Sebuah zaman memiliki tantangannya sendiri.
Rasanya, tak pernah adil membandingkan keberadaan suatu zaman. Atau sebaliknya,
memiliki kecurigaan terhadap masa kini atau masa depan karena merasa masa lalu
itu lebih baik. Lebih bermoral. Lebih bersahaja. Lebih "Piye enak
jamanku, tho?"
Karena zaman, sebagaimana ia adalah anak-anak
dari seorang Ibu bernama Waktu, tak bisa dibendung. Dia tak melemah, walau
gersang. Dia adalah gerak yang tak mundur walau dipukul karena motor
penggeraknya adalah cinta, revolusi, keterbelengguan, bahkan kebodohan.
Kekhawatiran sering membuat kita merasa hari ini
dan masa depan adalah hal yang jauh dari jangkauan. Ia seperti menelan tubuh
dan pemikiran kita yang tak sejalan dengan produk zamannya. Ia – dengan
kecepatan dan keganasannya – memakan segala batas. Sementara kita, produk dari
masa lalu, hanyalah pelengkap dan saksi bagaimana roda-roda itu menggilas
dengan kejam.
Dan, anakku adalah produk bagi masa depan itu.
Ah .. mungkin aku yang terlalu drama. Atau
mungkin cemburu pada Arwen, putriku. Dia kini menginjak usia 10 tahun. Cantik,
lincah, high-tech, pintar, naif, dan dia hidup di zaman dimana serigala
berpakaian rapi parlente.
Sementara aku? Mainanku semasa kecil tak lebih
dari batu dan lempung. Dan pada zamanku, serigala adalah serigala. Tanpa tedeng
aling-aling.
Arwen lain. Dia hanya akan mengenal tekongan, go
back to door, adu gasing, dari buku sejarah saja. Arwen, sebagaimana produk
zaman ini, menghabiskan waktunya dengan bersosialisasi via Facebook, Twitter,
Path, game online, dan hal-hal yang melibatkan paket data, internet, dan
sesuatu benda bernama smartphone yang menjawab segala kebutuhan anak
zaman ini .
Bagiku, itu tak masalah selama Arwen tidak
kehilangan waktu belajar dan bermainnya dengan dunia nyata. Ya, inilah salah
satu kecemasanku tentang dunianya – duniaku juga sebenarnya, tapi aku seolah
terasing daripadanya.
Harus aku akui bahwa aku tercerabut dan
kehilangan diriku sendiri di zaman ini. Hari-hari terasa bias. Aku tak
mengenali lagi kosakata “tabu” dalam kamus orang-orang ini. Pornografi,
hubungan gelap, yang dulu jelas pada zamanku adalah aib dan harus dikubur
dalam-dalam, kini seolah itu adalah komoditi yang harus dijual dan dikonsumsi.
Lihatlah siaran televisi (salah satu produk racun
juga, bagiku). Aku tak perlu lagi menjelaskan betapa keluguan dan tabu yang
dulu dijaga itu kini urat malunya telah diumbar sehari 7 kali. Oh, God! Ibuku
akan mengurungku di dalam kamar selama 3 hari kalau aku sampai ketahuan merebut
pacar orang!!
Belum habis tentang siaran televisi yang hanya
memperdulikan rating dan kenihilan akal (aku harus jujur karena generasiku
mendidikku demikian, dan kupastikan aku menurunkannya kepada Arwen), putriku
kelak akan bergelut dengan korupsi yang semakin banal dan liar. Banyak sekali
-isme yang aku tak mengerti lagi mana yang benar, mana yang salah. Radikalisme,
twitwar-isme, maling-pajak-tapi-masih-bisa-nonton-tenis-isme, atau -isme-isme
lainnya yang pada zamanku dulu tak banyak mendapat simpati apalagi sikap
permisif. (Sampai kini pun, aku tak pernah tahu aku ini -isme yang mana?).
Aku sadar, jika aku mengalah pada zaman ini, ia
akan menginjakku lebih keras. Lihatlah Arwen: bagaimana ia sering merengek
ketika aku tak mengizinkannya nonton kartun. Ketika ia mencemberutiku sejam dua
jam, karena aku menyita smartphone-nya. Seolah tanpa benda itu ia jadi
terbelakang. Benda itu merampas fungsi sosial Arwen. Dia jadi lemah. Dan
(kupastikan) aku tak mau anakku lemah.
*
Tapi, ternyata akulah yang lemah.
Aku adalah produk dari kekolotanku. Aku adalah
orang yang berhalusinasi melangkah di jalan lempang, namun tak menyadari bahwa
- seperti kata Umar Kayam - jalan sebenarnya menikung. Dan selamanya akan
menikung.
Dunia Arwen ini adalah embrio yang dulu ditanam
jauh sebelum zamanku. Sebelum proklamasi 17 August 1945. Bahkan jauh sebelum
bola lampu ditemukan. Para ilmuwan, cendekia, sarjana, bahkan Tuhan sekalipun
telah berkonspirasi menghadirkan agama, sains, teknologi, krisis, hingga
berbagai macam aliran hari ini. Newton, Einstein, Soekarno, nenekku, dan aku,
hanyalah orang yang turut andil membangun batu-batu pondasinya.
Kelak, Arwen akan meneruskan apa yang kami mulai
itu.
Entah, karya agung apa namanya yang disusun tak
mengenal ujung. Aku hari ini adalah orang yang sedang membayar sekaligus
menumpuk hutang baru. Hutang yang harus Arwen dan cucuku kelak lunasi dengan
teknologi dan strategi mereka sendiri. Aku melihat orang tua lainnya pun hari
ini sedang mempersiapkan hutang yang tidak main-main. Mereka meng-illegal
logging. Memperkosa laut dan gunung. Membangun ide-ide materialisme di
segala segmen.
Tapi, sebagaimana ibu yang selalu menyelipkan
nasihat dalam dongengnya, zaman pun demikian. Nilai-nilai kebaikan masih
bermunculan dari masa ke masa. Wujudnya beragam. Tembang dolanan, agama,
sastra, seni, pemikiran brilian, atau intisari samsara yang menyejukkan
dan membuat kita kuat menyongsong gerbang zaman berikutnya.
Nilai selalu menemukan bentuk baru. Dalam konteks
maupun perannya. Dalam wadah maupun metodenya. Jika dulu nenek menisbatkan
nilai itu dalam bentuk dongeng pengantar tidur, kini aku mewariskannya kepada
Arwen melalui tontonan film yang bisa kami diskusikan nilai-nilai dalam
ceritanya. Selebihnya, seiring pertumbuhan sosial-psikologisnya, Arwen akan
menyempurnakan nilai suci itu. Mewariskannya kepada cucuku, cicitku dan
seterusnya.
Sampai zaman benar-benar bubar.