Setiap
permasalahan akan membuat Hati seseorang lebih bijak, dewasa, bahkan terkadang
lucu saja dalam menanggapinya. Tidak dapat dimusykilkan, bahwa semakin banyak
deraan yang datang ke Hati kita, maka Otak pun – harusnya – diperas lebih kuat
dalam mencari lubang jarum penyelesaian masalah itu.
Basicly, Hati
kita adalah individu yang ibaratnya sebongkah batu. Keras. Susah dilumat dengan
kepalan tangan kosong. Berdentam bila dibenturkan dengan hal yang sama
kerasnya. Hati lah yang mengontrol kemauan Kita untuk melangkah, sementara Otak
dan Akal adalah yang mengupayakan bagaimana ia harus menuruti kehendak Hati itu.
Ketika Hati semakin
keras menerima, maka Akal pun berdiam diri. Duduk manis menikmati suasana
semakin hambar dan kaku. Namun begitu pula sebaliknya, ketika Hati lebih lunak,
maka Akal akan merespon dan bangkit mencari jalan keluar.
Ya, ini
ketika Hati itu bertemu Hati-Hati yang lain.
Hati saya
tidak mungkin sama persis dengan Hati Kamu. Hati Kamu tidak mungkin 100 %
kembar dengan keinginan Hati dia. Hati dia juga takkan sama dengan Hati mereka.
Hati-Hati kita adalah jiwa yang bebas. Bebas berkompromi atau bebas berlaku
sesuka Hati.
Ketika Hati
saya tidak berkompromi dengan Hati kamu, bisa jadi ia akan membatu. Ketika Hati
kita semakin keras membeku, kita takkan berbuat apa-apa untuk lolos dari lubang
maut. Kita hanya akan menunggu maut itu memeluk kita pelan-pelan sembari
mencengkeram leher kita.
Tapi
bayangkan bila Hati kita mau sejenak saja berkompromi. Meluruhkan sejenak ego
dan angkuh. Membuka jendela untuk angin yang pasti selalu berganti. Mungkin
kelak kita akan tahu, bahwa masalah sebesar Gunung Everest akan menciut ketika
kita mau menerimanya.
Iya, ...
kemampuan untuk menerima itu kadang yang membuat Hati mengeras ...
Percayalah,
semakin ikhlas Hati kita menerima apapun yang diberikan Tuhan, ia akan lebih
kuat. Ia akan selalu berkomunikasi dengan Otak agar kita tak hanya diam
termenung, tapi mencari arah angin yang terbaik meneruskan pelayaran ini ...