Minggu, 11 Januari 2015

Kepadaku, Arwen, dan Zaman

Sebuah zaman memiliki tantangannya sendiri. Rasanya, tak pernah adil membandingkan keberadaan suatu zaman. Atau sebaliknya, memiliki kecurigaan terhadap masa kini atau masa depan karena merasa masa lalu itu lebih baik. Lebih bermoral. Lebih bersahaja. Lebih "Piye enak jamanku, tho?"

Karena zaman, sebagaimana ia adalah anak-anak dari seorang Ibu bernama Waktu, tak bisa dibendung. Dia tak melemah, walau gersang. Dia adalah gerak yang tak mundur walau dipukul karena motor penggeraknya adalah cinta, revolusi, keterbelengguan, bahkan kebodohan.

Kekhawatiran sering membuat kita merasa hari ini dan masa depan adalah hal yang jauh dari jangkauan. Ia seperti menelan tubuh dan pemikiran kita yang tak sejalan dengan produk zamannya. Ia – dengan kecepatan dan keganasannya – memakan segala batas. Sementara kita, produk dari masa lalu, hanyalah pelengkap dan saksi bagaimana roda-roda itu menggilas dengan kejam.

Dan, anakku adalah produk bagi masa depan itu.

Ah .. mungkin aku yang terlalu drama. Atau mungkin cemburu pada Arwen, putriku. Dia kini menginjak usia 10 tahun. Cantik, lincah, high-tech, pintar, naif, dan dia hidup di zaman dimana serigala berpakaian rapi parlente.

Sementara aku? Mainanku semasa kecil tak lebih dari batu dan lempung. Dan pada zamanku, serigala adalah serigala. Tanpa tedeng aling-aling.

Arwen lain. Dia hanya akan mengenal tekongan, go back to door, adu gasing, dari buku sejarah saja. Arwen, sebagaimana produk zaman ini, menghabiskan waktunya dengan bersosialisasi via Facebook, Twitter, Path, game online, dan hal-hal yang melibatkan paket data, internet, dan sesuatu benda bernama smartphone yang menjawab segala kebutuhan anak zaman ini .

Bagiku, itu tak masalah selama Arwen tidak kehilangan waktu belajar dan bermainnya dengan dunia nyata. Ya, inilah salah satu kecemasanku tentang dunianya – duniaku juga sebenarnya, tapi aku seolah terasing daripadanya.

Harus aku akui bahwa aku tercerabut dan kehilangan diriku sendiri di zaman ini. Hari-hari terasa bias. Aku tak mengenali lagi kosakata “tabu” dalam kamus orang-orang ini. Pornografi, hubungan gelap, yang dulu jelas pada zamanku adalah aib dan harus dikubur dalam-dalam, kini seolah itu adalah komoditi yang harus dijual dan dikonsumsi.

Lihatlah siaran televisi (salah satu produk racun juga, bagiku). Aku tak perlu lagi menjelaskan betapa keluguan dan tabu yang dulu dijaga itu kini urat malunya telah diumbar sehari 7 kali. Oh, God! Ibuku akan mengurungku di dalam kamar selama 3 hari kalau aku sampai ketahuan merebut pacar orang!!

Belum habis tentang siaran televisi yang hanya memperdulikan rating dan kenihilan akal (aku harus jujur karena generasiku mendidikku demikian, dan kupastikan aku menurunkannya kepada Arwen), putriku kelak akan bergelut dengan korupsi yang semakin banal dan liar. Banyak sekali -isme yang aku tak mengerti lagi mana yang benar, mana yang salah. Radikalisme, twitwar-isme, maling-pajak-tapi-masih-bisa-nonton-tenis-isme, atau -isme-isme lainnya yang pada zamanku dulu tak banyak mendapat simpati apalagi sikap permisif. (Sampai kini pun, aku tak pernah tahu aku ini -isme yang mana?).

Aku sadar, jika aku mengalah pada zaman ini, ia akan menginjakku lebih keras. Lihatlah Arwen: bagaimana ia sering merengek ketika aku tak mengizinkannya nonton kartun. Ketika ia mencemberutiku sejam dua jam, karena aku menyita smartphone-nya. Seolah tanpa benda itu ia jadi terbelakang. Benda itu merampas fungsi sosial Arwen. Dia jadi lemah. Dan (kupastikan) aku tak mau anakku lemah.

*

Tapi, ternyata akulah yang lemah.

Aku adalah produk dari kekolotanku. Aku adalah orang yang berhalusinasi melangkah di jalan lempang, namun tak menyadari bahwa - seperti kata Umar Kayam - jalan sebenarnya menikung. Dan selamanya akan menikung.

Dunia Arwen ini adalah embrio yang dulu ditanam jauh sebelum zamanku. Sebelum proklamasi 17 August 1945. Bahkan jauh sebelum bola lampu ditemukan. Para ilmuwan, cendekia, sarjana, bahkan Tuhan sekalipun telah berkonspirasi menghadirkan agama, sains, teknologi, krisis, hingga berbagai macam aliran hari ini. Newton, Einstein, Soekarno, nenekku, dan aku, hanyalah orang yang turut andil membangun batu-batu pondasinya.

Kelak, Arwen akan meneruskan apa yang kami mulai itu.

Entah, karya agung apa namanya yang disusun tak mengenal ujung. Aku hari ini adalah orang yang sedang membayar sekaligus menumpuk hutang baru. Hutang yang harus Arwen dan cucuku kelak lunasi dengan teknologi dan strategi mereka sendiri. Aku melihat orang tua lainnya pun hari ini sedang mempersiapkan hutang yang tidak main-main. Mereka meng-illegal logging. Memperkosa laut dan gunung. Membangun ide-ide materialisme di segala segmen.

Tapi, sebagaimana ibu yang selalu menyelipkan nasihat dalam dongengnya, zaman pun demikian. Nilai-nilai kebaikan masih bermunculan dari masa ke masa. Wujudnya beragam. Tembang dolanan, agama, sastra, seni, pemikiran brilian, atau intisari samsara yang menyejukkan dan membuat kita kuat menyongsong gerbang zaman berikutnya.

Nilai selalu menemukan bentuk baru. Dalam konteks maupun perannya. Dalam wadah maupun metodenya. Jika dulu nenek menisbatkan nilai itu dalam bentuk dongeng pengantar tidur, kini aku mewariskannya kepada Arwen melalui tontonan film yang bisa kami diskusikan nilai-nilai dalam ceritanya. Selebihnya, seiring pertumbuhan sosial-psikologisnya, Arwen akan menyempurnakan nilai suci itu. Mewariskannya kepada cucuku, cicitku dan seterusnya.

Sampai zaman benar-benar bubar.