Sabtu, 22 Agustus 2015

10 Perbedaan







Tentu kamu pernah bermain permainan ini. Atau setidaknya sekedar pernah mendengar atau melihat orang lain memainkannya di koran, tabloid, atau media lain. Permainan ini bernama “10 Perbedaan”, sebuah kegiatan membandingkan dua buah gambar kemudian si pemain diminta mencari 10 perbedaan dari kedua gambar tersebut. Permainan asah otak tersebut membuat kita berlomba dengan waktu untuk paling cepat menemukan perbedaan. Ada yang genap sukses 10, ada yang sampai habis waktu hanya menemukan 1 atau 3 saja.

Sekilas memang tak ada yang ganjil dalam permainan ini. Kecuali, jika di hari yang sangat lapar dan haus, kamu merasa aneh harus bermain mencari perbedaan dari dua objek yang memang sudah jelas berbeda sejak awal. Kamu diminta mencari perbedaan karena perbedaan itu sendiri. Lho, bukannya itu malah tantangannya? Biar naluri kita bergeliat aktif lalu seterusnya menjadikan akal kita paripurna karena berhasil menemukan bagian kecil dari dua frame yang sekilas tampak sama?

Heuheu ….

Atas karunia Tuhan kita lahir di sebuah gugusan yang campur sari. Rangkaian kebudayaan yang mana fragmen-fragmen penyusunnya berbeda satu dengan yang lain. Tentu kamu tahu yang hari-hari ini membuat kita gerah: penilaian atas perbedaan. Masyarakat kita terlalu mudah – dan cenderung gemar – mencari-cari perbedaan. Dalam batas kewajaran hal itu tentu tidak merisaukan. Namun, terkadang kita tidak bisa membendung saat kumpulan kegemaran mencari perbedaan itu menumpuk dan berbelok tajam ke arah yang menuntut pembenaran atas status dan keberadaan.

Kegagalan bermasyarakat yang harus dihindari oleh masyarakat kita adalah soal bagaimana cara menanggapi dan mengamati perbedaan di negeri yang memang oleh Tuhan ditakdirkan berbeda bahkan sejak sebelum nation ini bernama Indonesia. Perlu kita ketahui bahwa karena asyik dan terlalu mudahnya kita berlomba mencari perbedaan maka gesekan antarkelompok jadi mudah tersulut. Kita seolah lupa – atau melupakan – bahwa sejatinya kehidupan di Indonesia adalah potongan-potongan gambar yang ditakdirkan beragam dalam rahim. Kita kini menjadi seolah takjub saat menemukan hal yang tidak serupa, semahzab, seiman, sealiran, dengan yang ada pada diri atau kelompok kita.

Seperti halnya ketika bermain 10 Perbedaan. Di gambar “A” menampilkan lansekap sebuah desa, bergunung biru, bersawah hijau, dan ada pak petani berbaju merah. Di gambar “B” adalah lansekap yang sama hanya saja pak petani berbaju hitam. Masyarakat kelompok “A” yang gemar mencari pembenaran atas perbedaan merasa benar atas statusnya bahwa petani haruslah berbaju merah. Sementara masyarakat “B” juga tidak ingin dianggap bersalah karena pak petaninya berbaju hitam. Mereka merasa saling benar. Merasa saling merasa nggenah kalau di satu sisi judul permainan itu adalah “Carilah 10 Perbedaan A dari B” dan “Carilah 10 Perbedaan B dari A” di sisi lain.

Mindset 10 Perbedaan hanyalah menekan kita untuk mencari pertidaksamaan. Sementara kita melupakan bahwa dari pertidaksamaan itu ada persamaan yang jauh lebih luas. Kita telah melupakan persamaan. Terlalu terkonsentrasi pada pakaian si petani dan melupakan warna gunung, warna sawah, arah aliran sungai, jumlah bintang-bintang yang membentuk gambar itu seutuhnya. Kita meninggalkan persamaan karena mencari persamaan itu tidak asyik, tidak menantang, dan jika dilombakan tidak akan ada yang berusaha untuk menang.

Ya, mencari persamaan itu tidak memunculkan gairah berapi-api, alih-alih: kelompok berbaju merah duduk bersama kelompok berbaju hitam di sebuah kedai, memesan secangkir kopi, sambil memandang gugusan gunung, sawah, bintang dan komponen-komponen lain yang sama-sama mereka jumpai di alam A dan B. Dalam tahapan selanjutnya, si Merah dan si Hitam membakar kretek, memandangi satu sama lain, lalu menangis. Keduanya trenyuh karena melihat unsur A di dalam B, dan unsur B di dalam A. Bagaimana mungkin selama ini saat mencari pertidaksamaan mereka sebenarnya telah menyakiti diri sendiri?

Bagaimana mungkin?

*** 

(kredit foto dari www.1mobile.co.id)

Selasa, 04 Agustus 2015

Sakral - Banal dalam Dieng Culture Festival


Merayakan waktu-waktu penting dalam kehidupan memang tak terlepas dari hal yang bersifat sakral dan banal. Sakral dalam hal ketika moment-moment peringatan itu terasa kudus, berliturgi, dan hening. Banal karena dalam fase sebelum atau sesudah kesakralan itu ada penghiburan, hedonisme, dan hingar-bingar yang jamak dilakukan.

Kedua fase itu juga ditemukan dalam Dieng Culture Festival (DCF) ke enam. Saat matahari sudah akan redup pada akhir Juli, di simpang tiga homestay Bu Jono, para pemuda berjaket dan ber-carrier mulai berdatangan. Kebanyakan dari Jakarta, Jawa Barat, dan sekitarnya. Sebagaimana agenda tahun sebelumnya, DCF 2015 masih paduan antara jazz, lampion dan ruwatan.

Dua kegiatan di awal adalah pengelolaan kebanalan berestetika yang mau tidak mau adalah daya tarik paling besar bagi mayoritas pendatang DCF. Malam hari tanggal 1 August saat ribuan lampion diudarakan saja, jalanan di simpang tiga arah candi-Wonosobo-Banjarnegara banjir lautan manusia. Ruas jalan padat. Rasanya, itu adalah moment saat orang Jakarta berhasil memasarkan macet dan bahasa 'Lo', 'Gue', ke tengah masyarakat Ngapak.

Dari rata-rata usia pengunjung yang remaja-dewasa memang menjadikan kebanalan ini sesuatu yang melebihi keheningan Dieng itu sendiri. Bahwasanya DCF adalah tentang jazz dan kelap-kelip lampion di ketinggian 2000 mdpl. Bahwa DCF adalah merayakan selfie di kepungan sunrise Sikunir atau Telaga Warna. Hal-hal yang sangat populer saat ini. Kehingar-bingaran ini tidak bisa dipungkiri justru adalah bagian dari usaha memasarkan kebudayaan dan kesakralan Dieng.

*

Inti yang sakral dari DCF adalah ruwatan anak bajang. Anak lelaki atau perempuan berambut gimbal yang legendanya adalah keturunan Kyai Kaladate, leluhur orang Dieng. Anak-anak ini - harus atas permintaan sendiri - akan diruwat sebelum dipotong rambutnya yang dipercaya akan menjauhkan mereka dari makhluk gaib.

Sebelum dicukur di komplek Candi Arjuna keinginan anak bajang ini mutlak harus dipenuhi orang tuanya. Mau mobil 10 buah atau sapi 20 ekor mau tidak mau harus diusahakan. Hanya saja, pemenuhan materi tersebut bisa dialihkan. Mobil bisa diganti mobil mainan. Begitu juga sapi atau yang lainnya. Artifisial. Benda buatan yang menyerupai aslinya sebagai syarat agar anak bajang bersedia dicukur.

Hal-hal yang membutuhkan kekhidmatan dan serangkaian prosesi tradisi memang tidak terlalu lentur diikuti. Saat prosesi potong rambutpun tongsis tidak diperkenankan. Tidak boleh berisik. Ruang ekspresi menciut. Kesakralan bisa terasa menjemukan bagi mereka yang terbiasa aktif. Terlebih tidak mengetahui nilai dalam prosesi yang hening.

Namun, seperti yang dikatakan oleh pemilik penginapan tempat saya menginap, bahwa inti dari semua kegiatan ini adalah ruwatan. Bukan pesta lampion yang bisa ditemukan di tempat lain. Atau mungkin jazz di Bromo. Tetapi pemotongan rambut gimbal. Tradisi sakral yang tidak ada di tempat manapun selain Dieng.

Senada dengan yang disampaikan saat tauziah pembukaan DCF. Sang kyai banyak membahas Nusantara - dan tentu mengerucut ke tanah para dewa itu. Dieng adalah 'gunung kosmis' di tanah Jawa. Kepercayaan animisme dan Hindu sangat kental. Sampai era Islam masuk dan mengakulturasi kebudayaan asli. Sekilas saja dapat kita ketahui bahwa kyai tidak akan membahas soal selfie atau jazz. Dari tauziah itu ada hal yang lebih tinggi nilainya dari kebanalan yang riuh. Bahwa Dieng adalah kesakralan, sejarah, dan leluhur para orang Jawa.

*

Ekspresi banal dan sakral memang susah dipisahkan. Dalam taraf wajar kebanalan adalah media yang memberi kesempatan untuk menghibur diri dan melumerkan kesakralan yang kaku, religius, dan khidmat. Keduanya bertahan karena kebudayaan manusia menghendakinya demikian. Kita butuh keceriaan pesta tanpa harus meringkuk gamang setelah pesta itu usai.