Ini hari hujan. Bau humus basahnya memuar. Wangi.
Tetes-tetes malaikat kecil berlomba-lomba menjatuhkan diri dari karung mendung
kembali ke pelukan bumi. Ke pelukan asal. Ke sebermula. Kembali kepada Nol.
Nol, bukan saja soal bilangan yang ditemukan kali
pertama oleh ahli matematika Arabia lalu dikembangkan oleh bangsa Barat ke dalam
khasanah perhitungan dan rumus. Lebih dari itu, Nol adalah tentang awal dan
akhir. Nol adalah ada yang juga tiada. Nol adalah milestone sebelum ide,
sejarah, atau jejak langkah menapak ke angka 100, ke 1000, ke 1.000.000.
Nol dalam alam semesta adalah Tuhan. Dzat yang sudah
ada sebelum yang bernama “ada” itu ada. Dzat yang menciptakan angka 1 sebagai
jumlah dari bintang bernama Matahari. Arsitek Agung yang membisikkan angka 6.630
– 120.700 km kepada para astronom sebagai rentangan Cincin Saturnus di atas
atmosfernya. Tuhan adalah bilangan tunggal, tak terhingga, sekaligus tak
terbagi.
Kulihat, hari ini, engkau telah menempuh ribuan kilometer.
Tapi, sejauh apa engkau berlari, setinggi apa mendaki, sudahkah engkau bertemu Nol-mu?
Tentu kau ingat The Beatles, kan? Merekalah yang telah bertemu dengan Nol-nya.
John, Paul, George, dan Ringo memilih pulang kepada Nol saat bercerai di akhir
’60-an. Mereka mengubur jutaan recording,
ratusan pesta, dan gelar yang lebih ngetrend ketimbang Yesus, lalu kembali
kepada yang sebermula. Ya, kurasa Nol bagi John, George, Paul dan Ringo adalah freedom ego yang selama ini terpenjara
oleh sebuah icon bernama Beatles.
Tanpa John, Paul, George, dan Ringo, The Beatles menjadi
suwung. Rest in peace. Seperti air
yang ditinggalkan oleh zat cairnya saat menguap. Seperti uap yang ditinggalkan
sifat gasnya ketika terkondensasi menjadi hujan. Seperti raga yang hampa saat
ruhnya mati. Nol, juga adalah tentang pulang.
Nah, engkau, sudahkah kembali kepada Nol-mu?