Sabtu, 22 Agustus 2015
10 Perbedaan
Selasa, 04 Agustus 2015
Sakral - Banal dalam Dieng Culture Festival
Merayakan waktu-waktu penting dalam kehidupan memang tak terlepas dari hal yang bersifat sakral dan banal. Sakral dalam hal ketika moment-moment peringatan itu terasa kudus, berliturgi, dan hening. Banal karena dalam fase sebelum atau sesudah kesakralan itu ada penghiburan, hedonisme, dan hingar-bingar yang jamak dilakukan.
Kedua fase itu juga ditemukan dalam Dieng Culture Festival (DCF) ke enam. Saat matahari sudah akan redup pada akhir Juli, di simpang tiga homestay Bu Jono, para pemuda berjaket dan ber-carrier mulai berdatangan. Kebanyakan dari Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya. Sebagaimana agenda tahun sebelumnya, DCF 2015 masih paduan antara jazz, lampion dan ruwatan.
Dua kegiatan di awal adalah pengelolaan kebanalan berestetika yang mau tidak mau adalah daya tarik paling besar bagi mayoritas pendatang DCF. Malam hari tanggal 1 August saat ribuan lampion diudarakan saja, jalanan di simpang tiga arah candi-Wonosobo-Banjarnegara banjir lautan manusia. Ruas jalan padat. Rasanya, itu adalah moment saat orang Jakarta berhasil memasarkan macet dan bahasa 'Lo', 'Gue', ke tengah masyarakat Ngapak.
Dari rata-rata usia pengunjung yang remaja-dewasa memang menjadikan kebanalan ini sesuatu yang melebihi keheningan Dieng itu sendiri. Bahwasanya DCF adalah tentang jazz dan kelap-kelip lampion di ketinggian 2000 mdpl. Bahwa DCF adalah merayakan selfie di kepungan sunrise Sikunir atau Telaga Warna. Hal-hal yang sangat populer saat ini. Kehingar-bingaran ini tidak bisa dipungkiri justru adalah bagian dari usaha memasarkan kebudayaan dan kesakralan Dieng.
*
Inti yang sakral dari DCF adalah ruwatan anak bajang. Anak lelaki atau perempuan berambut gimbal yang legendanya adalah keturunan Kyai Kaladate, leluhur orang Dieng. Anak-anak ini - harus atas permintaan sendiri - akan diruwat sebelum dipotong rambutnya yang dipercaya akan menjauhkan mereka dari makhluk gaib.
Sebelum dicukur di komplek Candi Arjuna keinginan anak bajang ini mutlak harus dipenuhi orang tuanya. Mau mobil 10 buah atau sapi 20 ekor mau tidak mau harus diusahakan. Hanya saja, pemenuhan materi tersebut bisa dialihkan. Mobil bisa diganti mobil mainan. Begitu juga sapi atau yang lainnya. Artifisial. Benda buatan yang menyerupai aslinya sebagai syarat agar anak bajang bersedia dicukur.
Hal-hal yang membutuhkan kekhidmatan dan serangkaian prosesi tradisi memang tidak terlalu lentur diikuti. Saat prosesi potong rambutpun tongsis tidak diperkenankan. Tidak boleh berisik. Ruang ekspresi menciut. Kesakralan bisa terasa menjemukan bagi mereka yang terbiasa aktif. Terlebih tidak mengetahui nilai dalam prosesi yang hening.
Namun, seperti yang dikatakan oleh pemilik penginapan tempat saya menginap, bahwa inti dari semua kegiatan ini adalah ruwatan. Bukan pesta lampion yang bisa ditemukan di tempat lain. Atau mungkin jazz di Bromo. Tetapi pemotongan rambut gimbal. Tradisi sakral yang tidak ada di tempat manapun selain Dieng.
Senada dengan yang disampaikan saat tauziah pembukaan DCF. Sang kyai banyak membahas Nusantara - dan tentu mengerucut ke tanah para dewa itu. Dieng adalah 'gunung kosmis' di tanah Jawa. Kepercayaan animisme dan Hindu sangat kental. Sampai era Islam masuk dan mengakulturasi kebudayaan asli. Sekilas saja dapat kita ketahui bahwa kyai tidak akan membahas soal selfie atau jazz. Dari tauziah itu ada hal yang lebih tinggi nilainya dari kebanalan yang riuh. Bahwa Dieng adalah kesakralan, sejarah, dan leluhur para orang Jawa.
*
Ekspresi banal dan sakral memang susah dipisahkan. Dalam taraf wajar kebanalan adalah media yang memberi kesempatan untuk menghibur diri dan melumerkan kesakralan yang kaku, religius, dan khidmat. Keduanya bertahan karena kebudayaan manusia menghendakinya demikian. Kita butuh keceriaan pesta tanpa harus meringkuk gamang setelah pesta itu usai.
