasar, .... kamu membuatku takut,” katanya tersenyum.

Wilman membalas senyum itu.

“Aku juga, percayalah .... Sisa hidupku cuma berteman ketakutan .... “

Kemarau berjalan semakin lambat sebelum tiba tiba dari kejauhan samar samar mengalun adzan Ashar. Lalu beruntun: derum mobil pengangkut barang, bunyi pintu diketuk, derap derap sepatu, lalu celoteh tukang angkut dan sopir.

Daun daun gugur itu masih saja hening.



Minggu, 28 Agustus 2011

Sawojajar, di Satu Jam Terakhir

Suatu sore, di satu jam terakhir menjelang adzan Maghrib, saat matahari menyerong mendekat ke Barat.

Ada yang selalu ajaib. Sesuatu yang samar samar menyelinap dalam kalbu. Wajah yang selalu sama, tak pernah berubah setiap kali kaki ini melangkah di jalanan Sawojajar.

Ada siulan pelan angin yang pertama menyalami di langkah pertama meninggalkan jalanan D. Limboto. Menuju ke Selatan, ruas jalanan D. Tempe yang lurus, kenang kenangan pecah berhamburan. Teringat, ketika selepas Ashar di jalan ini aku, kamu, kita hanya punya satu tujuan. Berkaos, bercelana pendek, dan dengan bola bundar terpantul pantul di tanah.

Lalu ada pos satpam. Kios rokok. Sekarang sudah lengang. Tidak ada bapak bapak yang main remi dan secangkir kopi bersanding di meja itu. Namun, seolah hanya masa yang membuat menua, tapi tidak demikian dengan rentang perjalanan kita.

Di sana, di ujung jalan D. Tempe, rumah rumah cluster mulai menjamur. Tapi tidak bagiku. Itu masihlah tanah lapang, di mana sepasang gawang kayu dan anak anak SSB Rajawali berseragam biru berhamburan berlatih. Lari kesana kemari. Dan kita, yang tak tahu diri itu melamar tantangan pada mereka. Ah … bisa ditebak sudah. Nafas kita terlanjur putus sebelum sempat memukul balik lima atau enam angka yang mereka sarangkan.

*

Matahari pelan pelan kehilangan pelukan hangatnya. Suhu udara turun. Langkah ini masih tak terhentikan.

Seratus meter dari cluster: Sekolahku tercinta. Dindingnya sudah tidak lagi kusam. Sudah tidak ada lagi lapangan gersang atau “ladang gandum”. Namun, bagiku ia tetaplah SMA yang sama seperti tujuh tahun lalu. Dimana bunga bunga chery yang putih berserakan di tanah dan plesteran-nya yang berdebu. Dimana di lapangan kemerahan itu pernah ada lomba tarik tambang di tahun pertama kita bersama.

Dimana di pelataran depan yang kini “angkuh” itu kebrandalan kita pernah ingin membuka paksa gerbang sekolah sekedar demi mendukung tim futsal sekolah berlaga. Dimana setiap Minggu pagi kita berdempet dempetan di musholla, sholat Dhuha lalu nembang istighosah: “Saantuka ya ghaffaru ahwa wa taubatan … wabil qohri ya qohar ruhutman tahayalla ....“

Ah, delapan tahun lalu itu terlewat sudah. Seperti pemandangan di jendela kereta yang selalu silih berganti. Namun kita tetaplah anak anak matahari. Insya Allah.

*

Matahari sudah tidak terasa dan langit semakin abu abu ketika gerbang D. Ranau menerima jejak kaki ini.

Ada yang tumpah ruah. Di setiap ruas tak pernah berubah. Cuma beberapa rumah yang gonta ganti cat atau kos kosan yang ditinggalkan. Namun itu tak mengubah apapun. Termasuk Sandhy Putra. Masih begitu megah dan seakan mengatakan: “Inilah sebenar benarnya sekolah”.

Walau kini ia sendiri sudah kehilangan “gerbong kereta” sistel-nya dan sepetak lahan hijau kecil di selatan tempat dulu kami bermain melepas sore. Ia tetaplah Sandhy Putra, yang selalu didesiri angin misterius dan tanahnya yang lengang namun sungguh ajaib menghibur. Ia masihlah Sandhy Putra, yang kini maupun tahun tahun mendatang akan selalu (dan pernah) menjadi benang perajut mimpi anak anak Menengah Pertama.

Nanti kalau SMA, sekolahku di sini”, sambil mengangguk angguk ke arah kelas di lantai dua.

*

Ada keraguan raguan. Rasa malu. Mungkin juga takut saat menghadapinya. Tempat usaha fotokopian itu tak ada yang berubah. Catnya masih hijau. Plang nama usahanya masih sama. Ah, seolah masa tidak membuatnya menua. Kaki ini sempat mematung, tidak tahu harus apa ketika melintas di depannnya lalu ada sepasang mata yang mungkin mengenali dan mencegat menghentikan.

Aku tidak ingin terlalu sentimentil. Tapi, sayang begitulah adanya.

Menjauh dari sana, di ujung D. Ranau, hiruk pikuk ada dimana mana. Suara motor, suara penjaja es pisang ijo, jajanan pasar, derap derap sandal. Lalu jalanan kecil yang tersendat rentetan manusia. Tua - muda; laki laki - perempuan; balita sampai mahasiswa; berjejalan di sini. Aroma sate usus, cilok bakar, sampai roti mariam menyeruak di sela selanya. Di bulan Ramadhan, jelang berbuka, Pasar Sore di Ruko itu adalah primadona Sawojajar kita.

*

Udara sore semakin magis dan matahari sudah lelap di telan langit Barat. Selesai dengan sekeresek buah tangan, langkah ini menebas sisa sisa waktu di jelang datang Maghrib. Melewati jalanan yang sama. Seolah bangunan bangunan batu, bau tanah, udara yang semakin berat, langit yang tidak lagi cerah namun menenangkan itu mengatakan: “This is home; Kamu selalu bisa pulang dan mengenang ngenang.”

Keluar dari Little Japan, tahu tahu adzan memanggil. Langkah ini semakin cepat. Yang ada di belakang, tidak untuk ditinggalkan. Hanya disimpan, untuk suatu hari nanti aku, kamu, atau kita tapaki lagi bersama sama.  : )





Senin, 22 Agustus 2011

The Sweetest Lie



Freddie said:  "Each night I cry, I still believe the lie..."





Ya, aku mengerti bagaimana rasanya. Satu-satunya kebenaran yang kita punya adalah ketidakjujuran yang enggan kita akui keberadaannya. Terlalu pengecut untuk kita hadapi dengan dada membusung tegap. 

Dan pada akhirnya, situasi berlarut menguasai akal sehat kita. Menjebaknya ke dalam pusaran kebohongan demi kebohongan. Ilusi demi ilusi yang melukai diri kita sendiri, tapi (anehnya) dalam suatu moment kita begitu menikmatinya, lalu tersedan menangisinya dalam waktu yang hampir bersamaan. 


Miris, seseorang bilang. 


And when the dawn has come, kita seka air mata itu. We play the masquerade so well, mengenakan topeng setegar dan semanis mungkin. Seolah dunia berjalan damai walau jauh dalam diri kita perang yang lebih menggemuruh dari Pearl Harbour tengah berkecamuk. 

Kita menyapa: "Hello, senang berjumpa denganmu," walau lidah kita sesungguhnya ingin berkata sendu dan lirih: "This is our last goodbye....."


Kita berkilah hanya menatap sekilas senyumannya, walau sebenarnya pengelihatan dan memori otak kita berupaya keras untuk menyimpan detik demi detik peristiwa itu sebagai kenang-kenangan manis ketika kita tengah sendiri. 


Sembari terus berharap: this aint an end, (though) we stand right at the end of time.

Ah, the sweetest lie...., the sweetest lie. We've trapped into it.
The sweetes lie....., the sweetest lie, which have made us so strong to face the world; but (also) killed us pieces by pieces at the same time.




Minggu, 14 Agustus 2011

Stay Remember


Pada akhirnya akan dilupakan.

Kata kata manis yang pernah kita rangkai bersama,
Not not irama “It Might Be You” yang kita naik dan turuni bergantian
Pada akhirnya akan terlupakan.

Kejam bukan, jarum waktu itu, Sayang?

Yang membekas hanyalah potret masa lalu kita:
Kamu, dengan rambut hitam menjurai sebahu,
pipi menggelembung mirip semangka,
dengan gigi gigis karena doyan mengunyah Cadburry,
dan aku yang terus mencintaimu semenjak hari itu.

Aku trenyuh, Sayang ….

Kala mengenangmu bertahan mengulum Lollipop
mencoba melawan logika gigi yang raib ditelan usia
lalu diam diam, aku ganti Lollipop itu dengan permen asam
dan engkau langsung menggebukiku dengan guling,
mencubiti sampai aku terguling guling
lalu tertawa - terbatuk batuk - tertawa lagi
melihat betapa konyolnya diri kita dan dunia...

Sampai saat akhirnya kita mulai lelah menulis,
oktaf kita menyerah patah di tanjakan,
dan cita cita luhur kita hanyalah memotret kenangan
untuk anak dan cucu cucu kita,
untuk sahabat dan siapa saja yang pernah kita jahili,
untuk tempias hujan di atap rumah kita,
untuk matahari dan bulan (teman setia kita),
dan ........ untuk masing masing dari kita.

Aku trenyuh,....

Bukan karena mata senjaku redup mengamati potretmu
hanya saja, kutakut melupakan semuanya, Sayang ....
sementara tak mungkin kumainkan “It Might Be You”
kalau kau tak lebih dulu menepuk bahuku
sambil berbisik mengingatkan: “Lagu itu diawali dari kunci G”



Senin, 08 Agustus 2011

Kamis, 04 Agustus 2011

Keluarga ...

di mana akan selalu ada tangan yang menolong,
menuntun memapah ketika tiba tiba raga melunglai?

saling menguatkan saat salah satu kaki tersandung masalah?
ketika tiada satupun kamera mengabadikan kebersamaan utuh  .....

dan hanya terdengar: "Everything's gonna be alright;" yang terdengar manis
bahkan jika itu pun hanyalah kebohongan?


hanya mungkin ada
dalam sebuah keluarga ..... 


Senin, 01 Agustus 2011

Ramadhan di Pintu Jeda

Aih, Ramadhan datang kembali ...
kali ini sudah di bilangan 1432 H.

Ramadhan kali ini ... ah, entah mengapa akan menjadi biru. Hehehe, ah ini ndak lagi sedih lho, justru bahagia. Ya .. bahagia, walau kadang aku sendiri belum begitu mengerti: bagaimana yang disebut bahagia itu?

Apakah hanya cukup kita tersenyum, tertawa, atau karena kita tiba tiba menang undian 10 M ? Hehehe .. entahlah. : )

Bulan Ramadhan, bulan puasa. Bulan yang baik. Sangat baik. Ia melatihmu bersabar, dengan apapun - bahkan dengan dirimu sendiri. Tidak hanya untuk hari dan menit ini, tapi kalau Kamu lulus, maka nilai kesabaran itu tentu akan Kamu bawa jauh melewati bulan bulan di luar Ramadhan. Syukur alhamdulillah, kalau sampai dipertemukan lagi dengan Ramadhan di tahun berikutnya. : )

Ah ya ... harus bersabar. Dengan apa pun, ... dengan ... apa pun .... : )
walau nanti kalau sudah tiba jeda, yang berserakan biarlah saja berserakan.
tapi, patronus ini ...ah ... hanyalah Allah yang sanggup menghapusnya ...

 .... : )