Kalau Kamu adalah seseorang suka membaca karya literer fiksi atau sering mengunjungi ruang pemutar seluloid, tentu Kamu familier dengan karya semacam Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Denias – Senandung di Atas Awan, atau mungkin Amigos (yang sempat ngepop semasa jaman SMP dulu hehehe).
Benang merah dari beberapa literer tadi apa sih? Coba tebak hayooo …. :D Yup, kalau Kamu menebak bahwa masing masing karya para maestro tadi itu mengandung cerita mengenai pendidikan atau perjuangan manusia manusia hebat menggapai ilmu, maka 100 jempol buat Kamu :D Anyway .. ternyata hingga kini, concern mengenai pendidikan masih menjadi perhatian serius. Walaupun, presiden dan para menterinya sudah digonta ganti, toh sampai saat ini kebutuhan yang satu itu masih saja mengulik rasa penasaran untuk menanggulanginya.
Para seniman dalam kapasitasnya mencoba menggali (kembali) fenomena ini: Tokoh tokoh luar biasa yang kita kenal sebagai Lintang, Ikal, ataupun Aray dalam tetralogi Laskar Pelangi adalah cerminan anak bangsa yang menjunjung tinggi mimpi bernama pendidikan. Cita cita sederhana namun tak sesederhana itu dalam melahirkannya. Cita cita untuk berseragam Sekolah Dasar hingga mengenyam jenjang Universitas dari mereka yang hidup di pulau terpencil jauh dari gemerlap megapolitan.
Ada banyak Ikal atau Aray di kanan kiri kita. Bukan di Belitung sana, tapi ada di sekitar Aku dan Kamu.
Dan salah satu dari kenikmatan adalah apabila ada yang tidak harus terlahir sebagai Ikal atau Aray terlebih dahulu untuk mencapai Sorbonne.
Di sini, tak akan dibahas kok masalah beruntung dan kurang beruntung. Lebih baik yang dijadikan subjek adalah: seberapa niat dan tangguh dirimu. Bukankah itu juga yang sepertinya menjadi inti dalam Laskar Pelangi atau mungkin Negeri Lima Menara ?
Dalam Laskar Pelangi, Andrea maupun Riri Riza menjadikan ketidakberuntungan itu sebagai milestone saja, selebihnya mereka berbicara mengenai semangat dan impian. Pun, dalam Negeri Lima Menara dan dwiloginya Ranah Tiga Warna, A. Fuadi melalui tokoh Alif menjadikan keterbatasan itu sebagai musuh yang harus dilumat dengan dua azimat sakti Man jada wa jadda dan Man shabara zhafira.
Iya, tangguh dan niatan itulah yang bisa menjadi martil penghancur tembok keterbatasan.
Ada yang punya niat, tapi ia tak tangguh hanya akan menjadi angan;
Sebaliknya ada yang tangguh, tapi tak berniat bertindak hanya akan menjadi bualan;
Sinergikan keduanya lalu jalankan dengan sabar dan tulus ikhlas.
Karena bagaimanapun, mereka yang jihad menuntut ilmu itu adalah anak anak matahari. Kamu tahu kan matahari? Ia terang karena ialah nur ilmu yang memberangus kebodohan. Hangat karena ialah pelita yang hadir di setiap pagi dan bergerak untuk mencairkan kebekuan. Dan sebagaimana matahari, maka ialah yang akan memantulkan cahaya makrifat ilmunya itu kepada rembulan - kepada orang lain yang belum pandai semacam Aku ini agar turut bisa memberikan arti bagi alam yang lain.
Ia adalah cahaya agung yang sabar menerangi semesta.
Coba, bayangkan kalau begini: Matahari tiba tiba tak sabar lagi memancarkan sinarnya, ia malas, enggan, dan masa bodoh dengan alam lainnya. Tumbuhan tak bisa fotosintesis. Hawa beku menguap dimana mana. Alam manusia kehilangan arah. Mengerikan juga, kan? Humm…mati lampu lebih dari 3 jam saja sudah dilanda gundah gulana, apalagi kalau redup selama lamanya?
Janganlah pernah lelah meniru matahari, karena matahari itu tak pernah lelah menebarkan barang setitik cahayanya meski hari telah gelap.
: )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar