# Jember, Oktober
2012.
Entah sesuatu semacam apa yang tiba tiba menggerakkan jemari ini untuk kemudian mengetikkan kata
“Pangandaran” di keyword searching engine Mbah Google. Mungkin,
karena dulu seingat saya Pak Dahlan Iskan pernah menulis di salah satu CEO
Note-nya tentang Pangandaran yang pantainya dinilai tak kalah luar biasa dari
Pantai Copacabana di Brasil. Mungkin, karena sahabat saya, si Tembem Sugesti
yang sudah pernah duluan ngerasain ke sana
dan saya jadi tiba tiba ngidam hal serupa. Atau mungkin juga, karena saya orang
yang telalu mengikuti firasat dan tanda tanda yang bagi sebagian orang dinilai
kebetulan. Apapun itu, jemari ini telah terlanjur menekan Search dan
dari sana
puluhan halaman web berbagi kisahnya mengenai primadona Jawa Barat itu.
Bayangan saya pada
awalnya, Pangandaran adalah pantai sebagaimana lazimnya pantai. Maksudnya, dia biru, berpasir putih
kecoklatan, banyak pohon kelapa serta karang, dan semacamnya. Yang kemudian
baru benar benar meraih hasrat hati untuk menempuh perjalanan sejauh ini
hanyalah sepotong kalimat: ”.... di Pangandaran bisa melihat matahari terbit
dan tenggelam pada satu lokasi yang sama .... ”
Pikiran culun saya
mengatakan, kalau matahari terbit di Timur dan tenggelam di Barat, berarti
pantainya ini dua arah gitu, ya? Hehehe... jadi kalau memandang ke kanan itu sunset, memandang ke
kiri itu sunrise – dari tempat duduk yang tak berubah? Hahaha ... betapa
autisnya saya, setelah tahu maksud dari permainan kata itu adalah: Pangandaran
punya dua pantai, Pantai Barat dan Pantai Timur. Kalau pengen lihat sunset
di Pantai Barat, sunrise-nya di Pantai Timur.
Teori
Heliosentris Copernicus ternyata masih ampuh. Bumi itu bulat. Hehe ... :D
**
Berbicara soal
firasat dan tanda tanda tadi, yang kenudian juga semakin membuat saya semakin
dekat dengan Pangandaran adalah obrolan ngalor ngidul dengan teman dan
kata ”Pangandaran” itu ikut nimbrung di sela selanya. Eksplisit maupun
implisit.
Salah satunya,
dari sebuah chating-an dengan rekan sekantor. Namanya Verra tapi saya
lebih senang manggil dia Si Kecil. Asli orang Ciamis (tapi saya ndak tahu
juga ya. Ndak pernah
lihat KTP-nya sih. Hehe...). Dia waktu itu ”merengek” pengen pulang kampung. Saya ladeni kurang lebih
begini waktu itu: ”Iya, kamu pulang kampung saja. Tapi ke 92 km arah selatan
ya.”
Si Kecil waktu itu
belum ngeh dengan maksud 92 kilometer tadi. Selang satu pekan, di kala suasana
jenuh di Malang sehabis dibantai oleh tim KM Jatim, saya chating dengan
Si Kecil sambil menunggu waktu pulang. Setelah ngobrol kesana kemari, dia bilang
liburan ini nggak pulang. Tiket mahal. Mau pulang lagi pas Tahun Baru saja,
katanya. Liburannya mau ke Malang saja (haha... masih sok sok’an ndak pengen
pulang kamu? Palsu... :P
).
Saya bilang, nggak
pulang liburan kali ini. Mau long road. Setelah dia nanya ini itu dan
saya nggak kasih clue, Si Kecil malah nyodorin: ”ke Pangandaran saja,
bagus. Mbak Gesty aja
jauh jauh bela belain ke sana, berarti kan bagus.”
Saya terdiam. Sambil
ngirim emoticon Smiley, sedikit sedikit saya jelasin kalau medio
November nanti saya memang berniat mau ke Pangandaran. Pantai di 92 kilometer
arah Selatan Kabupaten Ciamis. Eh, dia malah ketawa setelah ngeh dengan arti 92
km itu sambil memberondong pertanyaan macem macem. Ahhh... :D
Belakangan saya
tahu, sebenarnya dia ngempet juga pengen pulang. Sampai pontang panting
ninggalin rapat demi browsing tiket online sebelum liburan. Saya
malah sudah H-7 dapat tiket PP nya. :P :D
**
# Jember -
Banjar, November 2012
Berbeda dengan
liburan dua tahun silam ke Pulau Dewata (yang modal nekat), rencana ke
Pangandaran tersusun lebih rapi dan matang. Haiyaaah, kayak apa ae ... :D
Faktor
faktor teknis seperti tiket kereta PP (Eksekutif lho ya. Catet. Hehe),
rute selama perjalanan, transportasi dari dan menuju Pangandaran, kamus online
Bahasa Sunda di handphone Aluna, penginapan (Mbem, thank you so much
yaaa... :D), sampai faktor non teknis seperti pulang minta izin ke Ibu
sebelum berangkat pun sudah dipersiapkan jauh jauh hari.
Kenapa
terkesan ribet? Well, belajar dari pengalaman ke Bali yang tanpa izin
orang tua – dan hasilnya malah banyak kena sial tapi seru hahaha (ceritanya bisa dilihat di sini) - makanya long
road ke Pangandaran ini prepare-nya lebih serius. Pun mungkin ini akan
menjadi perjalanan paling jauh yang pernah saya tempuh.
Berangkat
dari Jember via Mutiara Timur Malam pada 14 November pukul 00:50 WIB, kami
berlabuh di Gubeng, Surabaya tepat pukul 04:38 WIB. Setelah shalat Subuh lalu
cari sarapan di rumah makan yang banyak kucingnya, kami transit kurang lebih 3
jam menunggu Argo Wilis tiba pukul 07:30 WIB dengan tujuan akhir Paris van
Java.
Sedikit
soal kereta api eksekutif ini, saya baru tahu kalau ternyata di dalamnya juga
ada petugas yang nawarin makan dan minum. Modelnya sih mirip mirip mas mas
tukang jualan Mison dan Pocari di bus bus itu, tapi lebih elegan. Hahaha... (saya
emang payah).
**
Si Kecil:
”Ud mau dkt banjar loh. Siap2, Ap mau ikt aq dl tah krmh?yuk.”
Saya: ”Iya,
ud dkt. Kroya ni yg trakir sblm banjar. Kalo ikt kmu nanti ngrepotin. Makanku bnyak. :D ni
mw ke pak Mumu dlu yg punya wisma tmpt nginep.: )”
Pesan itu ada di inbox
Aluna ketika kami telah melewati Stasiun Kroya dan tinggal beberapa menit lagi,
tepatnya pukul 15:38 WIB, akan menepi di Stasiun Banjar. Banjar adalah tempat
saya harus turun, sementara Si Kecil masih harus meneruskan perjalanan lagi sampai
ke Tasik.
Tanpa terasa, kota
demi kota telah terangkai menjadi satu mata rantai yang tak terputus sebelum
tuntas Banjar. Hiruk pikuk Solo, gerimis Jogja, hijau persawahan Kutoharjo,
semua menjadi pemandangan yang silih berganti dari jendela tempat saya
menerawang.
Menurut internet
dari Banjar inilah pintu transportasi bus menuju Pangandaran melintas.
Disarankan naik bus yang namanya Budiman. Pakai AC. Well, itu yang kata internet
lho ya. Wkwk... :D
Tapi memang nggak
salah kok. Bus Budiman memang bus yang melayani rute Banjar – Pangandaran.
Bedanya, ada yang pakai AC dan busnya segede bus Harapan Baru; ada yang non AC,
panas, sempit, desek desekan, dan ukuran busnya cuma ¾ dari bus besar.
Dan ... alhamdulillah,
saya berada di bus yang kedua. :D
Sesuai saran Si Nona
Kecil, saya disuruh naik becak saja daripada ke terminal. Sampai dengan
perempatan lampu merah akang tukang becaknya menurunkan saya. Tiga menit
kemudian bus yang digadang gadang datang juga.
Tanpa pikir
panjang langsung saya lompat naik. Dan ... wuihh saya serasa terpental. Mau
turun balik nglewatin pintu yang seukuran jendela kosan nggak bisa; mau masuk
juga nggak bisa. Wkwk... Kegencet diantara neng dan aa’ yang fasih bahasa
Sunda. Bus ¾ sudah over muatan, Mang ... :D
Sedikit catatan
mengenai ongkos busnya. Lama perjalanan Banjar – Pangandaran itu kurang lebih 2
jam normalnya. Itu sama dengan Malang – Probolinggo kira kira. Nah, ongkos
naiknya Rp. 20.000. Nggak usah pakai nawar apalagi coba coba ngasih kurang,
atau si Mang Keneknya akan bilang: ”Yang bener aja dong ongkosnya, Aa’ ...”
Hihihi ...
Oiya, satu lagi: ”Muhun”,
itu artinya :”Iya” atau ”Benar”. Itu kata Sunda pertama yang saya terima di Banjar
tengah hari itu. : )
**
# Bulak Laut –
Pangandaran, November 2012
Plot dan Setting: Bau
laut. Suara ombak. Langit pekat. Toko toko asesoris, warung, tukang tatto, dan
tempat sewa sepeda kayuh yang diterangi cahaya lampu neon putih. Semuanya
berderet membentuk komposisi.
Saya: ”Abdi
parantos dugi losmen. Kecil kunaon? Parantos dugi rumah?”
Si Kecil: “Hehe
ud pinter bhasa sunda yaa...Alhmdllah klo ud smpe, gmn pngdran? Aq ud smpe rmh jg, hati2
klo naro2 brg.
Saya: ”Karena
wengi jdi kadenge saonten ombaknya. Saora di bali suasanax. Ni lagi jalan2 Hehe ...
Si Kecil: “Yg
bnr gini, Kumargi wengi janten kadangu suanten ombakna wungkul, Sami jiga di
bali suasanana. Jln2 kmn? Hati2.
Karena bahasa
Sunda saya belepotan, jadilah kamus online Bahasa Sunda yang ada di menunya
Aluna itu saya pergunakan untuk latihan. Sekedar untuk berkirim pesan atau mengucapkan
kalimat sederhana.
Hari pertama
menginjakkan kaki di seberang pantainya ada lelah yang masih hinggap. Tapi juga
ada rasa tak sabar untuk segera mencicipi ombak dan buih airnya. Setelah
bertukar pesan dengan Kang Mumu, yang jadi pengurus hotel, akhirnya saya
bermalam di Hotel Karangsari 2, tepatnya di Jl. Bulak Laut 19, di depan Pasar Wisata, sekitar 300
meter dari Pantai Barat.
Saya jatuh lelah.
Hujan turun sepanjang malam itu.
**
# Pantai Barat
– Pangandaran, November 2012
Sisa hujan semalam
masih menempel di jalan dan menggenang. Bau tanah habis hujan. Langit redup dan
udara belum lagi hangat saat saya menyambangi Pantai Barat. Karena diapit dua
tanjung, kesannya pantai ini jadi seperti mencekung.
Pantai sudah
ramai. Hamparan biru dan berombak itu disuraki suara anak anak yang basah
basahan. Beberapa kapal motor siap menerima peminat yang ingin menjelajah lebih
jauh ke tengah pantai. Saya pilih berjalan kaki diiringi gerimis tipis yang
merinai di pagi hari itu.
Terus melangkah ke
Utara mempertemukan langkah saya dengan Pantai Pananjung. Masih satu area
dengan Pangandaran namun arusnya lebih jinak sehingga di Pananjung inilah lebih
banyak orang bisa menikmati berenang dengan gulungan ombak yang lebih landai.
Pananjung pun
adalah penghubung antara kawasan Cagar Alam Pananjung dan Pantai Pasir Putih.
Cagar Alam Pananjung sendiri menyimpan berbagai jenis biota tumbuhan tropis. Selain
itu, juga berbau historical karena memiliki beberapa situs sejarah,
seperti Gua Jepang, Batu Kalde, Gua Lanang, dll.
Tiket masuk Cagar
Alam senilai Rp. 7000 / orang. Harganya bisa bervariasi bila datang rombongan. Waktu
masuk ke sana, hutan tropisnya sepi, ada rusa dan monyet, teduh, serta cocok
buat main petak umpet. Pantai Pasir Putihnya sendiri tersembunyi di balik hijaunya
gumuk dan bersinggungan langsung dengan batasan Samudra Hindia yang tak
terlihat ujungnya di horizon.
**
# Pantai Timur
– Pangandaran, November 2012
Bukankah kurang
afdol rasanya bila ke pantai tapi tak melihat sunrise dan sunset-nya?
Dan, saya beruntung bisa melihat keduanya dari tempat yang sama.
Setelah shalat Subuh,
pukul 04.45 WIB saya berjalan menuju arah Pantai Timur. Kalau dari Karangsari 2
bisa melalui gang sempit yang tembus ke Pantai Barat lalu dilanjut ke timur.
Tidak terlalu jauh dan bila senang nggowes bisa menyewa sepeda dengan
ongkos Rp. 15.000 / jam.
Pantai Timur
sendiri merupakan tempat pelelangan ikan. Di sini juga banyak warung yang
menjajakan seafood. Ketika saya tiba di sana kira kira pukul 05.00 WIB,
beberapa orang sudah berdiri di anjungan untuk melihat matahari muncul dari
batas cakrawala.
**
Hari Jumat.
Setelah sarapan di warung Lembayung Senja - Bulak Laut, saya mencari masjid
untuk sholat Jumat. Letaknya ada di dekat penginapan. Hehehe, yang unik setiap
kali sholat Jumat di perkampungan setempat itu adalah khotbah Jumatnya yang
pakai bahasa lokal. Termasuk di sini yang pakai bahasa Sunda.
Wkwkwk.. bisa
dipastikan saya nggak nangkap alias nggak ngerti satupun kalimat yang dikatakan
sama si Bapak pengkhotbah. Mau di-translate pakai kamus online juga ndak ada waktu. Yasudahlah, saya diem saja ndengerin. Ikut
mengamini kalau di kanan kiri saya juga bilang amien. :D
**
Sore sebelumnya, sunset di Pantai Barat
terkesan biasa saja karena segerombolan awan berati abu abu yang memayungi
Ciamis menutupi matahari. Bola agung itu jadi sedikit tersamarkan saat hendak
tenggelam.
Sunset pangtungtungna pada sore hari tanggal 16 itu adalah peristiwa menghilangnya matahari
paling mengharukan yang pernah saya alami. Saya nggak tahu perasaan ini tiba
tiba datang begitu saja. Mungkin saya yang terlalu perasa dengan fenomena alam
yang dramatis itu.
Matahari yang diameternya bahkan jika sepuluh
ribu orang dijajarpun tidak akan kuasa menjangkaunya itu pelan pelan meluntur
warnanya. Dari kuning keemasan menjadi merah oranye. Terlihat seperti orang
yang kesakitan. Langit yang menjadi selendang matahari seperti disemprot airbrush
hingga meninggalkan noda noda jingga kehitaman semburat tak beraturan. Deru
ombak dan gelombang pantai meninggi. Meraung. Seperti jiwa yang marah. Belaian
ombaknya menjangkau lebih jauh dari garis pantai saat dia masih muda di pagi
hari. Lalu perlahan, sedikit demi sedikit, seiring angin yang turut mengabarkan
berita hujan, matahari benar benar raib dari pandangan. Tak tersisa.
Saya benar benar terharu melihatnya. Saya
biarkan kaki saya dibasahi oleh ombak yang seolah ingin menarik ke tengah.
Pikiran saya berkecamuk. Ada banyak hal: pengalaman, cerita, sampai metaforis Viva
la Vida punya Coldplay yang nyathol di kepala saya saat peristiwa
itu terjadi.
Sunset pangtungtungna sore itu adalah yang tidak akan bisa saya lupakan. Entah kapan saya
bisa kembali lagi ke tempat saya berdiri. Jauh di Selatan sana mendung semakin
pekat. Ciamis dan sekitarnya diguyur hujan.
**
# Pangandaran – Banjar, November 2012
Hari terakhir saya di Jawa Barat. Setelah check
out lebih awal dua jam, saya berjalan di sepanjang Pantai Barat untuk menemui
Si Kecil yang hari itu lagi liburan ke sini. Usai nyari kesana kemari, si baju
abu abu itu ketemu juga. Lagi di bawah menara pos pantau (bukan menara
Telkomsel lho wkwk ...) sama keluarganya. Bisa jadi, orang satu satunya yang saya kenal di Kab. Ciamis ya cuma Si Kecil ini. Bagi yang mau kenalan sama Si Neng Alit, nih orangnya lagi bergaya di sebelah. Haha ... :D
Bus terakhir dari Pangandaran ke Banjar paling
akhir diperkirakan pukul 16:00 WIB. Kira kira pukul 12:00 WIB saya sudah pamitan
pulang setelah nggowes keliling pantai dan mencari oleh oleh. Kereta
saya sebenarnya baru tiba di Banjar itu pukul 20:45 WIB, tapi berhubung bus ini
jarang adanya, jadi saya percepat pulangnya. Nggak apa apalah nunggu sambil dulu
main di sana daripada harus jalan kaki ke Banjar karena kehabisan bus. :D
**
Tiga hari di Jawa Barat banyak sekali yang saya
temui. Orang orang baru, bahasa baru, pemandangan baru. Perjalanan ini memang
sangat melelahkan, tapi saya senang sekali. Di perjalanan menuju 92 kilometer
arah Selatan Ciamis ini saya punya cerita. Tulisan untuk semua orang yang ingin
membacanya. Oleh oleh sederhana yang inshaAllah akan tetap ada ketika ingatan
saya harus menua dan memudar.
Untuk semua yang sudah jadi bagian dalam cerita
ini, saya hanya pengen bilang terima kasih. Semua yang ada di dalam sini bisa terjadi
karena Kamu, Kalian, Mereka, dan semua hal bahkan sebutir pasir terkecil itu pernah
ada bersama sama. : )
....
Di setiap butir pasirmu,
Di setiap buih ombakmu,
Aku pernah ada bersamamu ...
**



