Senin, 23 Maret 2015

The Invicible Hands: Pergeseran Nilai Sakral-Historis dan Kapitalis Modern



Globalisasi selain mengaburkan batas-batas geografis, budaya, dan bahasa juga telah menggeser pandangan sakral-historis terhadap produk kejadian masa lampau. Pergeseran ini dapat kita lihat dari bagaimana melihat peristiwa atau produk sakral-historis menjadi komoditas konsumsi yang menjanjikan di masa kini. Timbulnya pasar, penjual, pembeli dan alat tukar terhadap produk sakral historis itu pelan-pelan telah mengaburkan – dan di lain pihak menuntut ketebalan pemaknaan intelektual bahkan iman – pemaknaan sejatinya.
 

*


Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia – belum lagi kemajemukan lainnya yang campur sari – menjadi kasus menarik dalam hal perayaan Valentine’s Day. Sudah bukan rahasia lagi jika menjelang 14 Februari, ramai kasak kusuk tentang haram-halal perayaan ini. Beberapa ormas muslim ada yang jelas melarang bahkan mengharamkan muslim untuk merayakan Hari Kasih Sayang itu. Faktor utamanya, selain karena tak ada dalam syariah dan budaya Islam, Valentine’s Day merupakan produk historis umat Nasrani (atau pagan kuno?). Simbolisme Valentine yang berpeyorasi dan identik dengan seks bebas itu tentu dikhawatirkan menjadi gelombang persoalan moral masyarakat. Sementara agama jelas adalah instrumen untuk mengatur perilaku dan moral para penganutnya.

Beberapa muslim lain, yang lebih liberal, menganggap perayaan itu tak harus menjadi paranoia umat muslim atau pemerintah sehingga tidak perlu dilarang. Mengenai kekhawatiran free sex ditanggapi oleh golongan ini bahwa dalam satu tahun terdapat 365 hari. Dalam hari-hari itu potensi free sex bisa terjadi kapan saja. Mengapa berparanoia terhadap tanggal 14 Februari saja? Belum lagi, persepsi perayaan Valentine bisa beragam. Tidak melulu dikaitkan dengan urusan syahwat kelamin atau akidah.

Dikotomi pendapat ini menjadi menarik karena di satu sisi ada muslim yang ingin menegakkan akidah serta memurnikan Islam, dan di seberang jalan ada muslim yang memandang konteks Valentine’s Day bukan sebagai ancaman terhadap akidah karena yang harus dilihat adalah bagaimana niat (hal yang imajiner) masing-masing individu itu. Selayaknya, jika seorang muslim keimanannya kuat tentu tak perlu takut akidahnya goyah hanya karena Valentine. Pengkutuban ini kemudian semakin melebar karena adanya isu-isu yang sebenarnya adalah produk Islam itu sendiri, antara lain politik khilafah, Sunni-Syiah, atau pun penafsiran Al Quran.

Kendati demikian, toh masyarakat tetap ada yang merayakan Valentine tanpa melibatkan faith or history. Dikatakan demikian karena penyajian dan penyampaiannya bergeser dalam wujud materi (coklat atau kembang). Tidak menuntut upacara peribadatan kepada Santo Valentine atau semacamnya.

 




Hal yang tak berbeda jauh dari perdebatan adalah hijab (busana penutup tubuh). Konsep hijab syar’i yang banyak berkembang di kalangan muslimah konservatif dipandang memiliki rujukan yang telah sesuai dengan tatanan syariah Islam. Sebagaimana yang dimaksud hijab adalah busana yang menutup aurat wanita dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak menampakkan lekuk tubuh. Menutup dan bukan membungkus tubuh. Sederhana.

Sementara, di zaman modern saat ini, fenomena hijab telah berkembang dengan corak dan bentuk yang bagi sebagian muslimah (atau perempuan umumnya) tidak hanya sebagai penanda identitas seorang muslim, tetapi juga fashion, trend, dan bagian dari life style. Pengaruh trend hijabers ini bahkan mendapat pengakuan luas dari luar Indonesia. Dian Pelangi (desainer) bersama Barli dan Zaskia Sungkar telah sukses menggelar fashion show bertema hijab di New York beberapa waktu lalu. Kesuksesan di negara yang sedang sensitif dengan isu Islam itu tentu turut membawa mode hijab Indonesia menjadi salah satu rujukan konsumen di negara-negara lain. Sebelumnya, Dian juga telah membawa misi mempopulerkan hijab melalui film adaptasi novel Hanum Rais, 99 Cahaya di Langit Eropa.

*


Sebagaimana hal-hal yang bersifat mendasar, seperti keimanan atau tinjauan historis sebuah peristiwa, masa telah menggeser pemaknaan Valentine’s Day dan fonemona hijab menjadi hal yang lebih mengarah konsumtif. Tak dapat dipungkiri bahwa daya tarik Valentine maupun hijab yang sakral menjadikan keduanya sebagai embel-embel pasar dalam memperlaris produknya. Kenyataan ini tidak terkhusus pada Valentine maupun pakaian hijab saja, peringatan keagamaan atau peristiwa sejarah lain pun tak lepas dari bagaimana pasar melihat potensi yang menjanjikan sebagai pengeruk keuntungan. 

Seminggu menjelang 14 Februari bisa kita saksikan bagaimana pasar gencar mempromosikan produk-produk berlabel Valentine, seperti coklat, pernak-pernik, film, sampai kartu ucapan. Terlepas dari sejarah Santo Valentine sendiri yang merupakan martir gereja yang tewas karena menikahkan prajurit Romawi (Kaisar Romawi sebelumnya melarang prajuritnya menikah karena akan menurunkan kualitas berperangnya). Tinjauan nilai historis yang sakral itu bergeser menjadi sebatas cara menyampaikan kasih sayang dengan mengirim coklat atau produk pasar lainnya. 

Begitu pula yang terjadi di kalangan muslim. Hijab, baik syar’i maupun hijabers, tidak lepas dari polesan pasar. Penggunaan hijab kadang belum diimbangi dengan pemahaman hakikat hijab itu sendiri. Keadaan demikian memunculkan selentingan tak sedap yang mengatakan seorang muslimah berhijab, tapi kelakuannya tidak sesuai tuntunan Islam. Anggapan hijab hanya sebatas model pakaian. Munculnya fenomena jilboobs. Walaupun muslim sendiri masih memberikan “toleransi” bahwa berhijab adalah proses dan hijab itu sendiri adalah kewajiban, yang dengan demikian tak lantas harus ditanggalkan saat muslimah belum sepenuhnya memahami hakikat hijab itu sendiri.

Diluar itu, kapitalis pasar telah membuat kita menyadari bahwa perayaan sakral-historis tak luput dari moment-moment konsumtif. Diskon besar-besaran sebelum Natal atau Idul Fitri, adalah contoh lain. Kapitalis tak kasat mata inilah yang menyadari sifat konsumtif masyarakat dan cerdik membaca peluang. Entah sejarawan akan bentrok pendapat mengenai Santo Valentine atau umat muslim ribut soal hijab punuk unta boleh atau tidak, itu adalah soal ke sekian. Bumi dan segala materinya adalah industri yang tak pernah berhenti beroperasi selama manusia ada. 

*


 



Perdebatan mengenai yang tampak di permukaan sebagai imbas dari produk pasar tadi adalah yang selama ini menjadi perhatian. Sementara, hakikatnya, bahwa sebelum pasar menemukan metode ampuh memasarkan coklat saat Valentine, atau sebelum muslim konservatif dan liberal meributkan trend hijab, telah tejadi hal lain yang jauh lebih bernilai. Hal ihwal bagaimana orang memutuskan menghormati Santo Valentine. Hal awal bagaimana Rasulullah SAW mengajarkan kepada muslimah untuk menjaga malu dan menutup auratnya.

Pasar dan komoditinya akan terus ada. Dengan keterbatasan kita belum bisa mencegah pasar berhenti berproduksi. Mengabur dan bergesernya batas-batas geografis, budaya, dan hal sakral-historis menuntut ketebalan pemaknaan intelektual bahkan iman. Mungkin dengan demikian, kita akan menyadari betapa yang diperdebatkan hanyalah akan menjadi pengisi waktu luang. Sementara the invicible hands terus bekerja dengan ampuh.

*** 



(credit foto dari telegraph.co.uk dan dancingczars.wordpress.com)